A. Pengertian Puasa
ü Puasa menurut
bahasa
Puasa adalah menahan dari segala sesuatu yang membatalkan puasa, seperti
menahan tidak tidur, menahan tidak berbicara, menahan tidak makan atau menahan
diri tidak makan – makanan yang tertentu, seperti daging, ikan dan sebagainya.
ü Puasa menurut
istilah dalam agama islam
Puasa adalah menahan diri dari makan dan minum dan bercampur suami istri
sehari penuh, mulai dari terbit fajar sampai terbenam matahari dengan niat yang
ikhlas taat dan mendekatkan diri kepada Allah swt.
Ø Dalil Tentang
Puasa
·
Al-Qur’an
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ
مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
"Wahai orang-orang yang beriman diwajibkan atas kamu sekalian untuk
berpuasa, sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, agar kamu
sekalian bertaqwa." (QS. Al-Baqarah [2] : 183)
·
Al-Hadits
Diriwayatkan dari Ali ra, ia berkata: "Sesungguhnya nabi SAW telah
bersabda: "Telah diangkat pena (kewajiban syar'i – taklif) dari tiga
golongan. Dari orang gila sehingga dia sembuh – dari orang tidur sehingga ia
bangun – dan dari anak-anak sampai ia bermimpi (dewasa)." (H.R. Ahmad, Abu
Dawud, dan Tirmidzi).
B. Syarat dan Rukun Puasa
a. Syarat wajib Puasa
Syarat wajib puasa adalah syarat-syarat yang membuat
seseorang diwajibkan berpuasa, antara lain:
1.
Muslim
2.
Baligh
Orang yang belum
baligh (+15 tahun keatas) blum diwajibkan berpuasa karena blum termasuk
mukallaf sebagaimana halnya shalat, ibadah puasa pun baligh merupakan syarat.
3.
Berakal
Puasa itu diwajibkan
atas orang-orang yang berakal dan tidak wajib atas orang gila, termasuk orang
yang sedang koma(tidak sadarkan diri).
4.
Mampu kuat berpuasa
Orang yang sudah
tua renta, atau orang yang sakit, tidak diwajibkan berpuasa.
b. Syarat Sah Puasa
Syarat sah puasa adalah syarat-syarat yang
harus dipenuhi agar puasa menjadi sah, antara lain:
1. Muslim
2. Balig
3. Suci dari hadas besar (haid dan nifas)
Wanita yang sedang datang bulan dan sedang nifas(masih mengeluarkan darah
sesudah melahirkan) tidak boleh berpuasa atau haram dan wajib mengqadha
sebanyak hari dia tidak berpuasa.
4. Dilakukan pada waktu-waktu diperbolehkan
puasa
5. Islam
Salah satu syarat shah puasa adalah orang islam bukan orang yang
nonmuslim.
6.
Mumayyiz (dapat membedakan yang benar dan yang
tidak baik)
Biasanya seseorang disebut Mumayyiz apabila dia sudah akil baligh(kurang
lebih 15 tahun), tidak bodoh dan gila.
c.
Rukun Puasa
1.
Niat, menyengaja dalam hati hendak melakukan puasa, niat adalah rukun dari ibadah puasa dan tidak
sah puasa tanpa niat.
2.
Menahan diri dari melakukan hal-hal yang dapat membatalkan puasa dan
mengurangi pahala berpuasa mulai dari
terbit fajar sampai terbenam nya matahari. Seperti makan, minum,
bergunjing, dan sebagainya.
C. Sunnah Puasa
Sunnah Puasa adalah ibadah yang memberi kesempatan kepada seseorang untuk selalu
melakukan kebaikan. Selain rukun puasa, terdapat sunnah puasa. Orang yan
melakukan sunnah puasa akan mendapatkan pahala tambahan yang berlipat. Berikut
ini adalah sunnah-sunnah puasa:
1.
Menyegerakan berbuka
2.
Berbuka dengan sesuatu yang manis, seperti kurma dan air.
3.
Berdoa sewaktu berbuka puasa.
4.
Makan sahur agar bertenaga.
5.
Mengakhirkan sahur.
6.
Memberi makanan berbuka kepada orang yang puasa
7.
Memperbanyak sedekah
8.
Membaca, mempelajari atau mengajari membaca Al-Qur’an
9.
Bersih (Suci dari perbuatan tercela)
10. Memperbanyak Dziki dan Berdo’a
11.
Melakukan Shalat tarawih
D. Hal-hal Yang Membatalkan Puasa
Apabila orang
yang sedang berpuasa melakukan hal-hal berikut ini, puasanya batal antara lain:
1. Makan dan Minum dengan sengaja
Puasa menjadi
batal, kalau makan dan minum di siang hari.
2. Muntah yang disengaja
Orang yang
ingin muntah,dia masukkan sesuatu ke dalam mulutnya atau jarinya ke pangkal
kerongkangannya atau cara lain yang mengakibatkan dia muntah dan puasanya menjadi
batal.
3. Keluar darah Haid dan Nifas
Wanita yang
datang bulan atau keluar darah sesudah melahirkan (nifas) tidak dibolehkan
berpuasa,atau selagi menjalankan puasa kemudian keluar haid,batalah puasanya.
4. Gangguan jiwa ( Gila )
Jika penyakit
gila itu datang pada siang hari,batalah puasa orang itu,mengenai hal ini telah
disinggung pada bagian III,apakah puasanya diqodha atau tidak.
5. Keluar Mani dengan sengaja
Orang yang
nafsunya bergejolak,maninya bisa saja keluar bila bersentuhan dengan lawan
jenisnya dan hal ini dilakukakannya dengan sengaja,dengan menyenggolkan atau
merabanya dan cara-cara lainnya.bila maninya keluar,puasanya menjadi batal.
