1. Pengertian jual beli
Secara terminologi fiqih jual beli
disebut dengan al-ba’i yang berarti menjual, mengganti, dan menukar sesuatu
dengan sesuatu yang lain. Lafal al-ba’i dalam terminologi fiqih terkadang
dipakai untuk pengertian lawannya, yaitu lafal al-syira yang berarti membeli.
Dengan demikian al-ba’i mengandung arti menjual sekaligus membeli atau jual
beli.
Menurut hanifah pengertian jual beli
(al-bay) secara defentif yaitu tukar menukar harta benda atu sesuatu yang
diinginkan dengan sesuatu yang sepadan melalui cara tertentu yang bermanfaat.
Adapun menurut malikiyah,
syafi’iyah, dan hanabilah, bahwa jual beli (al-bay) yaitu tukar menukar harta
dengan harta pula dalam bentuk pemindahan milik dan kepemilikan.
Dan menurut pasal 20 ayat 2
kompilasi hukum ekonomi syari’ah, ba’i adalah jual beli antara benda dan benda,
atau pertukaran antara benda dengan uang.
Rezeki yang dijanjikan Allah untuk
hamba-hambanya di dunia ini harus dicari dengan melakukan sebagai bentuk usaha
dan upaya salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan
transaksi jual beli (AL-BAY’) Allah
telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan seseorang melakukan riba
Seseorang yang menyerahkan hidupnya untuk memperjuangkan agama
Allah disebut juga dengan orang yang telah melakukan teransaksi bisnis dengan
Allah dan Allah menjadikan surga sebagai imbalannya..
2. Rukun jual beli
1.
Penjual
dan pembeli
Syaratnya
adalah :
a. Berakal, agar tidak teerkecoh. Orang gila atau bodoh tidak sah jual
belinya.
b. Dengan kehendak sendiri (bukan dipaksa).
c.
Tidak
mubazir (pemboros)
d. Balig (berumur 15 tahun ke atas/dewasa), anak kecil tidak sah jual
belinya. Adapun anak-anak yang sudah mengerti tetapi belum sampai umur dewasa,
menurut pendapat sebagian ulama, mereka diperbolehkan jual beli barang yang
kecil-kecil: karena kalau tidak diperbolehkan, sudah tentu menjadi kesulitan
dan kesukaran, sedangkan agama islam sekali-kali tidak akan menetapkan
peraturan yang mendatangkan kesulitan kepada pemeluknya.
2. Uang dan benda yang dibeli
Syaratnya
:
a. Suci. Barang najis tidak sah dijual dan tidak boleh dijadikan uang
untuk dibelikan, seperti kulit binatang atau bangkai yang belum disamak.
b. Ada manfaatnya. Tidak boleh menjual sesuatu yang tidak ada
manfaatnya. Dilarang pula mengambil tukarannya karena hal itu termasuk dalam
arti menyianyiakan (memboroskan) harta yang terlarang dalam kitab suci.
c.
Barang
itu dapat diserahkan. Tidak sah menjual suatu barang yang tidak dapat
diserahkan kepada yang membeli, misalnya iakn dalam laut, barng rampasan, yang
masih berada di tangan yang merampasnya, قش
yang sedang dijaminkan, sebab semua itu mengandung budaya atau kecohan.
d. Barang tersebut merupakan kepunyaan si penjual, kepunyaan yang
diwakilinya, atau yang mengusahakan.
e.
Barang
tersebut diketahui si penjual dan si pembeli; zat, bentuk, kadar atau ukuran
dan sifat-sifatnya jelas sehingga antara keduanya tidak akan terjadi kecoh
mengkecoh.
3. Lafaz ijab dan Kabul
Ijab adalah
perkataan penjual, umpamanya, “saya jual barang ini sekian”Kabul adalah ucapan si
pembeli, “saya terima dengan harga sekian”. Keterangannya yaitu ayat yang
mengatakan bahwa jual beli itu suka sama suka dan juga sabda Rasulullah SAW. Di
bawah ini:
انما البيع عن تراض { رواه ابن حبان}
sesungguhnya
jual beli itu hanya sah jika suka sama suka.”(riwayat ibnu hibban).
