BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Islam yang dibawa Nabi Muhammad Saw.
Hingga sekarang sudah memasuki abad ke-15. Sepanjang waktu tersebut umat Islam
menganut ajaran dan mengembangkannya hingga melahirkn kebudayaan Islam.
Kebudayaan Islam pada zaman klasik mencapai puncak kejayaan, memasuku zaman
pertengahan kebudayaan Islam melemah drastis. Memasuki zaman modern kebudayaan
Islam sedikit demi sedikit mengalami perkembangan.
Setelah khilafah Abbasiyah di Baghdad
runtuh akibat serangan tentara Mongol, kekuatan politik Islam mengalami
kemunduran secara drastic. Wilayah kekuasaannya tercabik-cabik dalam beberapa
kerajaan kecil yang satu sama lain bahkan saling memerangi. Bebeapa peninggalan
budaya dan peradaban Islam banyak yang hancur akibat serangan bangsa Mongol
itu. Namun, kemalangan tidak berhenti sampai disitu. Timurlenk, sebagaimana
telah disebut, menghancurkan pusat-pusat kekuasaan Islam yang lain.
Keadaan politik umat Islam secara
keseluruhan baru mengalami kemajuan kembali setelah muncul dan berkembangnya
tiga kerajaan besar: Kerajaan Usmani di Turki, Kerajaan Mughal di India, dan
Kerajaan Safawi di Persia. Kerajaan Usmani, di samping yang pertama berdiri,
juga yang terbesar dan paling lama bertahan disbanding dua kerajaan lainnya.[1]
Bagi mahasiswa calon guru agama perlu mengetahui
perkembangan kebudayaan Islam. Agar dapat menyadari bahwa maju mundurnya
kebudayaan Islam terdapat faktor-faktor yang mempengaruhinya. Selain itu
mempelajari Islam dari aspek kebudayaannya akan menjadi bekal bagi guru, karena
di sekolah dan madrasah terdapat mata pelajaran Sejarah Kebudayaan Islam
(tarikh).[2]
1.2 Rumusan Masalah
Dalam pembahasan makalah ini kami akan membahas
beberapa rumusan masalah, yaitu:
1).
Bagaimana perkembangan kebudayaan Islam pada zaman
Kerajaan Usmani di Turki?
2).
Bagaimana perkembangan kebudayaan Islam pada zaman
Kerajaan Safawi di Persia?
3).
Bagaimana perkembangan kebudayaan Islam pada zaman
Kerajaan Mughal di Mughal?
1.3 Tujuan Masalah
1).
Agar pembaca mengetahui bagaimana perkembangan
kebudayaan Islam pada zaman Kerajaan Usmani di Turki.
2).
Agar pembaca mengetahui bagaimana perkembangan
kebudayaan Islam pada zaman Kerajaan Safawi di Persia?
3).
Agar pembaca mengetahui bagaimana perkembangan
kebudayaan Islam pada zaman Kerajaan Mughal di Mughal?
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Kerajaan Usmani di Turki
2.1.1 Asal-usul Kerajaan Usmani
Khalifah
Usmaniyah berawal dari sebuah kabilah pengembara yang mendiami wilayah Asia
Tengah, yaitu Turkistan. Mereka termasuk suku Kayi. Ketika bangsa Mongol
menyerang dunia Islam, pemimpin suku Kayi, Sulaiman Syah, mengajak anggota
sukunya untuk menghindari serbuan bangsa Mongol tersebut dan lari ke arah
barat. Di Asia kecil mereka kemudian menetap dan mendapatkan wilayah padang
rumput yang luas dan subur. Setelah merasa aman dari ancaman serangan Mongol,
Sulaiman kemudian memasuki wilayah Syiria, namun musibah menimpanya. Pasalnya,
ia justru meninggal dihantam banjir ketika menyebrang sungai Euphrat di dekat
kota Aleppo pada tahun 1228 M.
Kawanan
pengembara itu lalu terpecah menjadi dua kelompok: mereka yang ingin kembali ke
daerah asalnya dan mereka yang ingin meneruskan perjalanan ke Asia kecil.
Kelompok kedua yang berjumlah 400 keluarga sepakat mengangkat Erthogrul sebagai
pemimpin mereka. Kemudian, mereka mengabdikan diri kepada Sultan Alaudin II
dari Turki Saljuk Rum.
Pada
waktu itu, Alaudin sedang berhadapan dengan kekaisaran Byzantium. Atas bantuan
Erthogrul, pasukannya berhasil memperoleh kemenangan. Sebagai hadiahnya, Sultan
memberikan satu wilayah yang berbatasan dengan Byzantium. Dengan senang hati,
Erthogrul menerima hadiah itu lalu membangun dan memperluas wilayah itu. Pada
tahun 1280 M, Erthogrul meninggal dan kedudukannya sebagai pemimpin digantikan
oleh anaknya bernama Usman.
Sementara
itu, tentara Mongol tidak henti-hentinya melakukan serangan ke berbagai wilayah.
Serangan ke wilayah saljuk rum tidak dapat ditahan oleh Alaudin sampai ia
terbunuh. Usman menggunakan kesempatan ini untuk memproklamasikan sebuah
kekuasaan baru pada tahun 1300 M dengan nama Kerajaan Usmani. Dari wilayah
Anatolia Tengah, Usman berhasil memperluas wilayah sampai ke tiga benua, yakni
Asia Kecil, Eropa Timur, Eropa Selatan, dan Afrika Utara.[3]
2.1.2 Para Penguasa Kerajaan Usmani
Para penguasa Kerajaan Usmani yang pada
awalnya bergelar padishah, lalu sultan, dan kemudian ditambah lagi dengan khalifah,
berjumlah 38 orang.[4]
Tujuan dipakainya gelar khalifah dimungkinkan untuk meningkatkan kewibawaan
kekuasaan sultan. Sejak Usman hingga Sulaeman Yang Agung, dapat dikatakan bahwa
para sultan terdiri atas orang-orang yang kuat dan dapat mengembangkan kerajaannya
hingga ke Eropa dan Afrika. Di masa Sulaeman itulah Turki Usmani mencapai
puncak kejayaannya. Setelah masa itu, mereka berkuasa dalam keadaan lemah,
ditambah lagi dengan banyaknya serangan balik dari Negara-negara Eropa yang
sudah merasa kuat.
Dalam sekian lama kekuasaannya, sejarah
Usmani dapat dibagi menjadi lima periode.
1).
Periode Pertama (1299-1402 M)
Pada
periode ini dimulai dari awal berdirinya, perluasan pertama sampai kehancuran
sementara oleh serangan Timurlenk. Sultannya pada periode ini adalah Usman,
Orkhan, Murad, dan Bayazid. Pada masa Usman, dilakukan perluasan wilayah Islam
dengan merebut wilayah yang dikuasai Byzantium. Bersama anaknya, Orkhan, ia
menyerang wilayah barat Byzantium hingga ke Sela Bosporus. Pada tahun 1324 M,
Usman dapat menguasai Bursa, sebuah kota di tepi Laut Marmara. Penduduk kota
itu berduyun-duyun masuk agama Islam. Setelah Orkhan menggantikan Usman, ia
memindahkan ibu kota dari Iskisyihar ke Bursa.
Orkhan
juga dapat menundukkan ilayah Turkeman, Nicaca, Nicomedia, Scutari, Karasi, dan
dapat mengontrol wilayah antara Teluk Edremit dan Cyzicus yang dapat mencapai
Laut Marmara. Sultan Murad meluaskan wilayah sampai ke Eropa serta menaklukkan
wilayah Asia Kecil sampai ke Ankara. Demikian juga Adrianopel berhasil ditundukkannya.
Namun, ia lalu terbunuh oleh tentara Serbia pada tahun 1389 M. Bayazid, putra
Murad, tampil menggantikannya.
Bayazid
menaklukan wilayah yang belum ditundukkan sultan-sultan sebelumnya. Di masanya,
terjadi perang besar antara pasukan Usmani melawan tentara sekutu Eropa yang
dimenangkan oleh pasukan Usmani. Bayazid dapa menghancurkan tentara Salib pada
tahun 1396 M. Pasukan Bayazid juga harus menghadapi tentara Mongol di bawah
komando Timurlenk. Hanya saja, karena jumlah pasukannya tidak seimbang, ia pun
dikalahkan dan ditawan oleh Timurlenk dan wafat pada tahun 1402 M.
2).
Periode Kedua (1402-1566 M)
Periode
ini ditandai dengan restorasi kerajaan dan cepatnya pertumbuhan dan
perluasannya yang terbesar. Sultan-sultan pada periode ini adalah Muhammad I,
Murad II, Muhammad al-Fatih, Bayazid II, Salim I, dan Sulaiman al-Qanuni.[5]
Periode ini dimulai dengan masa transisi
karena perebutan kekuasaan di antara anak-anak Bayazid I, yang diakhiri oleh
kemenangan Muhammad terhadap saudara-saudaranya. Ia pada awalnya berkuasa atas
Anatolia saja pada 1403-1413. Sementara saudaranya, Sulaiman, berkuasa atas
Rumelia pada 1403-1413. Mulai tahun 1413, Muhammad menguasai seluruh wilayah
warisan ayahnya.
Periode
ini juga ditandai dengan perbaikan-perbaikan sehingga Kerajaan Usmani kembali
kuat dan berkembang secara mengagumkan. Hal ini tampak dari kenyataan bahwa
Constantinopel dapat dikuasai pada 1453 oleh Muhammad al-Fatih dan Mesir pada
1517 oleh Sultan Salim I. Maa keemasan terjadi pada masa pemerintahan Sultan
Sulaiman Yang Agung. Periode kedua ini berakhir dengan wafatnya Sultan
Sulaiman.
3).
Periode Ketiga (1566-1703)
Kerajaan
Usmani hanya mampu bertahan agar tidak hancur tanpa adanya kemajuan dalam
perluasan wilayah. Mereka bahkan sudah mulai kehilangan daerah Hongaria.
4).
Periode Keempat (1703-1839)
Kerajaan
Usmani berada dalam masa kemunduran dengan wilayah yang semakin menyempit.
Sedikit demi sedikit, kekuaaan berpindah kepada para pengikutnya yang berusaha
meminta otonomi, atau bahkan ingin melepaskan diri dari pemerintah pusat.
5).