6. Berhubungan suami istri
7. Keluar dari islam
E. Beberapa masalah di sekitar puasa
a. Puasa tanpa shalat
b. Menggantikan puasa orang lain :
1. Puasa itu dibayar oleh walinya
2. Membayar fidyah
3. Suntik
4. Berbekam
5. Mandi janabah sesudah terbit fajar
6. Mencicipi makanan
7. Menunda Qada puasa
F. Orang yang diperbolehkan tidak berpuasa
Islam adalah
agama yang memudahkan penganutnya. Keringanan dalam urusan ibadah tersebut
disebut rukshah. Rukshah dalam berpuasa diberikan kepada orang-orang dengan
kondisi sebagai berikut :
1. Perempuan yang sedang hamil
Apabila
perempuan sedang hamil khawatir janin yang dikandungnya akan terganggu karena
berpuasa, ia diperbolehkan berbuka. Perempuan hamil yang berbuka dapat membayar
fidyah sebagai pengganti puasanya. Fidyah adalah memberikan makanan kepada
fakir miskin sebanyak makanan atau seharga makanannya dalam sehari.
2. Perempuan yang sedang menyusui.
Apabila perempuan
yang sedang menyusui khawatir kalau puasanya akan berpengaruh kepada
perkembangan anak yang disusuinya, ia boleh berbuka. Sebagai peggantinya,
perempuan tersebut harus membayar fidyah.
3. Orang tua yang sudah lemah.
Orang tua yang
sudah lemah kondisi fisiknya diperbolehkan untuk berbuka dan menggantinya
dengan membayar fidyah.
4. Orang yang sedang sakit
Orang yang
sdag sakit dan khawatir sakitnya akan parah jika ia berpuasa, ia boleh berbuka.
Setelah sembuh, ia wajib menggantinya dengan hari yang lain.
5. Orang yang sedang berpergian jauh.
Musafir boleh
berbuka puasa asalkan menggantinya pada hari yang lain.
G. Hikmah puasa
Berikut ini adalah hikmah melakukan ibadah
puasa:
1.
Membersihkan Jiwa
Yaitu meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT, Allah berfirman
: “wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan untuk kalian berpuasa sebagaimana
diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kalian bertaqwa (QS Al-Baqarah
(2) : 183)
Orang yang mengajarkan semua perintah Allah dengan ikhlas, berarti orang
itu sudah benar-benar pasrah dan tidak ada perasaan dibebani dan dipaksa.
2.
Bukti rasa syukur kepada Allah
Orang yang berpuasa merasakan betapa besar nikmat allah yang diberikan
kepada mereka, nikmat ini baru diketahui tinggi nilainya stelah nikmat itu
hilang daripadanya.
3.
Menjaga kesehatan jasmani dan Rohani
Para ahli bidang kesehatan menyatakan bahwa diantara pengobatan yang
dapat menyembuhkan penyakit adalah puasa, seperti menurunkan berat badan dan
bahkan untuk mengobati penyakit Mag pun dapat disembuhkan dengan berpuasa.
4.
Belajar menjaga kepercayaan dan berlaku jujur.
5.
Membebaskan diri dari adat kebiasaaan
Dalam kehidupan sehari-hari biasanya orang terikat oleh adat kebiasaan.
Seperti kebiasaan merokok, sarapan pada jam 7 pagi, makan siang, dan
kebiasaan-kebiasaan lainnya yang berbeda pada setiap orang.
6.
Mendidik mawas diri
Orang yang berpuasa dididik supaya berhati-hati, bahwa dia selalu berada
dalam pengawasan Allah swt.
7.
Mendidik sabar dan Berkemauan Keras
Orang yang melakukan ibadah puasa harus sabar dan tekun, karena banyak
godaannya. Orang yang berpuasa harus dapat menahan marah dan mengendalikan
emosi, karena tugas syetan memancing-mancing supaya kesabaran orang hilang.
8.
Membiasakan hidup disiplin dan teratur.
9.
Pembelajaran menahan nafsu, selain menahan rasa haus dan lapar.
Sebagai
manusia yang normal didalam dirinya terdapat nafsu seksual untuk memenuhi
kebutuhan biologisnya.
10. Memupuk kepedulian dan belas kasihan terhadap
kaum dhuafa.
Bulan Ramadhan adalah bulan yang penuh berkah. Segala amalan yang
dilakukan pada bulan Ramadhan akan dilipatgandakan pahalanya. Semakin banyak
amal shaleh kita lakukan, semakin banyak pahal yang kita dapatkan. Berpuasa
bukan berarti bermalas-malasan. Sebaliknya, bulan keberkahan harus dimanfaatkan
untuk kegiatan yang bermanfaat.
H. Macam-Macam Puasa
a.
Puasa Fardhu
1.
Puasa Ramadhan
Puasa Ramadhan artiya puasa yang dilaksanakan pada bulan Ramadhan,
selama satu bulan penuh. Melaksanakan puasa Ramadhan hukumnya wajib. Barang
siapa tidak melaksanakannya, ia berdosa. Puasa Ramadhan merupakan salah satu
amalan yang dicontohkan oleh Rasulullah Saw.
2.
Puasa Kafarat ( Pembunuhan yang tersalah )
Orang yang membunuh karena tersalah (tidak sengaja), wajib membayar
diyat, dan berpuasa dua bulan secara berturut-turut.
3.
Puasa Kafarat Zhihar
Zhihar maksudnya ialah seorang laki-laki menyerupakan isterinya, dengan
ibunya, sehingga haram atasnya “seperti kata suami kepada isterinya: “Engkau
tampak olehku seperti punggung ibuku”.
Kafarat Zhihar ada tiga tingkatan:
1.
Memerdekakan budak
2.
Puasa dua bulan berturut-turut
3.
Memberi makan 60 orang miskin, masing-masing
mereka ¾ liter, bila benar-benar tidak mampu menjalankan puasa.
4.
Puasa Kafarat bercampur dengan istri
5.
Puasa Kafarat Sumpah
Ada orang bersumpah menggunakan nama Allah untuk menguatkan tindakannya
atau sikapnya, bila itu dilanggarnya, maka dia harus membayar kifarat (denda
pengampunan kesalahan).
6.
Puasa Nazar
Nazar adalah janji mengenai kebaikan yang asalnya tidak wajib menurut
syara tetapi sesudah dinazarkan menjadi wajib.