Sedangkan suka sama suka itu tidak dapat diketahui dengan jelas
kecuali dengan perkataan, kraena perasaan suka itu bergantung pada hati
masing-masing. Ini kebanyakan pendapat ulama.tetapi Nawawi, Mutawali, badawi,
dan beberapa ulama yang lain berpendapat bahwa lafaz itu tidak menjadi rukun,
hanya menurut adat kebiasaan saja. Apabila menurut adat telah berlaku bahwa hal
yang seperti itu sudah dipandang sebagai jual beli, itu saja sudah cukup karena
tidak ada suatu dalil yang jelas untuk mewajibkan lafaz. Menurut ulama yang
mewajibkan lafaz, lafaz itu diwajibkan memenuhi beberapa syarat:
a.
Keadaan
ijab dan Kabul berhubungan. Artinya salah satu dari keduanya pantas menjadi
jawaban dari yang lain dan belum berselang lama.
b.
Makna
keduanya hedaklah mufakat (sama) walaupun lafz keduanya berlainan.
c.
Keduanya
tidak dsangkutkan dengan urusan yang lain, seperti katanya “kalua saya jadi
pergi, saya jual barang ini sekian”
d.
Tidak
berwaktu, sebab jual beli berwaktu seperti sebulan atau setahun tidak sah.
Apabila rukun atau syartanya kurang, jual beli dianggap tidak sah.
Di bawah ini akan diuraikan beberapa contoh jual beli yang tidak sah karena
kurang rukun dan syaratnya.
1.
Di
Negari kita ini orang telah biasa melakukan pekerjaan mecampurkan hewan betina
dengan hewan jantan. Percampuran itu ditetapkan dengan harga yang tertentu
untuk sekali campur. Jadi, berarti menjual air mani jantan .ini tidak sah
menurut cara jual beli karena tidak diketahui kadarnya, juga tidak dapat
diserahkan.
Akan tetapi, dengan jalan
dipersewakan dalam masa yang tertentu, menurut mazhab syafi’i dan Hambali tidak
ada halangan. Adapun dengan jalan meminjam, maka para ulama bersepakat bahwa
tidak ada halangan, bahkan dianjurkan oleh syara.
2.
Menjual
suatu barang yang baru di belinya sebelum diterima, karena miliknya belum
sempurna. Tanda sesuatu yang baru dibeli dan belum diterimanya adalah, barang
itu masih dalam tanggungan si penjual berarti kalau barang itu hilang, si
penjual harus mengganti.
3.
Menjual
buah-buahan sebelum nyata pantas dimakan (dipetik), karena buah-buahan yang
masih kecil sering rusak atau busuk sebelum maang. Hal ini mungkin akan
merugikan si pembeli, dan si penjual pun mengambil harganya dengan tidak ada
keuntungannya.
3. Hukum jual beli
Hukum asal jual beli adalah boleh
(jaiz). Pada perkembangannya, dalam hukum islam hukum jual beli memiliki
beberapa kategori:
1.
Mubah
(boleh). Jual beli dibolehkan sesuai dengan hajat dan kebiasaan masyarakat.
Contoh, menjual atau membeli beras
dipasar, menjual atau membeli makanan dikantin, menjual atau membeli buku di
toko buku, dan sebagainya.
2.
Wajib,
yaitu transaksi jual beli yang harus dikerjakan demi kepentingan umat.
Contoh,
menjual atau membeli kain untuk menutupi aurat.
3.
Sunnah,
apabila jual beli tersebut mendatangkan kesejahteraan bagi orang miskin.
Contoh,
menjual atau membeli hasil petani supaya mereka lebih sejahtera.
4.
Haram,
yaitu jual beli yang terlarang.
Contoh,
menjual atau membeli minuman keras atau obat-obatan terlarang, menjual atau
membeli barang yang sudah dibeli orang lain, menjual atau membeli dengan menipu
atau mengurangi timbangan.
4. Macam-macam jual beli
Jual beli dapat ditinjau dari
beberapa segi. Ditinjau dari segi hukumnya, jual beli ada dua macam, jual beli
yang sah menurut hukum,dari segi obyek jual beli dan segi pelaku jual beli.
Ditinjau dari segi benda yang
dijadikan objek jual beli dapat dikemukakan pendapat imam taqiyuddin bahwa jual
beli dibagi menjadi dua bentuk.
1. Jual beli benda yang kelihatan ialah pada waktu melakukan akad jual
beli benda atau barang yang diperjualbelikan ada didepan penjual dan pembeli.