Periode Kelima (1839-1924)
Periode ini
dilanjutkan dengan pembaruan di bidang politik, administrasi, dan kebudayan,
hingga Kerajaan Usmani jatuh pada tahun 1924 dan berganti menjadi republic di
bawah mustafa Kemal Ataturk. Pada masa kelima inilah timbul berbagai pemikiran
dan gerakan untuk memajukan Kerajaan Usmani, seperti Tanzimat, Usmani Muda,
pan-turanisme, pan-turkisme, pan-islamisme, dan nasionalisme Turki. [6]
2.1.3 Modernisasi Kerajaan Usmani
Pada abad ke-17,
Kerajaan Usmani sudah mengadakan modernisasi dalam keadaan terbatas. Modernisasi
itu dilanjutkan pada abad-abad berikutnya. Yang dimaksud dengan modernisasi
ialah usaha perbaikan atas pemikiran maupun gerakan unuk mengubah paham, adat
istiadat, tatanan-tatanan lama, dan lainnya agar sesuai dengan situasi baru
sebagai hasil yang dicapai oleh ilmu dan teknologi modern. Penemuan-penemuan
baru di bidang ilmu dan teknologi menyebabkan tidak berfungsinya tatanan lama.
Pertemuan antara dunia Islam dan Barat yang membawa kepada pemikiran-pemikiran
baru menyebabkan sibuknya para pemimpin Islam untuk memecahkan masalah tersebut
di dunia Islam agar tidak terkungkung dalam situasi kemunduran dan diharapkan
dapat mencapai kemajuan.
2.1.4 Kemajuan Kerajaan Usmani
Kemajuan dan
perkembangan ekspansi kerajaan Usmani yang demikian luas dan berlangsung dengan
cepat itu diikuti pula oleh kemajuan-kemajuan dalam bidang-bidang kehidupan
yang lain. Di antaranya yaitu sebagai berikut.
1).
Bidang Kemiliteran dan Perluasan Wilayah
Para pemimpin
kerajaan Usmani pada masa-masa pertama, adalah orang-orang yang kuat, sehingga
kerajaan dapat melakukan ekspansi dengan cepat dan luas. Meskipun demikian,
kemajuan Kerajaan Usmani mencapai masa keemasannya itu, bukan semata-mata
karena keunggulan politik para pemimpinnya. Masih banyak faktor lain yang
mendukung keberhasilan ekspansi itu. Yang terpenting di antaranya adalah
keberanian, keterampilan, ketangguhan, dan kekuatan militernya yang sanggup
bertempur kapan dan dimana saja.[7]
Keberhasilan
Khilafah Turki Usmani memperluas kekuasaan ke berbagai wilayah yang begitu luas
ditentukan oleh kekuatan militernya yang tangguh.
Kekuatan militer
Turki terletak pada mesin perangnya bernama Jenisarry.
Mereka adalah tentara professional yang direkru dari orang-orang bukan
Turki, bahkan ada juga yang berasal dari kalangan anak-anak Kristen yang masih
kecil yang diasramakan dan dibina dalam suasana Islam untuk dijadikan prajurit.
Makin lama mereka makin menjadi kekuatan yang diperhitungkan karena memiliki
disiplin yang tinggi.
Selain Jenisarry ada lagi prajurit dari tentara
kaum feudal yang dikirim kepada pemerintah pusat. Pasukan ini disebut tentara Thaujiah. Angkatan laut pun dibenahi
karena ia mempunyai peranan yang besar dalam perjalanan ekspansi Turki Usmani.
Pada abad ke-16, angkatan laut Turki Usmani mencapai puncak kejayaannya. Faktor
utama yang mendorong kemajuan di bidang militer adalah tabiat bangsa Turki itu
sendiri yang bersifat militer, berdisiplin, dan patuh terhadap peraturan.
Tabiat ini merupakan tabiat alami yang mereka warisi dari nenek moyang mereka
di Asia Tengah.[8]
2).
Bidang Pemerintahan
Bentuk
kerajaan Turki Utsmani didasarkan kepada sistem feodal yang ditiru langsung
dari kerajaan Bizantium. Dalam sistem pemerintahan, sultan adalah penguasa
tertinggi dalam bidang agama, politik, pemerintahan bahkan masalah-masalah
perekonomian. Pelantikan sultan mengikuti sistem feodal. Pada mulanya
sultan-sultan ini terdiri dari amir-amir yang menjadi tuan tanah pada masa
kerajaan Saljuk yang berpusat di Konya. Orkhan adalah salah seorang dari
amir-amir itu yang kemudian memproklamasikan dirinya sebagai seorang sultan.
Setelah itu, Bayazid I juga bergelar dengan
“Sultan ar-Rum”,pemimpin negara Islam. Murad II misalnya telah
menggunakan gelar “Sultan al-Barrain wal
Bahrain”(sultan di dua benua dan lautan). Murad I menggelari dirinya dengan “Khalifah Allah di Bumi”setelah berhasil
menaklukkan Andrianopel. Orang kedua yang berkuasa adalah wazirbesar. la adalah ketua badan penasihat
kesultanan yang membawahi semua
wazirdan amir.Sebagai simbol
kekuasaannya, ia diangkat sebagai wakil sultan. Di samping itu, di setiap
daerah ada seorang qadi, pimpinan agama
yang mempunyai kekuasaan untuk menjalankan hukum pidana dan perdata menurut
syariat Islam berda sarkan Alquran dan aI-Hadis. Sejak masa pemerintahan Salim
I dibentuk pula Majelis Syeikhul
Islam (Mufti) yang berkedudukan di
Istambul. Tugas utamanya adalah memberikan fatwa dalam semua permasalahan
agama, termasuk keputusan perang terhadap sesama muslim. Misalnya, Mufti Sultan
Salim I membenarkan peperangan menentang orang Islam Mesir. Mufti juga diberi
hak untuk melantik pegawai-pegawai istana di ibu kota Istambul (Badri Yatim,
2003:137).
3).
Bidang Keagamaan dan Budaya
Kerajaan
Turki Usmani memiliki keterikatan yang kuat dengan syariat Islam sehingga fatwa
ulama menjadi hukum yang berlaku. Karena itu, ulama mempunyai tempat tersendiri
dan berperan besar dalam kerajaan dan masyarakat. Kehidupan
keagamaan merupakan bagian dari sistem sosial dan politik Turki Utsmani. Ulama
mempunyai kedudukan tinggi dalam kehidupan negara dan masyarakat. Mufti sebagai
pejabat tinggi agama, tanpa legitimasi Mufti keputusan hukum kerajaan tidak
dapat berjalan. Pada masa ini kehidupan tarekat berkembang pesat. Al-Bektasidan
al-Maulawimerupakan dua ajaran tarekat yang paling besar.
Al-Bektasimerupakan tarekat yang sangat berpengaruh terhadap tentara Yeniseri,
sedangkan al-Maulawiberpengaruh besar di
kalangan penguasa sebagai imbangan dari kelompok Yeniseri
Bektasi (Badri Yatim, 2003:137).[9]
4).
Bidang Intelektual
Kemajuan bidang intelektual Turki
Utsmani tampaknya tidak lebih menonjol dibandingkan bidang politik dan
kemiliteran. Aspek-aspek intelektual yang dicapai adalah:
a).
Terdapat dua buah surat kabar yang muncul pada masa
ini, yaitu:
1.
Berita harian
Takvini Veka (1831) dan,
2.
Jurnal
Tasviri Efkyar (1862) dan Terjumani Ahval (1860).
b).
Pendidikan, terjadi transformasi pendidikan dengan
mendirikan sekolah-sekolah (madrasah) dasar, menengah (1861) dan perguruan
tinggi (1869), fakultas kedokteran dan fakultas hukum serta mengirimkan para
pelajar yang berprestasi ke Prancis untuk melanjutkan studinya yang sebelumnya
tidak pernah terjadi. Ulama dan sejumlah karyanya yang dihasilkan pada masa
Turki Utsmani:
1.
Mustafa Ali (1541-1599 M), ahli sejarah, karyanya
antara lain Kunh al-Akhbar, tentang sejarah dunia sejak Adam As sampai
Yesus, sejarah Islam awal hingga Turki Utsmani;
2.
Evliya Chelebi (1614-1682 M), ahli ilmu sosial,
karyanya antara lain Seyabat Name (Buku Pedoman Perjalanan), tentang masyarakat
dan ekonomi Turki Utsmani;
3.
Arifi (w. 1561 M), sejarawan istana, karyanya antara
lain Shah-name-I-Al-I Osman, cerita
tentang keluarga raja-raja Utsmani (Jaih Mubarok, 2004: 115).
Sastra dan Bahasa, muncunya
sastrawan-sastrawan dengan hasil karyanya setelah menamatkan studi di luar
negeri seperti Ibrahim Shinasi pendiri surat kabar Tasviri E t‘kyar. Di antara karya yang dihasilkannya adalah The Poets Wedding (komedi). Salah seorang
pengikutnya adalah Namik Kemal dengan karyanya Fatherland atau
Silistria. Di samping itu,
terdapat Ahmad Midhat dengan Entertaining Tales
dan Mehmed Taufiq dengan Year in Istanbul.
5).
Bidang Seni dan Arsitektur
Di
samping kemajuan politik, kemajuan seni arsitektur juga berkembang pesat.
Terlihat dari adanya bangunan-bangunan besar yang bernilai artistik, terutama
bangunan masjid. Salah satunya adalah Masjid Aya Sophia yang dulunya adalah
sebuah gereja. Masjid ini oleh Muhammad al-Fatih diperindah, di mana dinding
bagian dalamnya dihiasi oleh tulisan indah yang terdiri atas asmaul husna, nama
Rasulullah, dan nama Khulafaur Rasyidin. Sementara, di luar masjid dibangun
beberapa menara yang menjulang tinggi.
Masjid
lainnya yang juga sangat artistik adalah Masjid Raya Sultan Muhammad al-Fatih
dan Masjid Abu Ayyub al-Anshary. Masjid yang terakhir ini biasa digunakan
sebagai tempat pelantikan sultan-sultan Usmani yang baru. Tidak jauh dari
tempat ini juga terdapat tempat pemakaman sultan dan para pembesar Kerajaan
Usmani. Al-Qanuni semakin mempercantik kota Istanbul dan kota-kota lainnya.
Arsitek
andalannya bernama Sinan, yang berhasil menyelesaikan sebanyak 235 bangunan.