7.
Puasa Qadha Ramadhan
Orang yang tidak puasa pada bulan Ramadhan karena ada udzur (halangan),
wajib mengqadanya pada hari yang lain, sebanyak hari yang tertinggal.
8.
Puasa Dam (Denda Haji Tamathu’ dan Qiran)
Apabila orang melakukan haji tamathu atau qiran, dia wajib menyembelih
seekor kambing sebagai dan jika tidak mampu, dia wajib berpuasa sepuluh hari.
9.
Puasa dam (mencukur rambut)
Orang yang mencukur rambutnya atau menghilangkannya tiga helai rambut
atau lebih, wajib membayar dam dan boleh memilih salah satu diantara tiga
yaitu:
1.
Menyembelihseekor kambing.
2.
Bersedekah 9,3 liter beras kepada enam orang
miskin.
3.
Berpuasa selama tiga hari. Puasa itu tidak
mesti dilakukan berturt-turut.
10.
Puasa Dam (berburu)
Membunuh binatang buruan ketika ihram haji, wajib membayar dam. Dam nya
sebanding dengan binatang jinak (peliharaan). Kalau tidak ada binatangnya,
diperkirakan harganya, kemudian dibelikan makanan dan disedekahkan kepada fakir
miskin ditanah haram.
11.
Puasa Nazar mutlak
Puasa nazar mutlak maksudnya, nazar yang diucapkan secara umum, tidak
terikat kepada waktu tertentu.
12.
Puasa sumpah Mutlak
Puasa sumpah mutlak maksudnya, sumpah yang diucapkan secara umum.
b. Puasa Sunnah
Puasa merupakan salah satu amalan yang dicintai Allah Swt. Allah
menjanjikan banyak keutamaan dan manfaat yang besar bagi orang yang berpuasa.
Allah berfirman :
وَمَايَزَالُعَبْدِىيَتَقَرَّبُإِلَىَّبِالنَّوَافِلِحَتَّىأُحِبَّهُ،فَإِذَاأَحْبَبْتُهُكُنْتُسَمْعَهُالَّذِىيَسْمَعُبِهِ،وَبَصَرَهُالَّذِىيُبْصِرُبِهِ،وَيَدَهُالَّتِىيَبْطُشُبِهَاوَرِجْلَهُالَّتِىيَمْشِىبِهَا،وَإِنْسَأَلَنِىلأُعْطِيَنَّهُ،وَلَئِنِاسْتَعَاذَنِىلأُعِيذَنَّهُ
“Hamba-Ku senantiasa mendekatkan diri pada-Ku
dengan amalan-amalan sunnah sehingga Aku mencintainya. Jika Aku telah
mencintainya, maka Aku akan memberi petunjuk pada pendengaran yang ia gunakan
untuk mendengar, memberi petunjuk pada penglihatannya yang ia gunakan untuk
melihat, memberi petunjuk pada tangannya yang ia gunakan untuk memegang,
memberi petunjuk pada kakinya yang ia gunakan untuk berjalan. Jika ia memohon
sesuatu kepada-Ku, pasti Aku mengabulkannya dan jika ia memohon perlindungan,
pasti Aku akan melindunginya” (HR. Bukhari no. 2506).
Berikut ini puasa-puasa yang disunnahkan dalam Islam:
1.
Puasa 6 Hari Pada Bulan Syawwal
Abu Ayyub menuturkan bahwa Rasulullah Saw. Bersabda,”Baragsiapa berpuasa pada bulan Ramadhan, kemudian berpuasa enam hari
pada bulan Syawwal, ia seperti berpuasa sepanjang masa”(HR Muslim).
Puasa Syawwal dilakukan setelah Hari Raya Idul Fitri selama enam hari
pada bulan Syawwal. Boleh dilakukan secara berturut-turut, boleh juga berselang
waktu. Misalnya, dilakukan setiap Senin dan Kamis sehingga mencapai enam hari
pada bulan Syawwal.
2. Puasa Hari Arafah
Abu Qatadah r.a. menutrkan bahwa Rasulullah Saw.bersabda, “Puasa pada Hari Arafah dapat menghapus dosa
selama dua tahun, satu tahun yang lalu dan satu tahun yang akan datang”(HR
Muslim).
Puasa Arafah dianjurkan bagi oang yang tidak berhaji pada 9 Dzulhijjah.
Adapun bagi orang yang sedang melakasanakan ibadah haji, lebih utama tidak
berpusa pada hari arafah sebagaimana yang diamalkan oleh Rasulullah Saw.dan
para sahabat.
Abu Hurairah berkata, “Rasulullah
Saw. melarang puasa pada hari Arafah di Padang Arafah”(HR Ahmad dan Ibn
Majah).
3.
Puasa Hari ‘Asyura’ (Tanggal 10 Muharram)
Abu Qatadah r.a. menuturkan bahwa Rasulullah Saw.bersabda, “Puasa pada Hari ‘Asyura’itu membuat
dosa-dosa kita setahun yang lalu diampuni”(HR Muslim)
Bahkan, bisa ditambah dengan puasa pada 9 Muharram, karena Rasulullah
Saw. pernah berniat untuk melaksanakan puasa tersebut, meski wafat kemudian
menjemput beliau sebelum niat tersebut terlaksana. Dalam istilah fiqih, Sunnah
Rasulullah Saw. seperti ini dinamakan sunnah
hammiyyah.
4. Memperbanyak Puasa Pada Bulan Sya’Ban
‘Aisyah menuturkan, “Saya tidak pernah melihat Rasulullah Saw. berpuasa
sebulan penuh kecuali pada bulan Ramadhan, dan saya tidak melihat beliau
memperbanyak puasa dalam suatu bulan seperti banyaknya beliau berpuasa pada
bulan Sya’ban”(HR Al-Bukhari dan Muslim).