Hal ini lazim dilakukan masyarakat banyak dan boleh dilakukan,seperti membeli
beras di pasar.
2. Jual beli yang disebutkan sifat-sifatnya dalam perjanjian ialah
jual beli salam (pesanan).Menurut kebiasaan para pedagang,salam adalah untuk
jual beli yang tidak tunai (kontan),salam pada awalnya berarti meminjamkan
barang atau sesuatu yang seimbang dengan harga tertentu,maksudnya ialah
perjanjian yang penyerahan barang-barangnya ditangguhkan hingga masa tertentu,sebagai
imbalan harga yang telah ditetapkan ketika akad.
3. Jual beli benda yang tidak ada serta tidak dapat dilihat ialah jual
beli yang dilarang oleh agama islam karena barangnya tidak tentu atau masih
gelap sehingga dikhwatirkan barang tersebut diperoleh dari curian atau barang
titipan yang akibatnya dapat menimbulkan kerugian salah satu pihak. Sementara
itu, merugikan dan menghancurkan harta benda seseorang tidak diperbolehkan,
seperti yang dijelaskan oleh muhammada syarbini khatib(t.t:6) bahwa penjualan
bawang merah dan wortel serta yang lainnya yang berada di dalam tanah adalah
batal sebab hal tersebut merupakan perbuatan ghoror,
Jual beli yang dilarang dan batal hukumnya adalah sebagai berikut:
1.
Barang
yang dihukumkan najis oleh agama,seperti anjing, babi,berhala,bangkai, dan
khamar.
2.
Jual
beli sperma (mani) hewan,seperti mengawinkan seekor domba jantan dengan
betina agar dapat memperoleh
turunan.jual beli ini haram hukumnya.
3.
Jual
beli anak binatang yang masih berada dalam perut induknya.jual beli seperti ini
dilarang,karena barangnya belum ada dan tidak tampak,
4.
Jual
beli dengan muhaqallah. Baqalah berarti tanah, sawah, dan kebun, maksud
muqallah disini ialah menjual tanam-tanaman yang masih diladang atau disawah. Hal
ini dilarang agama sebab ada persangkaan riba di dalamnya.
5.
Jual
beli dengan muqadharah, yaitu menjual buah-buahan yang belum pantas untuk
dipanen, seperti menjual rambutan yang masih hijau, mangga yang masih
kecil-kecil, dan yang lainnya.
6.
Jual
beli dengan muammassah, yaitu jual beli secara sentuh menyentuh,misalkan
seorang menyentuhsehelas kain dengan tangannya diwaktu malam atau siang hari,
maka orang yang menyentuh berarti telah membeli kain tersebut.hal ini dilarang
karena mengandung tipuan dan kemungkinan akan menimbulkan kerugian bagi salah
satu pihak.
7.
Jual
beli dengan munabadzah,yaitu jual beli secara lempar-melempar,seperti seseorang
berkata “lemparkan kepadaku apa yang ada padamu” nanti kulemparkan padamuapa
yang ada padaku”. Setelah terjadi lempar melempar, terjadilah jualbeli.hal ini
dilarang karena mengandung tipuan dan tidak ada ijab dan Kabul.
8.
Jual
beli dengan muzabanah, menjual buah yang basah dengan buah yang kering,seperti
menjual padi kering,seperti menjual padi kering dengan bayaran padi
basah,sedangkan ukurannya dengan dikilo sehingga akan merugi pemilik padi
kering.
9.
Menentukan
dua harga untuk satu barang yang diperjual belikan.menurut syafiipenjualan
seperti mengandung dua arti,yang pertama seperti seseorang berkata “kujual buku
ini seharga $ 10,- dengan tunai atau $ 15,- dengan cara utang”. Arti kedua
ialah seperti seseorangberkata. “aku jual buku ini kepadamu dengan syarat kamu
kamu harus menjual tasmu padaku.”
10.
Jual
beli dengan syarat (iwadh mahjul), jual beli seperti ini, hampir sama dengan
jual beli dengan menentukan dua harga, hanya saja dini dianggapsebagai syarat,
seperti seseorang berkata; ‘’aku jaul rumahku yang butut ini kepadamu dengan
syarat kamu mau menjual mobilmu padaku.” Lebih jelasnya, jual beli ini sama
dengan jual beli dengan dua harga arti yang kedua menurut syafi’i.