Karya Sinan yang mahabesar adalah Masjid Raya Sulaimaniyah, sebuah nama yang
diambil dari nama Sultan Sulaiman. Masjid ini mengungguli kemewahan Gereja Sana
Sophia. Bahkan, kubahnya jauh lebih besar daripada Katedral Justianus. Mihrab
dan dinding bagian dalamnya pun dihiasi dengan ubin indah gaya Persia. Seni
arsitektur Turki merupakan perpaduan antara kebudayaan Byzantium dan kebudayaan
Turki.
2.1.5 Kemunduran Kerajaan Usmani
Setelah
Sultan Sulaiman Al-Qanuni wafat (1566 M), kerajaan Turki Usmani mulai memasuki
fase kemundurannya. Akan tetapi, sebagai sebuah kerajaan yang sangat besar dan
kuat, kemunduran itu tidak langsung terlihat. Sultan Sulaiman Al-Qanuni diganti
oleh Salim II (1566-1573 M). Di masa pemerintahannya, terjadi pertempuran
antara armada laut Kerajaan Usmani dengan armada laut Kristen yang terdiri dari
angkatan laut Spanyol, angkatan laut Bundukia, angkatan laut Sri Paus, dan
sebagai kapal para pendeta Malta yang di pimpin Don Juan dari Spanyol.
Pertempuran itu terjadi di Selat Liponto (Yunani). Dalam pertempuran ini, Turki
Usmani mengalamai kekalahan yang mengakibatkan Tunisia dapat direbut oleh
musuh. Baru pada masa Sultan berikutnya, Sultan Murad III, pada tahun 1575 M
Tunisia dapat direbut kembali.
Walaupun
Sultan Murad III (1574-1595 M) berkepribadian jelek dan suka memperturutkan hawa
nafsunya, Kerajaan Usmani pada masanya berhasil menyerbu Kaukasus dan menguasai
Tiflis di laut Hitam (1577 M), merampas kembali Tabriz, ibukota Safawi,
menundukan Georgia, menncampuri urusan dalam negari Polandia dan mengalahkan
gubernur Bosnia pada tahun 1593 M.[10] Namun, kehidupan moral
sultan yang jelek menyebabkan timbulnya kekacauan dalam negeri. Kekacawan ini
makin menjadi-jadi dengan tampilnya Sultan Muhammad III (1595-1603 M), peganti
Murad III, yang membunuh semua saudara laki-lakinya berjumlah 19 orang dan
menenggelamkan janda-janda ayahnya sejumlah 10 orang demi kepentingan pribadi.[11] Dalam situasi yang baik itu, Australia
berhasil memukul Kerajaan Usmani. Meskipun Sultan Ahmad I (1603-1617 M),
pengganti Muhammad III, sempat bangkit untuk meperbaiki situasi dalam negeri,
tetapi kejayaan Kerajaan Usmani di mata bangsa-bangsa Eropa sudah mulai memudar. Sesudah Sultan Ahmad I
(1603-1617 M), situasi semakin memburuk
dengan naiknya Mustafa I ( masa pemerintahannya yang pertama (1617-1618 M) dan
kedua, (1622-1623 M). Karena gejolak politik dalam negeri tidak bisa
diatasinya, Syaikh Al-Islam mengeluarkan fatwa agar ia turun dari tahta
dan diganti oleh Usman II (1618-1622 M). Namun, yang tersebut terakhir ini juga
tidak mampu memperbaiki keadaan. Dalam situasi demikian,bangsa Persia bangkit
mengadakan perlawanan merebut wilayahnya kembali. Kerajaan Usmani sendiri tidak
mampu berbuat banyak dan terpaksa melepaskan wilayah Persia tersebut.
Langkah-langkah perebaikan kerajaan mulai diusahakan oleh Sultan Murad IV
(1623-1640 M). Pertama-tama, ia mencoba menyusun dan menertibkan pemerintahan.
Pasukkan Jenissari yang pernah membangkang Usman II dapat dikuasainya. Akan
tetapi, masa pemerintahannya berakhir sebelum ia berhasil menjernihkan situasi
negara secara keseluruhan.
Banyak
faktor yang menyebabkan kerajaan Usmani itu mengalami kemunduran, di antaranya
adalah:
1). Wilayah Kekuasaan yang Sangat Luas
Administrasi
pemerintahan bagi suatu Negara yanmg amat luas wilayahnya sangat rumit dan
kompleks, sementara administrasi pemerintahan Kerajaan Usmani tidak beres. Di
pihak lain, para penguasa sangat berambisi menguasai sehingga mereka terlibat
perang terus-menerus dengan berbagai bangsa. Hal ini tentu menyedot banyak
potensi yang seharusnya dapat digunakan untuk membangun Negara.
2). Heterogenitas Penduduk
Sebagian
Kerajaan besar, Turki Usmani menguasai wilayah yang amat luas, mencakup Asia
Kecil, Amerika, Irak, Syiria, Hejaz, dan Yaman. Di asia; Mesir, India, Tunis,
dan Alzajair di Afrika; dan Bulgaria, Yunani, Yugoslavia, Albania, Hongaria,
dan Rumania di Eropa. Wilayah yang luas itu didiami oleh penduduk yang beragam
dan tersebar di wilayah yang luas itu, diperlukan suatu organisasi pemerintahan
yang teratur. Tanpa didukung oleh administrasi yang baik, Kerajaan Usmani hanya
akan menanggung beban yang berat akibat heterogenitas tersebut. Perbedaan
bangsa dan Agama acap kali melatarbelakangi terjadinya pemberontakan dan
peperangan.
3). Kelemahan Para Penguasa
Sepeninggal
Sulaiman al-Qanuni, Kerajaan Usmani diperintah oleh Sultan-sultan yang lemah,
baik dalam kepribadian terutama dalam kepemimpinannya. Akibatnya, pemerintah
menjadi kacau, kekacauan itu tidak pernah dapat diatasi secara sempurna bahkan
semakin lama menjadi semakin ramah.
4). Budaya Pungli
Pungli merupakan
perbuatan yang sudah umum terjadi dalam Kerajaan Usmani. Setiap jabatan yang
hendak diraih oleh seseorang harus “dibayar” dengan sogokan kepada orang yang
berhak memberikan jabatan tersebut. Berjangkitnya budaya Pungli ini
mengakibatkan dekandensi moral yang merajalela yang membuat pejabat semakin
rapuh.
5). Pemberontakan Tentara Jenissari
Kemajuan
ekspansi kerajaan Usmani banyak ditentukan oleh kuatnya tentara janissary.
Dengan demikian, dapat dibayangkan bagaimana kalau tentara ini memberontak.
Pemberontakan tentara janissary terjadi sebanyak empat kali, yaitu pada tahun
1525 M, 1632 M, 1727 M, dan 1826 M.
6). Merosotnya Ekonomi
Akibat perang
yang tak pernah berhenti, perekonomian Negara merosot. Pendapatan berkurang,
sementara belanja Negara sangat besar termasuk untuk biaya perang.
7). Terjadinya Stagnasi dalam Lapangan Ilmu
dan Teknologi
Kerajaan Usmani
kurang berhasil dalam pengembangan Ilmu dan teknologi, karena hanya
mengutamakan pengembangan kekuatan militer. Kemajuan militer yang tidak
diimbangi oleh kemajuan ilmu dan teknologi menyebabkan kerajaan ini tidak
sanggup menghadapi persenjataan musuh dari Eropa yang lebih maju. Sebagaimana
yang disebutkan pada bab terdahulu, tidak terjadinya perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi dalam Kerajaan Usmani, ada kaitan dengan perkembangan
metode berpikir tradisional di kalangan umat Islam. Hal itu juga sejalan dengan
menurunnya semangat berpikir bebas akibat tidak berkembangnya pemikiran
filsafat sejak masa Al-Ghazali.
Demikianlah
proses kemunduran kerajaan besar Usmani. Pada masa selanjutnya, di periode
modern, kelemahan kerajaan ini menyebabkan kekuatan-kekuatan Eropa tanpa
segan-segan menjajah dan menduduki daerah-daerah Muslim yang dulunya berada di
bawah kekuasaan Kerajaan Usmani, terutama di Timur Tengah dan Afrika Utara.[12]
2.2 Kerajaan Safawi di Persia
2.2.1 Asal-usul Kerajaan Safawi
Kerajaan
ini di dirikan oleh syah isma’il I (907 H/1501 M) di tabzir, iran ketika itu
masih bernama persia ibukota kerajaan Alaq Koyunlu adalah kerajaan suku turki
diwilayah iran bagian barat. Kerajaan Safawi berasal dari gerakan tarekat yang
berdiri di Ardabil, sebuah kota di Azerbaijan. Tarekat ini diberi nama
Safawiyah karena pendirinya bernama Syaikh Safiyudin Ishaq (1252-1334 M).
kerajaan Safawi beraliran Syiah dan dapat dianggap sebagai peletak dasar
terbentuknya Negara Iran dewasa ini.
Syaikh Safiyudin Ishaq
bukan hanya seorang guru tarekat. Ia juga sebagai pedagang dan politisi. Namun,
ia kurang berambisi terhadap kekuasaan politik karena bidang politik bukanlah
perhatian utamanya. Ia lebih tertarik menjadi pelindung kaum miskin dan
orang-orang lemah. Selain itu, ia memiliki misi, antara lain, mengislamkan
orang Mongol, penganut agama Budha. Ia sendiri adalah orang Sunni.
Popularitasnya tidak terbatas hanya di wilayah Ardabil. Jaringan para murid dan
wakilnya terbentang dari wilayah Oxus sampai teluk Persia, dan dari wilayah
Kaukasus sampai Mesir.
Pada mulanya
gerakan tarekat Safawiyah bertujuan memerangi orang-orang ingkar dan ahli
bid’ah. Gerakan Safawiyah makin lama makin besar pengaruhnya dan makin banyak
pengikutny. Suatu ajaran yang dipegang secara fanatic biasanya kerapkali
menimbulkan keinginan di kalangan pengikutnya untuk berkuasa. Oleh karena itu,
lama-kelamaan murid-murid tarekat Safawiyah berubah menjadi tentara yang
teratur, fanatic dalam kepercayaan, dan menentang mazhab yang bukan Syiah.[13]
2.2.2 Para Penguasa Kerajaan Safawi
Syah Ismail I adalah tokoh yang
memprakarsai berdirinya Kerajaan Safawi di Persia. Ia berkuasa selama 23 tahun,
di mana pada sepuluh tahun pertama berhasil memperluas kekuasaannya. Wilayahnya
meliputi India, Kaspia, Gurgan Yazd, Diyat Bakr, Persia, Sirwan, dan Khurasan.