5. Puasa Hari Senin dan Kamis
Abu Hurairah r.a.menuturkan bahwa Rasulullah Saw.bersabda,”Berbagai amalan dihadapkan (pada Allah)
pada hari Senin dan Kamis, aku suka jika amalanku dihadapkan ketika aku sedang
berpuasa” (HR Al-Tirmidzi).
‘Aisyah mengatakan,”Rasulullah Saw.biasa menaruh pilihan berpuasa pada
hari Senin dan Kamis” (HR Al-Nasa’i).
Dari ‘Aisyah ra, rasulullah saw bersabda : memilih (mencari mana yang
lebih patut) waktu puasa hari senin dan kamis.” (HR. Tirmidzi dan Ahmad)
6. Puasa Tiga Hari Setiap Tengah Bulan Qamariyah
Rasulullah Saw.bersabda kepada Abu Dzar r.a.,”Wahai Abu Dzar! Apabila engkau hendak berpuasa sunnah pada setiap
bulan, laksanakanlah pada 13,14, dan 15”(HR Al-Tirmidzi).
Puasa ini dinamai juga sebagai puasa ayyamu
al-bidh.Disebut sebagai ayyamu
al-bidh yang bermakna”hari-hari putih”,karena pada malam ke-13, 14, dan 15
bulan bersinar putih karena bulan purnama muncul pada waktu itu.
7.
Puasa Daud (Berpuasa Sehari dan Berbuka
Sehari)
Rasulullah Saw.bersabda, “Berpuasalah
satu hari dan berbukalah satu hari berikutnya. Yang demikian itu merupakan
puasa Nabi Daud dan merupakan puasa yang baik.”Kemudian Abdullah ibn’Amr
ibn Al-Ash berkata,”Sesungguhnya aku mampu melakukan lebih dari itu.”Nabi Saw.
pun menjawab, “Tidak ada yang lebih baik
dari itu”(HR Al-Bukhari dan Muslim).
Rasulullah Saw.bersabda, “Puasa
yang paling disukai oleh Allah adalah puasa Nabi Daud. Shalat yang paling
disukai Allah adalah shalat Nabi Daud. Beliau tidur separuh malam, dan bangun
pada sepertiganya, dan tidur pada seperenamnya. Belaiu biasa berbuka sehari dan
berpuasa sehari”(HR Al-Bukhari).
c.
Puasa Makruh
1.
Puasa Sepanjang Masa
2.
Mengkhususkan Puasa Bulan rajab
3.
Puasa pada hari Jum’at
4.
Puasa Pada hari Sabtu
d. Puasa Haram / Terlarang
a.
Puasa Pada hari Raya Idul Fitri / Adha
“Dari Abu Hurairah,katanya: sesungguhnya Rasulullah SAW.melarang puasa dua hari,yaitu:
hari raya Fitri dan Adha.”(HR.Muttafaq alaih)
b.
Puasa Pada hari Tasyrik
Hari tasyrik berhubungan dengan hari raya
Adha,sebagai penyempurna hari raya itu dan sama-sama bertakbir sesudah selesai
sholat lima waktu dan menyembelih hewan qurban.
c.
Puasa Bid’ah
Diantara puasa yang diharamkan adalah puasa
yang tidak menurut ketentuan syariat islam umpamanya:
§ Mengkhususkan puasa
pada tanggal 12 Rabiul Awal.
§ Mengkhususkan puasa
27 Rajab.
§ Mengkhususkan puasa
nisfu (pertengahan) Sya’ban.
§ Puasa sunat yang
merugikan orang lain.
§ Puasa isteri tanpa izin
suami.
§ Puasa sunat yang
merugikan kemaslahatan umum
I. Pendapat Empat Madzhab tentang Puasa
Empat
imam mazhab sepakat bahwa puasa Ramadhan adalah fardu atas
segenap kaum Muslim. Ia merupakan salah satu dari rukun Islam. Mereka juga
sepakat bahwa pusa Ramadhan wajib dilksanakan oleh setiap Muslim yang telah
balig, berakal sehat, suci (tidak sedang haid atau nifas), bermukim (tidak
dalam perjalanan), dan sanggup mengerjakannya. Perempuan yang sedang haid dan
nifas haram berpuasa. Apabila mereka tetap mengerjakannya, maka puasanya tidak
sah dan tetap kewajiban mengqadhanya. Perempuan yang sedang hamil dn perempuan yang
sedang menyusui anaknya boleh tidak berpuasa jika mereka khawatir terhadap
kesehatan dirinya dan kesehatan anaknya. Tetapi, jika mereka berpuasa maka
puasanya sah. Adapun jika mereka tidak berpuasa lantaran khawatir terhadap
kesehatan anaknya maka ia wajib mengqadhanya serta membayar kafarah yaitu untuk
setiap harinya satu mud. Demikian
menurut pendapat syafi’i yang paling
kuat dan Hambali. Hanafi berpendapat:
tidak ada kafarah atas keduanya. Dari Maliki
diperoleh dua riwayat. Pertama, wajib
kafarah bagi perempuan yang sedang menyusui anaknya, tidak bagi yang sedang
hamil. Kedua, tidak ada kafarah atas
keduanya.
Ibn
‘Umar dan Ibn Abbas r.a. menyatakan, “Wajib kafarah, tetapi tidak wajib
mengqhadha.”
a. Puasa bagi Musafir
Empat
imam mazhab sepakat bahwa orang yang sedang berpergian
(musafir) dan penderita sakit yang tidak bisa disembuhkan boleh tidak berpuasa.
Tetapi, jika mereka tetap berpuasa maka puasanya sah. Sementara itu, jika
mereka berpuasa, padahal pusa itu membahayakan diri mereka, maka hukumnya adalah
makruh. Sebagian ulama ahli zahir mengatakan: Tidak sah puasa dalam safar.
Al-Awza’i berpendapat: Tidak berpuasa bagi orang yang sedang berpergian adalah
lebih utama secara mutlak. Menurut tiga
imam mazhab: Barangsiapa yang berpuasa pada pagi hari, lalu ia melakukan
perjalanan, maka ia tidak boleh membatalkan puasanya. Hambali: Ia boleh membatalkan puasanya. Inilah pendapat al-Muzni.