11.
Jual
beli gharar, yaitu jual beli yang samar sehingga ada kemungkinan terjadi
penipuan, seperti penjualan ikan yang masih di kolam atau menjual kacang tanah
yang atasnya kelihatan bagus tetapi bawahnya jelek. Penjualan seperti ini
dilarang, karena Rasulullah SAW. Bersabda;
لا تشترواالسمك في الما فانه غرر {روه احمد}
“janganlah kamu membeliikan di dalam air, karena jual beli seperti itu termasuk gharar, alias nipu”{ Riwayat Ahmad}.
12. Jual beli dengan mengecualikan sebagian benda yang dijual, seperti seseorang yang
menjual sesuatu dari benda itu ada yang dikecualikan salah satu bagiannya, misalnya A menjual seliruh pohon-pohon yang ada dikebunnya, kecuali pohon pisang. Jual beli ini sah sebab yang dikecualikannya jelas. Namun, bila yang dikecualikannya tidak jelas, jual beli tersebut batal.
13. Larangan menjual makanan hingga dua kali ditakar. Hal ini menunjukkan kurangnya saling percaya antara penjual dan pembeli.
5. Beberapa jual beli yang sah, tetapi dilarang
Mengenai jual beli yang tidak diizinkan
oleh agama, di sini akan diuraikan beberapa cara saja sebagai contoh
perbandingan bagi yang lainnya. Yang menjadi pokok sebab timbulnya larangan
adalah: (1) Menyakiti si penjual, pembeli, atau orang lain; (2) menyempitkan
gerakan pasaran; (3) merusak ketenteraman umum.
1.
Membeli
barang dengan harga yang lebih mahal daripada harga pasar, sedangkan dia tidak
menginginkan barang itu, tetapi semata-mata supaya orang lain tidak dapat
membeli barang itu. Dalam hadits diterangkan bahwa jual beli yang demikian itu
dilarang.
2.
Membeli
barang yang sudah dibeli orang lain yang masih dalam masa khiyar.
Sabda Rasulullah Saw.:
عَنْ اَبِيْ
هُرَيْرَةَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يَبِعْ
بَعْضُكُمْ عَلى بَيْعَ بَعْضٍ. متفق عليه
Dari Abu Hurairah, “Rasulullah Saw. Telah bersabda, ‘Janganlah di
antara kamu menjual sesuatu yang sudah dibeli oleh orang lain’.” (sepakat ahli hadits)
3.
Mencegat
orang-orang yang datang dari desa dan di luar kota, lalu membeli barangnya
sebelum mereka sampai ke pasar dan sewaktu mereka belum mengetahui harga pasar.
Sabda Rasulullah Saw.:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَاتَتَلَقُّواالرُّكْبَانَ.متفق عليه
Dari Ibnu Abbas, “Rasulullah Saw.
Bersabda, ‘Janganlah kamu mencegat orang-orang yang akan ke pasar di jalan
sebelum mereka sampai di pasar’.” (sepakat
ahli hadits)
Hal ini tidak diperbolehkan karena
dapat merugikan orang desa yang datang, dan mengecewakan gerakan pemasaran
karena barang tersebut tidak sampai di pasar.
4.
Membeli
barang untuk ditahan agar dapat dijual dengan harga yang lebih mahal, sedangkan
masyarakat umum memerlukan barang itu. Hal ini dilarang karena dapat merusak
ketenteraman umum.
Sabda
Rasulullah Saw.:
لَايَحْتَكِرُ اِلَّاخَاطِىٌ.رواه مسلم
“Tidak
ada orang-orang yang menahan barang kecuali orang yang durhaka {salah).” (Riwayat Muslim)
5.
Menjual
suatu barang yang berguna, tetapi kemudian dijadikan alat maksiat oleh yang
membelinya.
Firman
Allah Swt.:
QS.
Al-Maidah: 21
“Dan
tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan
tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” (QS. Al-Maidah: 21)
6.
Jual
beli yang disertai tipuan. Berarti dalam urusan jual beli itu ada tipun, baik
dari pihak pembeli maupun dari penjual, pada barang ataupun ukuran dan
timbangannya.