Keberhasilan dalm memperluas kekuasaannya ini tidak dapat dilepaskan dari peran
pasukan militernya yang bernama Qizilbash.
Ia juga menerapkan paham Syiah sebagai
mazhab resmi Negara. Keputusannya ini tentu saja mengundang reaksi penentangan ideologis
dari para ulama Sunni. Namun, ia tetap bergeming, malahan tidak segan-segan
bertidak keras. Terbukti, di Baghdad dan Heart, misalnya, ia membunuh secara
kejam para ulama dan sastrawan Sunni yang menolak ideology Syiah. Akibatnya,
hingga beberapa decade kemudian para penganut Sunni seperti di Khurasan harus
menyembunyikan identitas Sunni mereka atau mempraktikan tradisi Sunni secara
sembunyi-sembunyi.
Sejatinya, Ismail I adalah orang yang
sangat berani dan berbakat. Ambisi politiknya mendorong untuk menguasai
daerah-daerah lain sampai Turki Usmani. Namun, dalam peperangan ia dikalahkan
oleh tentara Turki, yang lebih unggul dalam hal kemiliteran, pada tahun 1514 M
di Chaldiran, dekat Tabriz. Bahkan, Turki Usmani di bawah pimpinan Sultan Salim
dapat menduduki Tabriz. Hanya saja, Kerajaan Safawi akhirnya terselamatkan
menyusul kembalin sang Sultan ke negerinya karena terjadi perpecahan di
kalangan militer Turki.
Kekalahan ini membuat Ismail I frustasi.
Ia lalu senang menyendiri, menempuh kehidupan hura-hura dan berburu. Para
penggantinya, yakni Tahmasp, Ismail II, dan Khudabanda, ternyata tidak mampu
mengembalikan kebesaran kerajaan. Hal ini baru dapat dipulihkan saat kerajaan
diperintah oleh Syah Abbas I. Secara politik, ia mampu mengatasi kemelut di dalam
negeri yang mengganggu stabilitas Negara dan berhasil merebut kembali
wilayah-wilayah yang pernah direbut oleh penguasa lain.
Popularitas Abbas I ditopang oleh sikap
keagamaannya. Ia terkenal sebagai seorang Syiah yang saleh yang dibuktikan dari
seringnya ia berziarah ke tempat suci Qum dan Mayhad. Di samping itu, ia pun
melakukan perubahan struktur birokrasi dalam lembaga politik keagamaan. Abbas I
telah berhasil menciptakan kemajuan pesat dalam bidang keagamaan, yang membuat
ideology Syiah semkin dikukuhkan.[14]
2.2.3 Struktur Pemerintahan Kerajaan Safawi
Secara
administratif, struktur organisasi pemerintahan kerajaan safawi dapat dibagi
menjadi dua yaitu secara horizontal dan vertikal. Secara horizontal, pembagian
tersebut didasarkan pada garis kesukuan/kedaerahan, sedangkan secara vertikal
mencakup dua jenis yaitu istana (dargh) dan sekretariat negara (divan atau
mamalik). Dalam hal kesukuan, qizilbasy, suku keturunan turki yang menjadi
tulang punggung lahirnya kerajaan safawi, telah menjelma menjadi kelompok bangsawan
militer pemerintahan safawi. Para kepala suku dari turki ini menjabat gubernur
yang berasal dari militer di sebagian besar propinsi kerjaan safawi selama
periode awal sebagaimana diketahui, basis dan sumber kekuasaan politik
pemerintahan kerajaan safawi adalah sistem militer kaum qizilbasy. Mereka bukan
saja menempati kedudukan strategis dalam bidang militer, tetapi juga menduduki
jabatan pemerintahan yang sangat penting. Kekuasan politik dari sistem militer
kaum qizilbasy ini berlangsung sampai masa pemerintahan syah muhammad
khudabanda (986H/1578M-996H/1588M).
Pada
periode awal kerajaan safawi selain bangsa turki sebagai asal keturunan kaum
qizilbasy yang sangat berkuasa, keturunan tajik juga telah menempati kedudukan
yang sangat strategis dalam pemerintahan. Bahkan dari latar belakang keturunan
ini bukan saja telah lahir para menteri dan pejabat di lingkungan sekretariat
negara, namun juga telah muncul kalangan akuntan, pegawai administrasi,
pengumpulan pajak, dan pejabat administrasi keuangan. Sementara itu, kalangan
ulama mayoritas berasal dari keturunan persia. Sejumlah ulama yang berasal dari
keturunan arab pun telah bercampur baur dengan ulama dari keturunan persia.
Bahkan jabatan sadr (ketua lembaga agama) selalu berasal dari keturunan persia.
Pada
periode awal kerajaan safawi, bidang hukum termasuk bidang yang sistem
administrasinya bersifat rumit. Jabatan sadr, misalnya selain berfungsi
terutama dalam menyebarkan agama syiah, juga bertanggung jawab dalam masalah
administrasi hukum yang diterapkan dalam masyarakat. Adapun urusan hukum yang
berkaitan dengan istana berada dibawah tanggung jawab qadi al-qudrat (mahkamah
agung) dan syekh al-islam.
Sepanjang
sejarah kerajaan safawi, struktur pemerintahannya mengalami tiga fase
perkembangan. Pertama, periode kekuasaan syah isma”il I sampai dengan akhir
pemerintahan muhammad khudabanda (907 H/1501 M-996 H/1588 M). Kedua, sepanjang
masa kekuasaan syah abbas I (996 H/1588 M-1038 H/1629 M). Dan ketiga, sejak
masa pemerintahan syah safi sampai dengan jatuhnya kerajaan safawi ke tangan
afghan (1038 H/1629 M-1135 H/1722 M). Periode pertama adalah periode peralihan,
ketika terjadi banyak perubahan dan penyesuaian struktur administrasi
pemerintahan. Sebagai akibatnya, benturan wewenang antara satu jabatan dan
jabatan lainnya sering tak dapat dihindarkan. Periode kedua, syah abbas I
karena keberhasilannya digelari “syah yang agung” melakukan penataan kembali
sistem administrasi kerajaan safawi. Adapun periode ketiga merupakan fase
kemunduran yang mengakibatkan kejatuhan safawi.
1). Fase I (907
H/1501 M-996 H/1588 M)
Struktur administrasi pemerintahan pada
fase pertama ini ditandai oleh menonjolnya pertentangan kesukuan, terutama
antara keturunan turki dan keturunan persia. Orang militer qizilbasy yang
berasal dari keturunan turki sangat berkuasa dalam pemerintahan dinasti safawi.
Seperti diketahui, qizilbasy adalah organisasi militer paling bertanggung jawab
atas keberhasilan syah isma’il mendirikan kerajaan safawi.
Setelah 6 tahun masa
jabatan wilakat (wakil syah) yang sangat strategis tersebut dipegang oleh kaum
qizilbasy, syah isma’il mengubah kebijakan tentang sistem pengangkatannya.
Setelah husain beg, jabatan wakil syah berturut-turut dipercayakan kepada orang
persia antara tahun 913 H/1508 M dan 930 H/1524 M. Sepanjang rentang periode
ini, tidak kurang dari lima orang persia yang diangkat menjadi wakil syah. Dua
dari lima orang wakil sya yang berlatar belakang persia tersebut tewas dibunuh
oleh orang qizilbasy. Adapun yang ketiga tewas sebagai akibat langsung dari
konflik kepentingan kekuasaan tersebut. Menjelang berakhirnya masa kekuasaan
syah isma’il, beberapa perubahan penting terjadi dalam sistem administrasi
pemerintahan setelah tahun 920 H/1514 M, misalnya jabatan wakil syah tidak
berdiri sendiri melainkan dirangkap oleh pejabat setingkat pertana menteri
dengan tingkat kekuasaan yang jauh lebih kecil.
2). Fase II (996
H/1588 M-1038 H/1629 M)
Pertentangan internal
yang bernuansa kesukuan di satu sisi, dan sistem kekuasaan politik kerajaan
safawi fase awal disisi lain, telah melahirkan suatu kehidupan pemerintahan
yang labil. Pada giliran berikutnya, kondisi sosial politik seperti itu telah
menyebabkan melemahnya kehidupan politik dalam negeri. Kondidi tersebut
mendorong syah abbas I untuk melakukan penataan kembali kehidupan politik dan
pemantapan sistem administrasi kerajaan safawi. Keputusan politik pertama dan
terpenting yang dilakukan oleh syah abbas I adalah menyingkirkan kekuatan
politik militer qizilbasy dari pemerintahan dinasti safawi. Sebagai gantinya, ia
membentuk kekuatan militer baru yang berbasis budak kaukasus dan georgia.
Selanjutnya, perubahan
atau penataan sistem administrasi pemerintahan terbesar yang dilakukan syah
abbas I adalah upayanya melakukan pemusatan sepenuhnya berada dibawah
kekuasaannya, terutama untuk bidang yang strategis. Pemusatan kekuasaan politik
tidak dapat dipisahkan dari atau harus didukung oleh sistem ekonomi yang
dikendalikan langsung oleh kekuasaan pusat. Untuk kepentingan itu, syah abbas I
pun melakukan pemusatan sistem pertanian. Karena sebelumnya pengawasan
pemerintahan pusat cukup lemah terhadap pemerintahan propinsi, maka pendapatan
daerah dari sektor pertanian pun tidak dapat diserap atau dialihkan ke
pemerintahan pusat secara seimbang.
3). Fase III (1038
H/1629 M-1135 H/1722 M)
Secara budaya, sistem
pemerintahan yang dibangun oleh syah abbas I (fase II) semakin dimantapkan.
Bahkan pemusatan ekonomi proses pengalihan tanah negara menjadi tanah raja
semakin diperluas. Namun, dilihat dari sudut ketahanan politik, pemerintahan pusat
lambat laun mengalami kelemahan. Kecuali, pada masa kekuasaan syah abbas II
para penguasa pada fase III ini adalah mereka yang tidak memiliki kecakapan
untuk memrintah.
Pada fase III ini,
terutama sejak awal masa pemerintahan sultan husain (1105 H/1694 M), jabatan
keagamaan tertinggi adalah mulia-basyi (ketua dewan majelis ulama). Adapun
wewenang sosial politik keagamaan jabatan sadr (sadarat) yang sudah mulai
dikurangi sejak masa kekuasaan syah abbas I. Pada fase ini jabatan tersebut
hanya bertanggung jawab mengurusi administrasi wakaf dan membantu para hakim
(qadi) dalam urusan pengadilan.[15]
2.2.4 Kemajuan Kerajaan Safawi
1).