Apabila musafir yang tidak berpuasa telah tiba
di tempat tujuannya, orang sakit sudah sembuh, anak-anak sudah balig, orang
kafir masuk islam, atau perempuan haid telah suci pada pertengahan siang, maka
mereka wajib imsak. Yaitu menahan
diri dari hal-hal yang membatalkan puasa pada sis hari itu. Demikian menurut Hanafi dan Hambali. Maliki berpendapat:
Disukai Imsak. Ini juga pendapat
paling sahih dari Syafi’i. Apabila
prang murtad kembali masuk Islam maka ia wajib mengqadha puasa yang
ditinggalkannya ketika murtad. Demikian menurut tiga imam mazhab. Hanafi berpendapat: tidak wajib mengqadhanya.
b. Puasa Anak Kecil, Orang Gila,
dan Orang Sakit
Empat
imam mazhab sepakat bahwa anak kecil yang belum mampu
berpuasa dan orang gila yang terus-menerus tidak dikenai kewajiban puasa.
Tetapi, anak kecil itu hendaknya diperintah mengerjakannya jika sudah berumur
tujuh tahun dan dipukul jika (tidak berpuasa) pada umur sepuluh tahun. Hanafi berpendapat: Tidak sah puasa
anak kecil. Jika orang gila sembuh dari gilanya maka ia tidak wajib mengqadha
puasa yang ditinggalkannya. Demikian menurut pendapat Hanafi dan Syafi’i. Maliki
berpendapat: wajib qadha. Hambali memiliki
dua riwayat. Orang sakit yang tidak bisa disembuhkan dan orang tua renta tidak
wajib berpuasa, teteapi kewajiban membayar fidyah. Demikian pendapat Hanafi. Seperti itu juga pendapat
paling sahih dari Syafi’i. Hanafi: Fidyah tersebut adalah setengah
sha’ gandum setiap hari. Sedangkan
menurut Syafi’i: satu mud setiap hari. Maliki: Tidak wajib berpuasa dan tidak wajib membayar fidyah.
Demikian juga salah satu pendapat Syafi’i.
Hambali: ia harus memberi makanan 1 sha’ kurma atau 1 mud gandung.
c. Puasa Ramadhan
Empat
imam mazhab sepakat bahwa wajibnya puasa Ramadhan adalah
melihat hilal atau bulan Sya’ban sempurna 30 hari. Namun, mereka berbeda
pendapat jika bulan tidak bisa dilihat karena terhalang mendung atau kabut
tebal pada malam 30 Sya’ban. Hanafi,
Maliki, dan Syafi’i: Tidak wajib
puasa, tetapi menyempurnakan 30 hari bulan Sya’ban. Dari Hambali diperoleh dua riwayat dan pendapat yang didukung para ulama
pengikutnya adalah: Wajib puasa. Mereka mengatakan: Wajib dan harus mulai
berniat puasa Ramadhan. Menurut Hanafi, melihat
bulan dapat dibenarkan jika langit terang degan disaksikan oleh sejumlah orang
yang khabar mereka menghasilkan ilmu yakin. Sedangkan jika mendung, maka
persaksian dapat diterima bila dilakukan oleh seorang yang adil, baik laki-laki
maupun perempuan merdeka ataupun budak. Maliki
berpendapat: Persaksian tidak dapat diterima kecuali oleh dua orang yang adil.
Dari Syafi’i diperoleh dua. Pendapat
dari Hambali diperoleh dua riwayat,
dan yang lebih kuat: Persaksian seorang laki-laki yang adil dapat diterima.
Menurut kesepakatana empat imam mazhab, tidak dapat diterima persaksian seorang saja
dalam melihat hilal pada bulan Syawal, Abu Tsawr berpendapat: Dapat diterima.
Orang yang melihat hilal pada awal bulan Ramadhan ia wajib berpuasa. Kemudian
jika ia melihat hilal pada aal bulan Syawal, ia wajib berbuka dengan
sembunyi-sembunyi. Al-Hasan dan Ibn Sirin mengatakan: Ia tidak wajib berpuasa lantaran
menyaksikan dengan kepala sendiri. Tidak sah berpuasa pada hari syak (diragukan), menurut pandangan tiga imam mazhab. Menurut Hambali dalam pendapatnya yang masyhur:
Jika langit terang, makruh berpuasa pada hari syak. Sedangkan jika langit mendung, wajib berpuasa. Apabila hilal
terlihat pada siang hari, maka bulan itu untuk malam berikutnya, baik terlihat
sebelum maupun sesudah matahari condong ke arah barat. Demikian menurut
pendapat tiga imam mazhab.
Hambali berpendapat:
Jika hilal itu terlihat sebelum matahari condong ke barat, maka bulan itu untuk
malam sebelumnya. Sedangkan terlihat jika sudah condong ke barat, maka dalam
hal ini Hambali mempunyai dua
pendapat. Empat imam mazhab sepakat, apabila yang melihat hilal pada suatu
negeri itu orang banyak, maka yang wajib berpuasa adalah semua orang Islam yang
berada di dunia ini. Namun, menurut pendapat para ulama pengikut Syafi’i, yang wajib berpuasa adalah
orang-orang yang dekat dengan tempat itu saja, bukan yang jauh jaraknya. Orang
yang jauh adalah yang jarakya sejauh perjalanan yang diperbolehkan mengqashar
shalat. Demikian menurut pendapat yang disahkan oleh Imam al-Haramai,
al-Ghazali dan ar-Rati’i, dan juga dianggap paling kuat oleh an-Nawawi, karea
berlainan mathla’ seperti Hijaz dan
Irak. Para imam mazhab sepakat bahwa
tidak dapat dipegang penetapan menurut hisab dan manzilah kecuali menurut Ibn
Suraij, salah seorang ulama termuka mazhab Syafi’i.
ia membolehkan berpegang pada penetapan ahli hisab.