عَنْ اَبِىْ
هُرَيْرَةَ اَنَّ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَرَّعَلى
صُبْرَةِ طَعَامٍ فَاَدْخَلَ يَدَهُ فِيْهَا فَنَا لَتْ اَصَابِعُهُ بَلَلًا فَقَالَ
مَاهذَايَاصَاحِبَ الطَّعَامٍ قَالَ اَصَابَتْهُ اسَّمَاءُ يَارَسُوْلَ اللهِ
قَالَ اَفَلَا جَعَلْتَهُ فَوْقَ الطَّعَامِ كَىْ يَرَاهُ النَّاسُ مَنْ غَشَّ
فَلَيْسَ مِنِّىْ .
رواه مسلم
Dalam
hadits tersebut jelaslah bahwa menipu itu haram, berdosa besar. Semua ulama
sepakat bahwa peerbuatan itu sangat tercela.
Jual beli tersebut dipandang sah, sedangkan hukumnya haram karena
kaidah ulama fiqh berikut ini: Apabila larangan dalam urusan muamalat itu
karena hal yang di luar urusan muamalat, larangan itu tidak menghalangi sahnya
akad.
6. Khiyar dalam Jual Beli
Khiyar artinya “boleh memilih antara
dua, meneruskan akad jual beli atau mengurungkan (menarik kembali, tidak jadi
jual beli)”. Diadakan khiyar oleh syara’ agar kedua orang yang berjual beli
dapat memikirkan kemaslahatan masing-masing lebih jauh, supaya tidak akan
terjadi penyesalan di kemudian hari lantaran merasa tertipu.
Khiyar ada tiga macam
1.
Khiyar
majelis
Artinya si pembeli dan si penjual boleh memilih antara dua perkara
tadi selama keduanya masih tetap berada di tempat jual beli. Khiyar majelis
diperbolehkan dalam segala macam jual beli.
Sabda Rasulullah Saw.:
اَلْبَيْعُا نِ
بِالْخِيَارِمَالَمْ يَتَفَرَّقَا .رواه الشيخان
“Dua
orang yang berjual beli boleh memilih (akan meneruskan jual beli mereka atau
tidak) selama keduanya belum bercerai dari tempat akad.” (Riwayat Bukhari dan Muslim)
Habislah khiyar majelis apabila,
a.
Keduanya
memilih akan meneruskan akad. Jika salah seorang dari keduanya memilih akan
meneruskan akad, habislah khiyar dari pihaknya, tetapi hak yang lain masih
tetap.
b.
Keduanya
terpisah dari tempat jual beli. Arti berpisah ialah menurut kebiasaan. Apabila
kebiasaan telah menghukum bahwa keadaan keduanya sudah berpisah, tetaplah jual
beli antara keduanya. Kalau kebiasaan mengatakan belum berpisah, masih
terbukalah pintu khiyar antara keduanya. Kalau keduanya berselisih – umpamanya
seorang mengatakan sudah berpisah, sedangkan yang lain mengatakan belum, yang
mengatakan belum hendaklah dibenarkan dengan sumpahnya, karena yang asalh belum
berpisah.
2.
Khiyar
syarat
Artinya khiyar itu dijadikan syarat sewaktu akad oleh keduanya atau
oleh salah seorang, seperti kata si penjual, “Saya jual barang ini dengan harga
sekian dengan syarat khiyar dalam tiga hari atau kurang dari tiga hari.”
Khiyar syarat boleh dilakukan dalam segala macam jual beli, kecuali
barang yang wajib diterima di tempat jula beli, seperti barang-barang riba.
Masa khiyar syarat paling lama hanya tiga hari tiga malam, terhitung dari waktu
akad.
Sabda Rasulullah Saw.:
اَنْتَ بِالْخِيَارِفِىْ
كُلِّ سِلْعَةٍابْتَعْتَهَاثَلَاثَ لَيَالٍ.رواه البيهقى واببن ماجه
“Engkau
boleh khiyar pada segala barang yang telah engkau beli selama tiga hari tiga
malam.” (Riwayat Baihaqi dan Ibnu Majah)
Barang yang terjual itu sewaktu dalam masa khiyar kepunyaan orang
yang mensyaratkan khiyar, kalau yang khiyar hanya salah seorang dari mereka.
Tetapi kalau kedua-duanya mensyaratkan khiyar, maka barang itu tidak dipunyai
oleh seorang pun dari keduanya. Jika jual beli sudah tetap akan diteruskan,
baerulah diketahui bahwa barang itu kepunyaan pembeli mulai dari masa akad.