Bidang ekonomi
Stabilitas politik
kerajaan safawi pada masa abbas I ternyata telah memacu perkembangan
perekonomian safawi, lebih-lebih setelah kepulauan hurmuz dikuasai dan pelabuhan gumrun diubah
menjadi bandar abbas. Dengan dikuasainya bandar ini maka salah satu jalur
dagang laut antara timur dan barat yang biasa diperebutkan oleh belanda, inggris
dan prancis sepenuhnya menjadi milik kerajaan safawi. Disamping sektor
perdagangan, kerajaan safawi juga mengalami kemajuan disektor pertanian
terutama didaerah bulan sabit subur (fortile crescent).
2). Bidang
pembangunan fisik dan seni
Dalam sejarah
islam bangsa persia dikenal sebagai bangsa yang berperadaban tinggi dan berjasa
mengembangkan ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila
pada masa kerajaan safawi tradisi keilmuan ini terus berlanjut. Ada beberapa
ilmuan yang selalu hadir do majelis istana, yaitu baha al-din al-syaerazi,
generasi ilmu pengetahuan, sadar al-din al-syaerazi, filosof dan muhammad baqir
ibn muhammad damad, filosof, ahli sejarah, teologi, dan seorang yang pernah
mengadakan observasi mengenai kehidupan lebah-lebah. Dalam bidang ini kerajaan
safawi mungkin dapat dikatakan lebih berhasil dari kedua kerajaan islam lainnya
pada masa sama.
3).
Bidang pembangunan fisik dan seni
Para penguasa
kerajaan ini telah berhasil menciptakan isfahan, ibukota kerajaan menjadi kota
yang sangat indah. Dikota tersebut berdiri bangunan-bangunan besar lagi indah
seperti mesjid-mesjid, rumah sakit, sekolah-sekolah, jembatan raksasa diatas
zende rud dan istana chilil sutun. Kota isafan juga diperindah dengan
taman-taman wisata yang ditata secara apik. Ketika abbas I wafat, di isafan terdapat
162 mesjid, 48 akademi 1802 penginapan dan 273 pemandian umum.
Dibidang seni kemajuan nampak begitu
kentara dalam gaya arsitektur bangunan-bangunannya, seperti terlihat pada
mesjid shah yang dibangun tahun 1611 M. Dan mesjid syaikh lutf allah yang dibangun
tahun 1503 M. Unsur seni lainnya terlihat pula dalam bentuk kerajinan tangan,
keramik, karpet, permadani, pakaian, dan tenunan, mode, tembikar, dan benda
seni lainnya. Seni lukis mulai dirintis sejak zamantahmaps I raja ismail I pada
tahun 1522 M membawa seorang pelukis timur ke tabriz, yang bernama bizhad.[16]
2.2.5 Kemunduran Kerajaan Safawi
Sepeninggal Abbas I Kerajaan Safawi berturut-turut
diperintah oleh enam raja, yaitu Safi Mirja (1628-1642 M), Abbas II (1642-1667
M), Husain (1694-1722 M), Tahmasp II (1722-1732 M), dan Abbas III (1733-1736
M). Pada masa raja-raja tersebut, kondisi kerajaan Safawi tidak menujukan
grafik naik dan berkembang, tetapi justru meperlihatkan kemunduran yang
akhirnya membawa kehancuran.
Safi Mirja, cucu Abbas I, adalah seorang pemimpin yang
lemah. Ia sangat kejam terhadap pembesar-pembesar kerajaan karena karena sifat pencemburunya. Kemajuan yang pernah
dicapai oleh Abbas I segera menurun. Kota Qandahar (sekarang termasuk wilayah
Afganistan) lepas dari kekuasaan kerajaan Safawi, diduduki oleh kerajaan Mughal
yang ketika itu diperintah oleh sultan Syah Jehan, sementara Baghdad direbut
oleh kerajaan Usmani. Abbas II adalah raja yang suka minum minuman keras
sehingga ia jatuh sakit dan meninggal. Meskipun demikian, dengan bantuan
wazir-wazirnya, pada masa kota Qandahar dapat direbut kembali. Sebagaimana
Abbas II, Sulaiman juga seorang pemabuk. Ia bertindak kejam terhadap para
pembesar yang dicurigainya. Akibatnya, rakyat bersikap masa bodoh terhadap
pemerintah. Ia diganti oleh Shah Husain yang alim. Pengganti Sulaiman ini
memberi kekuasaan yang besar kepada para
ulama Syi’ah yang sering memaksakan pendapatnya terhadap penganut aliran Sunni.
Sikap ini membangkitkan kemarahan golongan Sunni Afghanistan, sehingga mereka
berontak dan berhasil mengakhiri kekuasaan Dinastin Safawi.
Diantara sebab-sebab kemunduran dan kehancuran kerajaan
Safawi ialah konflikberkepanjangan dengan kerajaan Usmani. Bagi kerajaan
Usmani, berdirinya kerajaan Safawi yang beraliran Syi’ah merupakan ancaman
langsung terhadap wilayah kekuasaanna. Konflik antara dua Kerajaan tersebut
berlangsung lama, meskipun pernah berhenti sejenak ketika tercapai perdamaian
pada masa Shah Abbas I. Namun, tak lama kemudian, Abbas meneruskan konflik
tersebut, dan setelah itu dapat dikatakan tidak ada lagi perdamaian antara dua
kerajaan besar Islam itu.
Penyebab penting lainnya adalah karena pasukan ghulam
(budak-budak) yang dibentuk oleh Abbas I tidak memiliki semangat perang yang
tinggi seperti Qizilbash.Hal ini disebabkan karena pasukan tersebut
tidak disiapkan secara terlatih dan tidak melalui proses pendidikan rohani
seperti yang dialami oleh Qizilbash. Sementara itu, anggota Qizilbash
yang baru ternyata tidak dimiliki, militansi dan semangat yang sama dengan
anggota Qizilbash sebelumnya.
Tidak kalah penting dari sebab-sebab di atas adalah
seringnya terjadi konflik intern dalam bentuk perebutan kekuasaan dikalangan
keluarga istana.
2.3 Kerajaan Mughal di India
2.3.1 Asal- usul Kerajaan Mughal
Kerajaan Mughal berdiri seperampat ahad sesudah berdirinya kerajaan
safawi .jadi diantara 3 kerajaan besar tersebut, kerajaan inilah yang termuda.
didirikan oleh Zahirudin Babur (1526–1530 M). Secara Geneologis Babur merupakan
cucu Timur Lenk (dari pihak ayah) dan keturunan Jengis Khan (dari pihak ibu).
Ekspansinya ke India dimulai dengan menundukkan penguasa setempat yaitu Ibrahim
Lodi dengan bantuan Alam Khan (paman Lodi) dan gubernurLahore.
Tahun 1525 M ia berhasil menguasai punjab dan meneruskannya ke Delhi
tahun 1526 M. Sejak saat itu babur dapat menguasai India dan mendirikan dinasti
Mughal yang beribukota di Delhi. Kerajaan Mughal mulai berkuasa sejak 1526
sampai 1707 M. kerajaan ini memiliki sultan-sultan yang besar dan terkenal pada
abad ke-17 yaitu Akbar (1556 – 1606 M), Jengahir (1605 –1627 M), dengan
permaisurinya Nur Janah, Syah jehan (1628 – 1658 M), dan Aurengzeb (1659 – 1707
M).
2.3.2 Para Penguasa Kerajaan Mughal
Selama masa pemerintahannya Kerajaan Mughal dipimpin oleh beberapa
orang raja. Raja-raja yang sempat memerintah adalah Zahiruddin Babur
(1526-1530), Humayun (1530-1556), Akbar (1556-1605), Jahangir (1605-1627), Shah
Jahan (1627-1658), Aurangzeb (1658-1707), Bahadur Syah (1707-1712), Jehandar
(1712-1713), Fahrukhsiyar (1713-1719), Muhammad Syah (1719-1748), Ahmad Syah
(1748-1754), Alamghir II (1754-1760), Syah Alam (1760¬-1806), Akbar II
(1806-1837 M), dan Bahadur Syah (1837-1858).
Zahiruddin Babur (1526-1530) adalah raja pertama sekaligus pendiri
Kerajaan Mughal. Masa kepemimpinannnya digunakan untuk membangun fondasi
pemerintahan. Awal kepemimpinannya, Babur masih menghadapi ancaman pihak-pihak
musuh, utamanya dari kalangan Hindu yang tidak menyukai berdirinya Kerajaan
Mughal. Orang-orang Hindu ini segera menyusun kekuatan gabungan, namun Babur
berhasil mengalahkan mereka dalam suatu pertempuran. Sementara itu dinasti Lodi
berusaha bangkit kembali menentang pemerintahan Babur dengan pimpinan Muhammad
Lodi. Pada pertempuran di dekat Gogra, Babur dapat menumpas kekuatan Lodi pada
tahun 1529. Setahun kemudian yakni pada tahun 1530 Babur meninggal dunia.
Sepeninggal Babur, tahta Kerajaan Mughal diteruskan oleh anaknya
yang bemama Humayun. Humayun memerintah selama lebih dari seperempat abad
(1530-1556 M). Pemerintahan Humayun dapat dikatakan sebagai masa konsolidasi
kekuatan periode I. Sekalipun Babur berhasil mengamankan Mughal dari serangan
musuh, Humayun masih saja menghadapi banyak tantangan. Ia berhasil mengalahkan
pemberontakan Bahadur Syah, penguasa Gujarat yang bermaksud melepaskan diri
dari Delhi. Pada tahun 1450 Humayun mengalami kekalahan dalam peperangan yang
dilancarkan oleh Sher Khan dari Afganistan. Ia melarikan diri ke Persia.
Di pengasingan ia kembali menyusun kekuatan. Pada saat itu Persia
dipimpin oleh penguasa Safawiyah yang bernama Tahmasp. Setelah lima belas tahun
menyusun kekuatannya dalam pengasingan di Persia, Humayun berhasil menegakkan
kembali kekuasaan Mughal di Delhi pada tahun 1555 M. Ia mengalahkan kekuatan
Khan Syah. Setahun kemudian, yakni pada tahun 1556 Humayun meninggal. Ia
digantikan oleh putranya Akbar.