Para
imam mazhab sepakat mengenai wajibnya niat dalam berpuasa
Ramadhan. Dan puasa tidak sah kecuali dengan niat. Sedangkan Zufar, salah
seorang ulama pengikut Hanafi
berpendapat: Puasa Ramadhan tidaklah memerlukan niat. Demikian juga menurut
Atha’. Namun, para imam mazhab berbeda
pendapat tentang mengucapkan niat. Menurut pendapat Maliki, Syafi’i, dan Hambali:
Wajib diucapkan. Adapn menurut pendapat Hanafi:
Tidak wajib. Oleh karena itu, jika seseorang berniat puasa tanpa
mengucapkannya isalnya ini puasa Rmadhan tau puasa sunnah, maka puasanya adalah
sah. Para imam mazhab pun berbeda
pendapat tentang waktu berniat. Maliki,
Syafi’i, dan Hambali mengatakan:
Waktu niat dalam puasa Ramadhan adalah antara terbenam matahari hingg waktu
fajar kedua (fajar sadiq). Hanafi berpendapat: Boleh berniat pada
malam hari. Jika tidak diniatkan pada malam hari, ia boleh berniat sampi
matahari condong ke barat.
Seperti itu juga pendapat ke empat imam mazhab dalam niat puasa
nazar. Menurut pendapat tiga imam
mazhab, tiap-tiap malam memerlukan niat tersendiri. Maliki berpendapat: Cukup satu kali niat, yaitu pada awal malam
Ramadhan pertama dengan berniat untuk berpuasa sepanjang bulan Ramadhan. Sah
berpuasa sunnah dengan berniat sesudah terbit fajar asalkan belum tergelincir
matahari. Demikian menurut pendapat tiga
imam mazhab, Maliki berpendapat: Tidak sah berniat pada siang hari,
sebgaimana puasa wajib. Pendapat ini yang dipilih oleh al-Muzani. Para imam mazhab sepakat bawa orang
junub hingga waktu subuh, puasanya sah tetapi yang disukai hendaknya ia mandi
janabah sebelum fajar terbit. Abu Hurairah dan Salim bin ‘Abdullah mengatakan:
Batal puasanya, ia harus menahan diri dari hal-hal yang membatalkan puasa,
serta mengqadhanya. ‘Urwah dan al-Hasan berpendapat: Jika ia mengakhirkan mandi
tanpa ada uzur maka batal puasanya. An-Nakha’i berpendapat: kalau pada puasa
fardu, ia wajib mengqadhanya.
Berdusta dan menggunjing (ghibah) sangat dimakruhkn bagi orang yang sedang dimakruhkan bagi
orang yang sedang berpuasa, demikian pula memaki, walaupun puasanya tetap sah.
Demikian menurut kesepakatan empat imam
mazhab. Al-Awza’i menganggap batal puasa orang yang berbuat demikian. Empat imam mazhab sepakat bahwa orang
yang makan karen menyangka bahwa matahari sudah terbenam atau fajar belum
terbit, lalu ia mengetahui dengan jelas ternyata matahari belum terbenam atau
fajar sudah terbit, maka ia wajib mengqadhanya. Mereka berbeda pendapat
mengenai orang yang berniat membatalkan puasa. Menurut pendapat Hanafi dan kebanyakan ulama Maliki serta pendapat yang paling sahih
menurut Syafi’i: Puasanya tidak
batal. Hambali berpendapat: Batal.
Jika seseorang sengaja muntah, Maliki dan Syafi’i mengatakan: Puasanya batal. Hanafi berpendapat: Tidak batal, kecuali jika muntah tersebut
memenuhi rongga mulutnya. Dari Hambali diperoleh
dua riwayat, yang paling masyhur: Tidak batal, kecuali muntahnya banyak hingga
mengotori dirinya. Ibn Abbas r.a. dan Ibn ‘Umar r.a. berpendapat: Tidak batal
melainkan jika berusaha menimbulkan muntah. Kalau muntah itu terjadi sendiri,
tidak batal. Sedangkan jika muntahnya ditahan, maka pasanya tidak batal.
Demikian menurut ijma. Dalam salah
satu riwayat, al-Hasan berpendapat bahwa yang demikian membatalkan puasa. Jika
di antara gigi tertinggal makanan atau lainnya, lalu masuk bersama air liur,
maka puasanya tidak batal kalau ia tidak mampu memisahkannya dan meludahkanya
keluar. Sedangkan jika ia menelannya maka puasanya batal. Demikian menurut
pendapat jamaah. Hamafi berpendapat:
Tidak batal.
Jamaah menetapkan
besarnya makanan adalah sebesar kacang. Memasukkan obat ke dalam perut melalui
lubang dubur membatalkan puasa kecuali menurut atau riwayat dari Maliki dan Dawud. Meneteskan obat ke
dalam lubang telinga dan lubang kemalua membatalkan puasa. Demikian menurut
pendapat Syafi’i. Para imam mazhab sepakat
bahwa bercanduk hukumnya makruh bagi orang sedang berpuasa, tetapi tidak
membatalkan puasanya. Namun, Hambali berpendapat:
Orang yang dicanduk dan yang mencanduk puasanya batal. Apabila orang yang
berpuasa ragu-ragu tentang terbitnya fajar, lalu ia meneruskan makan, tetapi
ternyata fajar sudah terbit, maka puasanya batal. Demikian menurut kesepakatan para imam mazhab. Menurut pendapat
Atha’, Dawud dan Ishaq: Ia tidak wajib menqadha. Diriwayatkan dari Maliki: Wajib qadha jika puasanya
adalah puasa fardu.