Tetapi kalau jual beli tidak diteruskan, barang itu tetap kepunyaan si penjual.
Untuk meneruskan jual beli atau tidaknya, hendaklah dengan lafaz yang jelas
menunjukkan terus atau tidaknya jual beli.
3.
Khiyar
‘aibi (cacat)
Artinya si pembeli boleh mengembalikan barang yang dibelinya
apabila pada barang itu terdapat suatu cacat yang mengurangi kualitas, barang
itu, atau mengurangi harganya, sedangkan biasanya barang yang seperti itu baik;
dan sewaktu akad cacatnya itu sudah ada, tetapi si pembeli tidak tahu; atau
terjadi sesudah akad, yaitu sebelum diterimanya. Keterangan adalah ijma’
(sepakat ulama mujtahid).
روت عاىشة رضى الله عنهاان رجلا ابتاع غلاما فاقام عنده ماشاء الله ثم
وجدبه عيبا فخا صمه الى النبى صلى الله عليه وسلم فرده عليه.رواه أحمدوأبوداودوالترمذى
Aisyah telah meriwayatkan, “Bahwasanya seorang laki-laki telah
membeli seorang budak, budak itu tinggal beberapa lama dengan dia, kemudian
kedapatan bahwa budak itu ada cacatnya, lalu dia adukan perkaranya kepada
Rasulullah Saw. Keputusan drai beliau, budak itu dikembalikan kepada si
penjual. (Riwayat Ahmad, Abu Dawud, dan
Tirmizi)
Adapun cacat yang terjadi sesudah akad sebelum barang diterima,
maka barang yang dijual sebelum diterima oleh si pembeli masih dalam tanggungan
si penjual. Kalau barang ada di tangan si pembeli, boleh dikembalikan serta
diminta kembali uangnya. Akan tetapi, kalau barang itu tidak ada lagi; umpamanya
yang dibeli itu kambing, sedangkan kambingnya sudah mati; atau yang dibeli
tanah, sedangkan tanah itu sudah diwakafkannya, sesudah itu si pembeli baru
mengetahui bahwa yang dibelinya itu ada cacatnya, maka dia berhak meminta ganti
kerugian saja sebanyak kekurangan harga barang sebab adanya cacat itu.
Barang yang bercacat itu hendaklah segera dikembalikan, karena
melalaikan hal ini berarti rida pada barang yang bercacat, kecuali kalau ada
halangan. Yang dimaksud dengan “segera” di sini adalah menurut kebiasaan yang
berlaku. Kalau si penjual tidak ada (sedang bepergian), hendaklah jangan
dipakai lagi. Jika dia pakai juga, hilanglah haknya untuk mengembalikan barang
itu, dan hak meminta ganti rugi pun hilang pula.
Barang yang dikembalikan karena cacat tadi, apabila ada tambahannya
sewaktu di tangan si pembeli, sedangkan tambahannya itu tidak dapat dipoisahkan
– misalnya binatang yang dibeli itu tadinya kurus, sekarang sudah gemuk – maka
tambahan itu hendaklah dikembalikan juga bersama binatangnya; berarti si
pembeli tidak boleh meminta ganti rugi.
Akan tetapi, apabila
tambahan itu dapat dipisahkan – misalnya anaknya, atau sewanya yang
menghasilkan di tangan si pembeli – maka tambahan itu menjadi keuntungan si
pembeli, berarti tidak ikut dikembalikan. Sebaliknya kalau tambahan itu terjadi
dari uang (harga barang), maka menjadi keuntungan si penjual. Berarti hasil
uang itu semasa di tangan si penjual, kalau jual beli tidak diteruskan, tetap
menjadi hak si penjual (tidak ikut bersama uang harga yang dikembalikan kepada
si pembeli). Hukum ini berlaku kalau barang dikembalikan sesudah diterima.
Sabda junjungan kita, telah diriwayatkan bahwa seorang laki-laki
telah mengadukan keadaannya kepada Rasulullah Saw. Ia mengadu bahwa dia telah
membeli barang yang bercacat. Hasil pertimbangan beliau, barang itu
dikembalikan kepada si penjual. Setelah laki-laki itu mendengan keputusan
tersebut, lalu dia bertanya, “Barang itu sudah saya pakai beberapa lama, apakah
saya harus membayar sewanya apa tidak?