Akbar (1556-1605) pengganti Humayun adalah raja Mughal paling
kontroversial. Masa pemerintahannya dikenal sebagai masa kebangkitan dan
kejayaan Mughal sebagai sebuah dinasti Islam yang besar di India.
Ketika menerima tahta kerajaan ini Akbar baru berusia 14 tahun,
sehingga seluruh urusan pemerintahan dipercayakan kepada Bairam Khan, seorang
penganut Syi’ah. Di awal masa pemerintahannya, Akbar menghadapi pemberontakan
sisa-sisa keturunan Sher Khan Shah yang masih berkuasa di Punjab. Pemberontakan
yang paling mengancam kekuasaan Akbar adalah pemberontakan yang dipimpin oleh
Himu yang menguasai Gwalior dan Agra. Pasukan pemberontak berusaha memasuki
kota Delhi. Bairam Khan menyambut kedatangan pasukan tersebut sehingga
terjadilah peperangan dahsyat yang disebut Panipat II pada tahun 1556 M. Himu
dapat dikalahkan dan ditangkap, kemudian dieksekusi. Dengan demikian, Agra dan
Gwalior dapat dikuasai penuh.
Setelah Akbar dewasa ia berusaha menyingkirkan Bairam Khan yang
sudah mempunyai pengaruh sangat kuat dan terlampau memaksakan kepentingan aliran
Syi’ah. Bairam Khan memberontak, tetapi dapat dikalahkan oleh Akbar di
Jullandur tahun 1561 M. Setelah persoalan-persoalan dalam negeri dapat diatasi,
Akbar mulai menyusun program ekspansi. Ia berhasil menguasai Chundar, Ghond,
Chitor, Ranthabar, Kalinjar, Gujarat, Surat, Bihar, Bengal, Kashmir, Orissa,
Deccan, Gawilgarh, Narhala, Ahmadnagar, dan Asirgah. Wilayah yang sangat luas
itu diperintah dalam suatu pemerintahan militeristik.
Keberhasilan ekspansi militer Akbar menandai berdirinya Mughal
sebagai sebuah kerajaan besar. Dua gerbang India yakni kota Kabul sebagai
gerbang ke arah Turkistan, dan kota Kandahar sebagai gerbang ke arah Persia,
dikuasai oleh pemerintahan Mughal. Menurut Abu Su’ud, dengan keberhasilan ini
Akbar bermaksud ingin mendirikan Negara bangsa (nasional). Maka kebijakan yang
dijalankannya tidak begitu menonjolkan spirit Islam, tetapi bagaimana
mempersatukan berbagai etnis yang membangun dinastinya. Keberhasilan Akbar
mengawali masa kemajuan Mughal di India.
Kepemimpinan Akbar dilanjutkan oleh Jihangir (1605-1627) yang
didukung oleh kekuatan militer yang besar. Semua kekuatan musuh dan gerakan
pemberontakan berhasil dipadamkan, sehingga seluruh rakyat hidup dengan aman
dan damai. Pada masa kepemimpinannya, Jehangir berhasil menundukkan Bengala
(1612 M), Mewar (1614 M) Kangra. Usaha-usaha pengamanan wilayah serta
penaklukan yang ia lakukan mempertegas kenegarawanan yang diwarisi dari ayahnya
yaitu Akbar.
Syah Jihan (1628-1658) tampil meggantikan Jihangir. Bibit-bibit
disintegrasi mulai tumbih pada pemerintahannya. Hal ini sekaligus menjadi ujian
terhadap politik toleransi Mughal. Dalam masa pemerintahannya terjadi dua kali
pemberontakan. Tahun pertama masa pemerintahannya, Raja Jujhar Singh Bundela
berupaya memberontak dan mengacau keamanan, namun berhasil dipadamkan. Raja
Jujhar Singh Bundela kemudian diusir. Pemberontakan yang paling hebat datang
dari Afghan Pir Lodi atau Khan Jahan, seorang gubernur dari provinsi bagian
Selatan. Pemberontakan ini cukup menyulitkan. Namun pada tahun 1631
pemberontakan inipun dipatahkan dan Khan Jahan dihukum mati.
Pada masa ini para pemukim Portugis di Hughli Bengala mulai berulah.
Di samping mengganggu keamanan dan toleransi hidup beragama, mereka menculik
anak-anak untuk dibaptis masuk agama Kristen. Tahun 1632 Shah Jahan berhasil
mengusir para pemukim Portugis dan mencabut hak-hak istimewa mereka. Shah Jehan
meninggal dunia pada 1657, setelah menderita sakit keras. Setelah kematiannya
terjadi perang saudara. Perang saudara tersebut pada akhirnya menghantar
Aurangzeb sebagai pemegang Dinasti Mughal berikutnya.
Aurangzeb (1658-1707) menghadapi tugas yang berat. Kedaulatan Mughal
sebagai entitas Muslim India nyaris hancur akibat perang saudara. Maka pada
masa pemerintahannya dikenal sebagai masa pengembalian kedaulatan umat Islam.
Penulis menilai periode ini merupakan masa konsolidasi II Kerajaan Mughal
sebagai sebuah kerajaan dan sebagai negeri Islam. Aurangzeb berusaha mengembalikan
supremasi agama Islam yang mulai kabur akibat kebijakan politik keagamaan
Akbar.
Raja-raja pengganti Aurangzeb merupakan penguasa yang lemah sehingga
tidak mampu mengatasi kemerosotan politik dalam negeri. Raja-raja sesudah
Aurangzeb mengawali kemunduran dan kehancuran Kerajaan Mughal.
Bahadur Syah menggantikan kedudukan Aurangzeb. Lima tahun kemudian
terjadi perebutan antara putra-putra Bahadur Syah. Jehandar dimenangkan dalam
persaingan tersebut dan sekaligus dinobatkan sebagai raja Mughal oleh Jenderal
Zulfiqar Khan meskipun Jehandar adalah yang paling lemah di antara putra
Bahadur. Penobatan ini ditentang oleh Muhammad Fahrukhsiyar, keponakannya sendiri.
Dalam pertempuran yang terjadi pada tahun 1713, Fahrukhsiyar keluar sebagai pemenang.
Ia menduduki tahta kerajaan sampai pada tahun 1719 M. Sang raja meninggal terbunuh
oleh komplotan Sayyid Husein Ali dan Sayyid Hasan Ali. Keduanya kemudian mengangkat
Muhammad Syah (1719-1748). Ia kemudian dipecat dan diusir oleh suku Asyfar di
bawah pimpinan Nadzir Syah. Tampilnya sejumlah penguasa lemah bersamaan dengan
terjadinya perebutan kekuasaan ini selain memperlemah kerajaan juga membuat
pemerintahan pusat tidak terurus secara baik. akibatnya pemerintahan daerah
berupaya untuk melepaskan loyalitas dan integritasnya terhadap pemerintahan
pusat.
Pada masa pemerintahan Syah Alam (1760¬-1806) Kerajaan Mughal
diserang oleh pasukan Afghanistan yang dipimpin oleh Ahmad Khan Durrani.
Kekalahan Mughal dari serangan ini, berakibat jatuhnya Mughal ke dalam kekuasaan
Afghan. Syah Alam tetap diizinkan berkuasa di Delhi dengan jabatan sebagai
sultan. Akbar II (1806-1837 M) pengganti Syah Alam, memberikan konsesi kepada
EIC untuk mengembangkan perdagangan di India sebagaimana yang diinginkan oleh
pihak Inggris, dengan syarat bahwa pihak perusahaan Inggris harus menjamin
penghidupan raja dan keluarga istana. Kehadiran EIC menjadi awal masuknya
pengaruh Inggris di India.
Bahadur Syah (1837-1858) pengganti Akbar II menentang isi perjanjian
yang telah disepakati oleh ayahnya. Hal ini menimbulkan konflik antara Bahadur
Syah dengan pihak Inggris. Bahadur Syah, raja terakhir Kerajaan Mughal diusir
dari istana pada tahun (1885 M). Dengan demikian berakhirlah kekuasaan kerajaan
Islam Mughal di India.
2.3.3 Perkembangan Politik dan Ilmu Pengetahuan
Perkembangan
Politik dan Ilmu Pengetahuan Akbar Khan menjalankan pemerintahan bersifat
militeristik. Pemerintah pusat dipimpin oleh raja; pemerintah daerah dipimpin
oleh kepala komandan (Sipah salat); dan
pemerintahan sub-daerah dipimpin oleh komandan
(Faudjat). Akbar menerapkan
sistem politik Sulh e-kul (toleransi universal), yaitu pandangan yang
menyatakan bahwa derajat semua penduduk adalah sama. Akbar pun membentuk Din Ilahi.
Dan Akbar juga mendirikan
Mansabdhari (lembaga pelayanan
umum yang berkewajiban menyiapkan segala urusan kerajaan, termasuk menyiapkan
sejumlah pasukan (Jaih Mubarok, 2004:137).
Kemajuan
yang dicapai Akbar masih dapat dipertahankan oleh tiga sultan berikutnya, yaitu
Jehangir (1605-1628 M), Syah Jehan (1628-1658 M), dan Aurangzeb (1658-1707
M). Kemantapan di bidang politik membawa
kemajuan pada bidang lain seperti ekonomi dengan mengembangkan program
pertanian, pertambangan, dan perdagangan. Selain untuk memenuhi kebutuhan dalam
negeri, hasilnya diekspor ke Eropa, Afrika, Arabia, dan Asia Tenggara.
Bidang
Seni dan Budaya pun berkembang seperti karya sastera gubahan penyair istana yang
berbahasa Persia maupun India. Karya besar berjudul Padmavat yang mengandung pesan kebajikan jiwa
manusia hasil karya penyair terkenal Malik Muhammad Jayazi. Karya Akhbar Nama
dan Aini Akhbari yang memaparkan sejarah kerajaan Mughal
berdasarkan figure pemimpinnya hasil karya sejarawan Abu Fadl pada masa
Aurangzeb. Istana Fatpur Sikri di Sikri, villa dan mesjid-mesjid yang indah
dibangun pada masa Akbar dan Mesjid Taj Mahal di Agra, Mesjid Raya Delhi dan
istana indah di Lahore dibangun pada masa Syah Jehan masih ada sampai sekarang
(Badri Yatim, 2004:151).
2.3.4 Kemajuan Kerajaan Mughal
Kemajuan
Dinasti Mughal disamping dari aspek poklitik juga di topang oleh aspek ekonomi.