Tidak dimakruhkan bercelak bagi orang yang
berpuasa. Demikian menurut pendapat Hanafi
dan Syafi’i. menurut pendapat Maliki dan Hambali: Makruh hukumnya, bahkan jika terasa celak pada
kerongkongan maka batal puasanya. Ibn Abi dan Ibn Sirin berpendapat: Bercelak
membatalkan puasa. Para imam mazhab sepakat
bahwa orang yang bersetubuh dalam keadaan sedang berpuasa Ramadhan dengan
sengaja dan tidak ada uzur; berarti ia telah berbuat durhaka kepada Allah dan
puasanya batal, serta ia wajib menahan diri dari segala sesuatu yang
membatalkan puasa pada sisa harinya. Selain itu, ia wajib membayar kafarah
kubra, yaitu memerdekakan seorang budak. Jika tidak mendapatkannya maka ia
wajib berpuasa dua bulan berturut-turut. Jika tidak mampu maka ia harus memberi
makan 60 orang miskin. Menurut pendapat Maliki:
Boleh memilih salah satunya, tetapi memberi makan 60 orang miskin adalah lebih
utama daripada kedua kafarah lainnya.
Menurut pendapat yang paling sahih dalam mazhab
Syafi’i dan Hambali: Kafarah tersebut hanya diwajibkan atas suami. Hanafi dan Maliki mengatakan: Kafarah itu wajib atas suami dan istri. Apabila
persetubuhan dilakukan pada dua hari di bulan Ramadhan, maka ia wajib membayar
dua kali kafarah. Demikian pendapat Maliki
Syafi’i. Hanafi berpendapat: Apabila ia belum dapat membayar kafarah pertama,
maka ia hanya wajib membayar satu kafarah saja. Atau, jika persetubuhan
dilakukan dua kali dalam sehari, maka yang kedua tidak wajib dibayar kafarah. Hambali berpendapat: kalau sudah
dibayar kafarah pertama, wajib pula dibayar kafarah kedua.
Para
imam mazhab sepakat bahwa kafarah tidak wajib untuk selain
puasa Ramadhan. Qatadah berpendapat: Wajib menqadhanya sekalipun persetubuhan
dilakukan dengan paksa atau ketika sedang tidur. Hal itu dapat merusak puasanya
dan ia wajib mengqadhanya, kecuali menurut salah satu pendapat Syafi’i, bahwa ia tidak wajib
mengqadhanya. Si perempuan tidak wajib membayar kafarah, kecuali menurut Hambali dalam salah satu riwayatnya.
Menurut Hanafi: jika fjar telah
terbit, seseorang sedang menyetubuhi istrinya, maka puasanya sah dan tidak
diwajibkan mengqadhanya, jika ia dapat melepaskan seketika itu. Jika ia
meneruskannya, maka ia wajib menqadha, tetapi tidak wajib membayar kafarah. Maliki berpendapat: Jika ia
melepaskannya maka ia wajib mengqadha, dan jika diteruskan maka ia wajib
mengqadha dan membayar kafarah. Syafi’i berpendapat:
Jika seketika itu dilepas maka ia tidak diwajibkan apa pun. Jika diteruskan
maka ia wajib mengqadha dan membayar kafarah. Hambali berpendapat: Ia wajib mengqadha dan membayar kafarah secara
mutlak, baik ia dilepaskan seketika maupun diteruskan.
Jika fajar telah terbit, tetapi dalam mulut
seseorang masih terdapat makanan atau masih dalam keadaan bersetubuh, lalu
secepatnya dikeluarkan dan dilepas, maka puasanya sah. Demikian menurut jamaah. Namun, Maliki berpendapat: Puasanya batal. Berciuman dalam puasa hukumnya
haram jika menimbulkan syahwat. Demikian menurut pendapat Hanafi dan Syafi’i, Maliki berpendapat:
Haram secara mutlak. Dari Hambali diperoleh
dua riwayat. Barangsiapa setelah berciuman, lalu keluar madzi, maka tidak batal
puasanya. Demikian menurut tiga imam
mazhab. Hambali berpendapat: Batal puasanya. Jika seseorang yang berpuasa
memandang lawan jenisnya dengan di dorong syahwat hingga keluar air mani maka
tidak batal puasanya. Demikian menurut pendapat tiga imam mazhab. Maliki berpendapat: Batal puasanya.
Menurut pendapat tiga imam mazhab, dibolehkan bagi musafir membatalkan puasa dengan
makan dan bersetubuh. Hambali
berpendapat: Tidak boleh berbuka puasa dengan bersetubuh. Jika musafir bersetubuh,
maka ia wajib membayar kafarah. Para
imam mazhab sepakat bahwa orang yang sengaja makan dan minum, padahal ia
dalam keadaan sehat serta mukim pada hari bulan Ramadhan maka ia wajib
mengqadha dan menahan diri dari hal-hal yang membatalkan puasa pada sisa siang
harinya sampai matahari terbenam. Kemudian, para imam mazhab berbeda pendapat tentang wajibnya kafarah. Hanafi dan Maliki berpendapat: Wajib kafarah atasnya. Syafi’i dalam pendapatnya yang paling kuat dan pendapat Hambali: Tidak wajib kafarah atasnya.
Orang yang makan atau minim karena lupa, tidak batal puasanya. Demikian menurut
pendapat tiga imam mazhab. Maliki
berpendapat: Puasanya menjadi batal dan wajib qadha atasnya.
Para
imam mazhab sepakat bahwa orang yang makan dengan sengaja
pada siang hari bulan Ramadhan maka ia wajib mengqadhanya dengan puasa sehari
pada hari lain. Rabi’ah berpendapat: Tidak cukup, kecuali mengqadhanya dengan
duabelas hari. Ibn al-Musayyab berpendapat: Untuk setiap satu hari, wajib
diqadha satu bulan. An-Nakha’i berpendapat: sehari harus diqadha seribu hari.
Sayyiddina Ali r.a. dan Ibn Mas’ud r.a. berpendapat: Tidk dapat diqadha dengan
puasa sepanjang masa. Apabila seseorang yang berpuasa berbuat sesuatu yang
dapat membatalkan puasa, seperti bersetubuh, makan, atau minum, tetapi ia bukan
karena lupa, maka puasanya tidak batal. Demikian menurut pendapat Hanafi dan Syafi’i. Maliki berpendapat: Puasanya batal. Hambali berpendapat: Puasanya batal jika bersetubuh. Sedangkan jika
makan atau minum, puasanya tidak batal dan wajib membayar kafarah.