Jawab RasulullahSaw.:
اَلْخَرَاجُ بِالضَّمَا
نِ. رواهالترمذى
“Buah
(hasil) sesuatu adalah tanggungan si pembeli.” (Riwayat Tirmizi)
Jadi, apabila barang itu hilang dari tangannya, dia harus
mengganti, karena dia yang bertanggung jawab atas barang yang berada di
tangannya.
7. Membatalkan Jual Beli
Apabila terjadi penyesalan di antara
dua orang yang berjual beli, disunatkan atas yang lain membatalkan akad jual
beli antara keduanya.
Sabda
Rasulullah Saw,
عَنْ اَبِىْ هُرَيْرَةَ
قَالَ النَّبِىُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ اَقَالَ نَادِمًااَقَالَ
اللهُ عَثْرَتَهُ . رواه
البزار
Abu
Hurairah telah menceritakan hadits berikut, bahwa Nabi Saw. Telah bersabda,
“Barang siapa mencabut jual belinya terhadap orang yang menyesal, maka Allah
akan mencabut kejatuhannya (kerugian ditangannya).” (Riwayat Bazzari)
8. Berselisih dalam Jual Beli
Penjual dan
pembeli dalam melakukan jual beli hendaknya berlaku jujur, berterus terang dan
mengatakan yang sebenarnya, maka jangan berdusta dan jangan bersumpah dusta,
sebab sumpah dan dusta menghilangkan berkah jual beli. Rasulullah Saw.
Bersabda:
اَ لْحَلْفَ مَنْفَقَةُ لِلسِّلْعَةِ هَمْحِقَةٌ لِلْبَرَ كَةِ.رواه البخارى مسلم
“Bersumpah dapat mempercepat lakunya
dagangan, tetapi dapat menghilangkan berkah” (Riwayat Bukhari dan Muslim).
Para pedagang
jujur, benar, dan sesuai dengan ajaran Islam dalam berdagangnya didekatkan
dengan para nabi, para sahabat dan orang-orang yang mati syahid pada hari
qiamat. Rasulullah Saw. Bersabda:
اَلتَّاجِرُالصَّدُوْقُ اَلْأَمِيْنُ مَعَ النَّبِيِيْنَ وَالصِّدِّيْقِيْنَ
وَالشُّهَدَاءِ .رواه
الترمذى
“Pedagang yang jujur dan terpercaya dikumpulkan bersama para nabi,
sahabta-sahabat dan orang-orang yang mati syahid” (Riwayat Tirmidzi).
Bila antara
penjual dan pembeli beselisih pendapat dalam suatu benda yang diperjualbelikan,
maka yang dibenarkan ialah kata-kata yang punya barang, bila antara keduanya
tidak ada saksi dan bukti lainnya. Rasulullah Saw. Bersabda:
إِذَااحْتَلَفَ البَيْعَانِ وَلَيْسَ بَيْنَهُمَا بَيِّنَةٌ فَهُوَ
مَايَقُوْلُ رَبُّ السِّلْعَةِ أَوْ يَتَنَارَكَانَ .رواه أ بوداود
“Bila penjual dan pembeli
berselisih dan antara keduanya tak ada saksi, maka yang dibenarkan adalah
perkataan yang punya barang atau dibatalkan” (Riwayat Abu Dawud)
9. Badan Perantara
Badan perantara dalam jual beli
disebut pula simsar, yaitu seseorang yang menjualkan barang orang lain atas
dasar bahwa seseorang itu akan diberi upah oleh yang punya barang sesuai dengan
usahanya.
Dalam
satu keterangan dijelaskan:
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رض فِى مَعْنَى السِمْسَارِ قَالَ: لاَبَأْسَ
أَنْ يَقُوْلُ بِعْ هَذَاالثَّوْبَ بِكَذَافَمَازَادَفَهُوَلَكَ.رواه االبخارى
“Dari Ibnu Abbas r.a., dalam perkara simsar ia berkata tidak
apa-apa, kalau seseorang berkata juallah kain ini dengan harga sekian, lebih
dari penjualan harga itu adalah untuk engkau” (Riwayat Bukhari).
“Kelebihan”
yang dinyatakan dalam keterangan di atas adalah
a.
Harga
yang lebih dari harga yang telah ditetapkan penjual barang itu, dan
b.