Dalam bidang ini Kerajaan Mughal dapat mengembangkan program pertanian, pertambangan,
dan perdagangan. Hanya saja, sumber keuangan negara justru lebih banyak
bertumpu pada sektor pertanian. Hasil pertanian yang terpenting adalah
biji-bijian, padi, kacang, tebu, sayur-sayuran, rempah-rempah, tembakau, kapas,
nila, dan bahan-bahan celupan.[17]
Kemantapan
stabilitas politik karena sistem pemerintahan yang diterapkan Akbar membawa
kemajuan dalam bidang-bidang yang lain. Dalam bidang ekonomi, kerajaan Mughal
dapat mengembangkan program pertanian, pertambangan, dan perdagangan. Akan tetapi,
sumber keuangan negara lebih banyak bertumpu pada sektor pertanian. Di sektor
pertanian ini, komunikasi antara pemerintah dan petani diatur dengan baik.
Pengaturan ini didasarkan atas lahan pertanian. Deh, merupakan unit
lahan pertanian terkecil. Beberapa deh tergabung dalam pargana
(desa). Komunitas petani dipimpin oleh seorang mukaddam. Melalui para
mukaddam itulah pemerintah berhubungan dengan petani.[18]Kerajaan berhak atas
sepertiga dari hasil pertanian di neger itu.Disamping untuk kebutuhan dalam negeri,
hasil pertanian itu di ekspor ke Eropa, Afrika, Arabia, dan Asia Tenggara
bersamaan dengan hasil kerajina, seperti pakaian tenun dan kain tipis bahan
gordiyn yang banyak di produksi di Gyjarat dan Bengal. Untuk meningkatkan
produksi,jehangir mengizinkan inggris ( 1611 M ) dan belanda ( 1617 M )
mendirikan pabrik pengolahan hasil pertanian di surat.[19]
Selain
ekonomi, bidang seni dan budaya juga berkembang. Upaya pengembangan ini tampak
terus dilakukan, antara dalam bidang seni lukis. Cabang seni ini juga
memperoleh tempat yang terhormat. Raja Babur misalnya, dikenal sebagai seorang
raja yang gemar mengoleksi berbgai lukisan pemandangan telaga, air tejun,
bunga, dan taman. Gambaran tentang siyuasi masa itu bisa dilihat dalam
manuskrip Alwari Tuzk-i-Baburi.
Selain
seni lukis dan musik, seni bangunan masa kerajaan Moghul juga memeperoleh
perhatian besar. Raja-raja Moghul dikenal sebagai raja-raja yang gemar sekali
mendirikan gedung-gedung baru. Dalam seni bangunan Moghul terdapat unsur-unsur
luar dan dalam negeri. Pada masa Akbar misalnya, terdapat corak bangunan Iran.
Bahkan Babur dikenal sebagai seorang raja yang kurang menyukai corak bangunan
setempat (India). Karena itu, usur luar tampak mendominasi seni bangunan era
Babur.
Karya
seni yang menonjol adalah karya sastra gubahan penyair istana, baik yang
berbahasa Persia maupun India. Penyair India yang terkenal adalah Malik
Muhammad Jayazi dengan karyanya Padmavat, sebuah karya Alegoris yang mengandung
pesan kebajikan jiwa manusia.Pada masa Aurangzeb, muncul seorang sejarawan
bernama Abu Fadl dengan karyanya Akbar nama dan Aini Akhbari, yang memaparkan
sejarah Kerajaan Mughal berdasarkan figur pemimpinnya.
Karya
seni yang masih dapat dinikmati sampai sekarang dan merupakan karya seni
terbesar adalah karya-karya arsitektur yang indah dan mengagumkan. Pada masa
Akbar, dibangun istana Fatpur Sikri di Sikri serta sejumlah vila dan mesjid
yang indah. Sementara, pada masa Syah Jehan, dibangun masjid berlapiskan
mutiara dan Taj Mahal di Agra, mesjid Raya Delhi, dan istana indah di Lahore.
Taj Mahal bahkan merupakan salah satu dari tujuh keajaiban dunia. Bangunan itu
sendiri sesungguhnya adalah makam istri Jehan yang pada waktu hidupnya begitu
di puja Jehan karena kecantikannya.
Mesjid-mesjid
yang dibangun selain sebagai tempat ibadah, juga berfungsi sebagai tempat
belajar agama bagi masyarakat. Dalam hal pendidikan, Kerajaan Mughal terlihat
memeberikan perhatian yang besar. Di mesjid telah tersedia ulama yang akan
memberikan pengajaran berabagai cabang ilmu agama, dimana tidak sdikit
masyarakat yang mengikutinya.
Hampir
setiap mesjid merupakan pengembang ilmu-ilmu keagamaan terentu denagn guru-guru
spesialis.[20]
Dalam perkembangan selanjutnya, mesjid raya telah berkembang menjadi
universitas, tempat para ulama mengajarkan berbagai cabang ilmu agama dan
sejumlah pelajar atau mahasiswa memilih untuk mengikuti pelajaran-pelajaran
agama tertentu pada masa tetentu pula.[21]
Sementara
itu untuk memenuhi kebutuhan pendidikan bagi orang-orang kaya, pihak kerajaan
juga telah menyediakan madrasah-madrasah khusus. Selain mesjid, terdapat pula Khanqah
(smacam pesantren) yang dipimpin ulama atau wali yang secara umum ada di
daerah-daerah pedalaman. Bahasa Persia pada waktu itu merupakan bahasa
pengantar dalam kegiatan pendidikan dan pengajaran agama Islam.
Hanya
saja, dapat dicatat disini bahwa di masa Kerajaan Mughal tidak terdapat
kemajuan di bidang ilmu pengetahuan. Tokoh-tokoh sains, filsafat, atau
ilmu-ilmu keagamaan tak terdengar namanya. Bila dibandingkan dengan kemajuan
ilmu pengetahuan di masa klasik, khususnya pada masa kekuasaan Abbasiyah, tentu
jauh sekali perbandingannya.
Tampaknya
hal tersebut bisa di sebabkan karena para raja Mughal tidak memiliki etos
intelektual terhadap penkajian-pengkajian ilmu baru. Tambahan lagi, dimasa ini
ilmu dan peradaban Islam memang sedang meredup di berbagai wilayah Islam.
Kemajuan
pada masa Akbar masih dapat dipertahankan sampai tiga sultan berikutnya, yaitu
Jehangir (1605-1628), Syah Jehan (1628-1658), dan Aurangzeb (1658-1707). Namun
setelah itu, kemajuan kerajaan Mughal tidak dapat dipertahankan oleh raja-raja
berikutnya.
Sebagaimana
diuraikan terdahulu, pada masa kejayaan tiga kerajaan besar ini, umat Islam
kembali mengalami kemajuan. Akan tetapi, kemajuan yang dicapai berbeda dengan
kemajuan yang dicapai pada masa klasik Islam. Kemajuan pada masa klasik lebih
kompleks. Di bidang intelektual, kemajuan pada masa tiga kerajaan besar tidak
sebanding dengan kemajuan di zaman klasik. Dalam bidang ilmu keagamaan, umat
Islam sudah mulai bertaklid kepada imam-imam besar yang lahir pada masa klasik
Islam. Kalaupun ada mujtahid, maka, ijtihad yang dilakukan adalah ijtihad fi
al-mazhab, yaitu ijtihad yang masih berada dalam batas-batas mazhab
tertentu. Tidak ada lagi ijtihad mutlak, hasil pemikiran bebas yang mandiri.
Beberapa sains yang berkembang pada masa klasik, ada yang tidak berkembang
lagi, bahkan ada yang dilupakan. Filsafat dianggap bid’ah. Kalau pada masa
klasik, umat Islam maju dalam bidang politik, peradaban, dan kebudayaan,
seperti dalam bidang ilmu pengetahuan dan pemikiran filsafat, pada masa tiga
kerajaan besar kemajuan dalam bidang filsafat (kecuali sedikit berkembang di
kerajaan Safawi Persia) dan ilmu pengetahuan umum tidak di dapatkan lagi.
Kemajuan yang dapat di banggakan pada masa ini hanya dalam bidang politik,
kemiliteran, dan kesenian, terutama arsitektur.
2.3.5 Kemunduran Kerajaan Mughal
Setelah satu setengahabad dinasti mughal berada dipuncak
kejayaannya, para pelanjut Aurangzeb tidak sanggup mempertahankan kebesaran
yang tekah dibina oleh sultan-sultan sebelumnya. Pada abad ke-18 M kerajaan ini
memasuki masa-masa kemundura. Kekuasaan politiknya mulai merosot, suksesi
kepemimpinan ditingkat pusat menjadi ajang perebutan, gerakan separatis Hindu
di India tengah. Sikh di belahan utara dan Islam dibagian timur semakin lama
semakin mengancam. Sementara itu, para pedagang Inggris untuk pertama kalinya
diizinkan oleh Jehangir menanamkan modal di India, dengan didukung oleh
kekuatan bersenjata semakin kuat menguasai wilayah pantai.
Pada masa Aurangze, pemberontakan terhadap pemerintahan
pusat memang sudah muncul, tetapi dapat diatasi. Pemberontakan itu bermula dari
tindakan-tindakan Aurangzeb yang dengan keras menerapkan pemikiran puritanismenya.
Setelah ia wafat, penerusnya rata-rata lemah dan tidak mampu menghadapi
problema yang ditinggalkannya.
Sepeninggal Aurangzeb (1707 M), tahta kerajaan dipegang
oleh Muazzam, putra tertua Aurangzeb yang sebelumnya menjadi penguasa di Kabul.
Putra Aurangzeb ini kemudian bergelar Bahadur Syah (1707-1712 M). Ia menganut
aliran Syi’ah. Pada masa pemerintahannya yang berjalan selama lima tahun, ia
dihadapkan pada perlawanan Sikh sebagai akibat dari tindakan ayahnya. Ia juga
dihadapkan pada perlawanan penduduk lahore karena sikapnya yang terlampau memaksakan
ajaran Syi’ah kepada mereka.
Setelah Bahadur Syah meninggal, dalam jangka waktu yang
cukup lama, terjadi peebutan kekuasaan dikalangan keluarga istana. Bahadur Syah
diganti oleh anaknya Azimus Syah akan tetapi, pemerintahanya ditentang oleh
Zulfiqar Khan, putera Azad Khan, Wazir Aurangzeb. Azimus Syah meninggal tahun
1712 M diganti oleh puteranya, Jihandar Syah, yang mendapat tantangan dari
Farukh Siyar, adiknya sendiri. Jihandar Syah dapat disingkrkan oleh Farukh
siyartahun 1713 M.