Jika orang yang berpuasa dipaksa untuk makan
hingga ia makan, atau perempuan dipaksa untuk bersetubuh hingga ia
melakukannya, apakah hal demikian menimbulkan puasa? Dalam hal ini, Hanafi dan Maliki bersependapat puasanya batal. Syafi’i mempunyai dua pendapat, dan yang paling sahih menurut
ar-Rafi’i adalah puasanya batal. Sedangkan pendapatnya yang dianggap paling
sahih oleh an-Nawawi dalah puasanya batal. Hambali
berpendapat: Batal puasanya jika bersetubuh. Sedangkan jika makan maka tidak batal.
Jika air kumur dan air yang dihirup ke hidung (dalam wudu) terlanjur masuk
kerongkongan tetapi tidak masuk ke perut maka puasanya batal. Demikian menurut
pendapat Hanafi dan Maliki. Syafi’i mempunyai dua pendapat
dalam masalah ini, dan yang paling sahih adalah tidak membatalkn puasa.
Demikian juga menurut pendapat Hambali.
Jika orang berpuasa jatuh pingsan sepanjang
hari aka puasanya batal. Demikian menurut kesepakatan para imam mazhab. Al-Muzani berpendapat: Sah puasanya. Jika orang
berpuasa tidur sepanjang hari maka puasanya sah. Demikian menurut kesepakatan para imam mazhab. Al-Isthakhri seorang
ulama mazhab Syafi’i, berpendapat
bahwa puasanya batal. Barangsiapa yang mempunyai hutang puasa Ramadhan maka ia
tidak boleh menunda-nunda dalam mengqadhanya. Jika ia menundanya hingga datang
Ramadhan berikutnya tanpa uzur maka ia berdosa dan wajib mengqadhanya disertai
membayar satu mud setiap hari.
Demikian menurut pendapat Maliki,
Syafi’i dan Hambali. Sedangkann
menurut pendapat Hanafi: Boleh
menundanya, dan ia tidak diwajibkan membayar kafarah. Pendapat Hanafi ini dipilih oleh al-Muzani.
Jika orang tersebut meninggal dunia sebelum
mampu membayar puasanya maka ia tidak wajib mengqadhanya dan tidak berdosa.
Demikian menurut kesepakatan para kmam
mazhab. Tjawus dan Qatadah berpendapat: Orang tersebut wajib memberi makan
setiap hari kepada orang miskin. Jika ia meninggal dunia sesudah mampu
mengqadhanya maka ia wajib membayar kafarah setiap hari satu mud. Demikian menurut Hanafi dan Maliki. Sedangkan Maliki berpendapat
bahwa walinya tidak wajib memberi makan untuk dirinya kecuali hal itu
diwasiatkan. Syafi’i mempunyai dua
pendapat. Pertama, dalam qaul jadid dan yang paling sahih adalah
waib setiap hari membayar satu mud. Kedua, dalam qaul qadim dan yang dipilih para mufti: Hendaknya walinya
mempuasakan untuknya. Maksud wali disini adlah semua kerabat. Hambali berpendapat: Jika puasanya
adalah puasa nazar mak walinya harus mempuasakannya. Sedangkan jika puasanya
adalah puasa Ramadhan maka walinya hanya memberikan makan orang miskin.
d. Puasa Syawal
Bagi orang yang telah mengerjakan puasa pada
bulan Ramadhan, disunnahkan untuk puasa enam hari pada bulan Syawal. Demikian
menurut kesepakan para imam mazhab kecuali
Maliki yang berpendapat: Tidak
disunnahkan. Ia juga berpendapat dalam
al-Muwaththa’: kami tidak melihat di antara para guru kami ada yang
mengerjakannya. Kami khawatir yang demikian disangka fardu.
e. Puasa Hari Putih
Para
imam mazhab sepakat bahwa puasa pada hari-hari putih adalah
disukai, yaitu tanggal 13, 14, dan 15 pada tiap bulan Qamariyah.
f. Amalan Sunnah yang Utama
Para
imam mazhab berbeda pendapat tentang perbuatan-perbuatan yang
paling utama sesudah perbuatan-perbuatan yang wajib. Hanafi dan Maliki
berpendapat: Tidak ada sesuatu yang lebih utama sesudah fardu ‘ain selain ilmu,
lalu jihad. Syafi’i berpendapat:
Shalat merupakan amalan fisik yang paling utama. Hambali berpendapat: Tidak ada sesuatu yang lebih utama sesudah
perbuatan-perbuatan fardu selain jihad. Orang yang mengerjakan shalat sunnah
dan puasa sunnah, disukai untuk menyempurnakannya, tetapi ia boleh
memutuskannya, dan tidak ada qadha atasnya. Demikian menurut pendapat Syafi’i dan Hambali. Hanafi dan Maliki berpendapat: Wajib
menyempurnakannya, Muhammad bin al-Hasan berpendapat: Kalau seseorang yang
sedang berpuasa sunnah diminta untuk berbuka dengan sumpah maka ia boleh
berbuka dan ia wajib mengqadhanya.
Tidak dimakruhkan mengkhususkan hari Jum’at
untuk berpuasa sunnah. Demikian menurut pendapat Hanafi dan Maliki. Syafi’i,
Hambali dan Abu Yusuf berpendapat: Makruh. Tidak makruh menyikat gigi pada
waktu berpuas. Demikian menurut tiga
imam mazhab. Syafi’i berpendapat: Jika dilakukannya sesudah tergelincir
matahari maka hal itu makruh. Sedangkan pendapat yang dipilih oleh para ulama
kemudian pengikut Syafi’i: Tidak
makruh.
DAFTAR PUSTAKA
� Al-Qur’anul Karim.
� Hasan, M ali. 1997. Tuntunan Puasa.
� Sabiq, Sayyid. 2011. Fiqih sunnah 2.
� Sofyan, M.syatiri. 2004. Ilmu Sosial dasar. Bogor. Universitas Ibnu
Khaldun Fakultas Agama Islam.
� Syaikh al-‘allamah muhammad. 2014.Fiqh Empat Madzhab. Hasyimi : Bandung.