Farukh Siyar berkuasa sampai tahun 1719 M dengan dukungan
kelompok Sayyid, tapi tewas ditangan para pendukungnya sendiri ( 1719 M).
Sebagai gantinya, diangkat Muhammad Syah (1719-1748 M). Namun, ia dan
pendukungnya terusir oleh Asyfar dibawah pimpinan Nadir Syah yang belumnya
telah berhasil melenyapkan kekuasaan Safawi di Persia. Keinginan Nadir Syah
untuk menundukkan Kerajaan Mughal terutama karena menurutnya, kerajaan ini
banyak sekali memberikan bantuan kepada pemberontak Afghan di daerah Persia.
Oleh Karena itu, pada tahun 1739 M, dua tahun setelah menguasai Persia, ia
menyerang kerajaan mughal. Muhammad Syah tidak dapat bertahan dan mengaku
tunduk kepada Nadir Syah. Muhammad Syah kembali berkuasa di Delhi setelah ia
bersedia memberi hadiah yang sangat banyak kepada Nadir Syah. Kerajaan mughal
baru dapat melakukan restorasi kembali, terutama setelah jabatan wazir dipegang
Chin Qilich Khan yang bergelat Nizam Al-Mulk (1722-1732 M) karena mendapat
dukungan dari Marathas. Akan tetapi, tahun 1732 M, Nizam Al-Mulk meningglkan
Delhi menuju Hiderabad dan menetap disana.
Konflik-konflik yang berkepanjangan mengakibatkan
pengawasan terhadap daerah lemah. Pemerintahan daerah satu per satu melepaskan
loyalitasnya melalui pemerintahan pusat, bahkan cenderung memperkuat posisi
pemerintahannya masing-masing. Hiderabad dikuasai Nizam Al-Mulk, Marathas
dikuasai shivaji, Rajput menyelenggarakan pemerintahan sendiri dibawah pimpinan
Jai Singh dari Amber, Punjab dikuasai oleh kelopmpok Sikh. Oudh dikuasai oleh
Sadat Khan, Bengal dikuasai Syuja’ Al-Din, menantu Mursid Qulli, penguasa
Bengal yang diangkat Aurangzeb. Sementara wilayah-wilayah pantai banyak yang
dikuasai para pedagang asing, terutama EIC dari Inggris.
Setelah Muhammad Syah meninggal, tahta kerajan dipegang
oleh Ahmad Syah (1748-1754 M), kemudian, diteruskan oleh Alamghir II (1754-1759
M), dan kemudian dilanjutkan oleh Syah Alam (1761-1806 M). Pada tahun 1761 M,
Kerajaan Mughal disersang oleh Ahmad Khan Durrani dari Afghan. Kerajaan Mughal
tidak dapat bertahan dan sejak itu Mughal berada dibawah kekuasaan Afghan.
Meskipun Syah Alam tetap diizinkan memakai gelar Sultan.
Syah Alam meninggal tahun 1806 M. Tahta kerajaan
selanjutnya dipegang oleh Akbar II (1806-1837 M). Pada masa pemerintahan Akbar
memberi konsesi kepada EIC untuk mengembangkan usahanya di anak benua India
sebagaimana yang diinginkan Inggris, tapi pihak perusahaan harus menjamin
kehidupan raja dan keluarga istana. Dengan demikian, kekuasaan sudah berada di
tangan Inggris, meskipun kedudukan dan gelar Sultan dipertahankan Bahadur Syah
(1837-1858 M), penerus Akbar, tidak menerima isi perjanjian antar EIC dengan
ayahnya itu, sehingga terjadi konflik antara dua kekuatan tersebut.
Perlawanan mereka dapat dipatahkan dengan mudah, karena
Inggris mendapat dukungan dari beberapa penguasa lokal Hindu dan Muslim.
Inggris kemudian menjatuhkan hukuman yang kejam terhadp pemberontak. Mereka
diusir dari kota Delhi, rumah-rumah
ibadah banyak yang dihancurkan, dan Bahadur Syah raja Mughal terakhir,
diusir dari Istana (1858 M). Dengan demikian, berakhirlah sejarah kekuasaan
dinasti Mughal di daratan India dan tinggallah di sana ummat Islam yang harus
berjuang mempertahankan eksitensi mereka.
Ada beberapa faktor yang memyebabkan kekuasaan dinasti
Mughal itu mundur pada satu setengah abad terakhir dan membawa kepada
kehancurannya pada tahun 1858 M, yaitu :
1.
Terjadi stagnasi dalam pembinaan kekuatan militer sehingga operasi militer
Inggris di wilayah-wilayah pantai tidak dapat segera dipantau oleh kekuatan
maritim Mughal. Begitu juga kekuatan pasukan darat. Bahkan, mereka kurang
terampil dalam mengoperasikan persenjataan buatan Mughal sendiri.
2.
Kemorosotan moral dan hidup mewah dikalangan elit politik, yang
mengakibatkan pemborosan dalam penggunaan uang negara.
3.
Pendekatan aurangzeb yang terlampau “kasar” dalam melaksanakan ide-ide
puritan dan kecenderungan asketisnya, sehingga konflik antaragama sangat sukar
diatasi oleh sultan-sultan sesudahnya.
4.
Semua pewaris tahta kerajaan pada paruh terakhir adalah orang-orang lemah
dalam bidang kepemimpinan.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Kerajaan Turki Usmani didirikan tahun
1281 M. Oleh Usman, putera Erthogril yang mendapat hadiah wilayah dari Sultan
Alauddin karena Erthogril membantu pasukan Sultan Alauddin memenangkan
peperangan melawan Bizantium. Kemajuan Turki Usmani, dalam bidang Militer dan
ekspansi wilayah, pemerintahan dan bidang intelektual. Faktor yang menyebabkan
kerajaan ini mundur adalah faktor internal yang meliputi, luasnya wilayah
kekuasaan, heteroginitas penduduk, kelemahan para penguasa, pemberontakan
tentara Jenisari, terjadi stagnasi dalam lapangan ilmu dan teknologi. Sedangkan
faktor ekstern karena timbulnya gerakan nasionalisme dan kemajuan teknologi
persenjataan Barat.
Dinasti Savawi (1501-1732 M) didirikan
oleh Ismail Ibn Haidar. Dinasti ini berawal dari gerakan keagamaan (tasawuf)
yang berkembang menjadi gerakan politik. Ismail Ibn Haidar menjadikan Syiah
menjadi madzhab negara. Kemajuan terjadi pada masa Khudabanda, Isfahan memiliki
162 mesjid, 48 perguruan, terdapat ulama besar seperti Bahauddin al-Amili ahli
pengetahuan umum, Sadraddin Assirazi atau Mullasadra seorang filosuf muslim.
Dinasti Mughal di India (1526-1857 M)
didirikan oleh Zahirudin Babur setelah memenangkan perang melawan Ibrahim Lodi.
Pada masa Khalifah Akbar Khan mencapai puncak kejayaan. Kemantapan bidang
politik membawa kemajuan ekonomi, pertambangan, seni dan lain-lain.
Daftar Pustaka
Brockkmann Carl.
1982.History of the Islamic peoplesLondon: Routledge & Kegan Paul.
Buchori, Didin
Saefuddin. 2009. Sejarah Politik Islam. Penerbit: Pustaka Intermasa.
Jakarta.
Ensiklopedi
Tematis Dunia Islam,”Khilafah” (Jakarta:
Ichtiar Baru van Hoeve, 2002).
Supiana. 2012. Metodologi Kebudayaan Islam. Direktorat
Jenderal Pendidikan Islam. Jakarta.
Ibrahim, Hasan.
1989. Sejarah dan Kebudayaan Islam. Penerbit Kota Kembang. Yogyakarta.
Yatim,Badri.2008.
Sejarah Peradaban Islam.Penerbit:
Rajawali Pers. Jakarta.
[1] Dr. Badri Yatim, M.A., Sejarah
Peradaban Islam, (Jakarta: Rajawali Pers, 2008), hlm. 129
[2]Prof. Dr. Supiana, M.Ag., Metodologi
Kebudayaan Islam, (Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Islam, 2012),
hlm. 225.
[3] Prof Dr Didin Saefuddin Buchori, Sejarah Politik Islam,
(Jakarta: Pustaka Intermasa, 2009), hlm. 229-230.
[5] Prof Dr Didin Saefuddin Buchori, Sejarah Politik Islam,
(Jakarta: Pustaka Intermasa, 2009), hlm. 231.
[7] Dr. Badri Yatim, M.A., Sejarah
Peradaban Islam, (Jakarta: Rajawali Pers, 2008), hlm. 133-134.
[8] Prof Dr Didin Saefuddin Buchori, Sejarah Politik Islam,
(Jakarta: Pustaka Intermasa, 2009), hlm. 237-238
[9]Prof. Dr. Supiana, M.Ag., Metodologi
Kebudayaan Islam, (Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Islam, 2012),
hlm. 249-250
[10] Hasan Ibrahim Hasan , sejarah dan kebudayaan islam, (Yogyakarta:
Kota Kembang, 1989), hlm. 339.
[11] Carl Brockkmann, History of the Islamic peoples, (London:
Routledge & Kegan Paul, 1982), hlm. 328.
[12] Dr Badri Yatim, M.A., Sejarah
Peradaban Islam, (Jakarta: Rajawali Pers, 2008), hlm. 164-169
[13] Prof Dr Didin Saefuddin Buchori, Sejarah Politik Islam,
(Jakarta: Pustaka Intermasa, 2009), hlm. 248-249
[14] Prof Dr Didin Saefuddin Buchori, Sejarah Politik Islam,
(Jakarta: Pustaka Intermasa, 2009), hlm. 249-250
[15]Ensiklopedi Tematis Dunia
Islam,”Khilafah” (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve,
2002), hlm. 270-274
[16] Dr Badri Yatim, M.A., Sejarah
Peradaban Islam, (Jakarta: Rajawali Pers, 2008), hlm. 143-145.
[17] Sumber CE Bosworth, Dinasti-Dinasti, hlm. 234-235
[18]W. H. Moreland, “The Mughal Empiret to the Death of Aurangzeb”,
dalam M. Th. Houtsma (Ed.), First Encyclopaedia of Islam, (Leiden: E.J.
Brill, 1987), hlm. 630
[19]Ibid
[20]Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, hlm. 297.
[21]Ibid
Tidak ada komentar:
Posting Komentar