Kelebihan
barang setelah dijual menurut harga yang telah ditentukan oleh pemilik barang
tersebut.
Orang yang menjadi simsar dinamakan pula komisioner, makelar, atau
agen, tergantung persyaratan-persyaratan atau ketentuan-ketentuan menurut Hukum
Dagang yang berlaku dewasa ini. Walaupun namanya simsar, komisioner, dan
lain-lain, namun mereka bertugas sebagai badan perantara dalam menjualkan
barang-barang dagangan, baik atas namanya sendiri maupun atas nama perusahaan
yang memiliki barang.
Berdagang secara simsar dibolehkan berdasarkan agama asal dalam
pelaksanaannya tidak terjadi penipuan dari yang satu terhadap yang lainnya.
10. Lelang (Muzayadah)
Penjualan
dengan cara lelang disebut muzayadah. Penjualan seperti ini dibolehkan
oleh agama Islam karena dijelaskan dalam satu keterangan:
عَنْ أَنَسٍ رض
قَالَ بَاعَ النَّبِىُّ ص م حِلْسًا وَقَدَحًا قَالَ مَنْ يَشْتَرِىْ هَذّاالْحِلْسَ
وَالْقَدَحَ فَقَاالَ رَجُلٌ أَخَذْتُهُمَا بِدِرْهَمٍ فَقَالَ النَّبِىُّ مَنْ
يَزِيْدُفَأَعْطَا هُ رَجُلٌ دِرْهَمَيْنِ فَبَاعَهُمَامِنْهُ .روواه الترمذى
“Dari Anas
r.a., ia berkata, Rasulullah Saw. Menjual sebuah pelana dan sebuah mangkok air
dengan berkata siapa yang mau membeli pelana dan mangkok ini? Seorang laki-laki
menyahut; aku bersedia membelinya seharga satu dirham. Lalu Nabi berkata lagi,
siapa yang berani menambahi? Maka diberi dua dirham oleh seorang laki-laki
kepada beliau, lalu dijuallah kedua benda itu kepada laki-laki tadi” (Riwayat
Tirmizi).
11. Penjualan Tanah
Bila seseorang menjual sebidang
tanah atau lapangan, sedangkan di dalamnya terdapat pohon-pohon, rumah-rumah,
dan yang lainnya, menurut Mazhab Syafi’i semua bangunan dan pohon-pohonan yang
berada di atas tanah itu turut terjual, tetapi tidak termasuk di dalamnya
barang-barang yang dapat diambil sekaligus, seperti padi, jagung, bawang, dan
tanaman sejenis lainnya. Menurut Syafi’i, boleh menjual tanah yang sedang
ditanami, seseorang menjual sebidang tanah di dalamnya ada benih dan
tanamannya. Kalau menjual tanah itu tidak dipisahkan dari penjualan benih dan
tanaman itu, penjualan itu batal sebab tidak jelas, apakah hanya tanah saja
atau tanah dengan tanaman dan biji-bijiannya. Yang termasuk dalam penjualan
sebidang tanah adalah.
1.
Batu
yang ada di dalamnya;
2.
Barang-barang
yang terpendam di dalamnya, seperti simpanan barang-barang berharga.
Dalam
penjualan sebidang kebun, yang termasuk di dalamnya ialah:
1.
Pohon-pohonannya;
2.
Bangunan-bangunan
yang ada di dalamnya, kecuali barang-barang yang dikecualikan dalam akad dan
disepakati dua belah pihak;
3.
Pekarangan
yang melingkari;
4.
Tanahnya.
Bila menjual rumah, yang termasuk di dalamnya ialah:
1.
Tanah
tempat mendirikan, sebab rumah tidak akan berdiri tanpa adanya tanah, hal ini
bila tidak dikecualikan dalam akad;
2.
Apa
yang ada dalam pekarangannya, seperti kakus, tempat mandi dan yang lainnya.
Bila seseorang menjual seekor hewan, yang termasuk di dalamnya
ialah:
1.
Sandal/sepatunya,
2.
Pelananya.
Bila yang dijual itu pohon-pohon yang sedang berbuah, buahnya
merupakan milik penjual, kecuali pembeli mensyaratkan agar buahnya itu untuk
dia. Rasulullah Saw. Bersabda:
مَنِ ابْتَاعَ
نَخْلًا بَعْدَأًنْ تُؤَبَّرَفَثَمْرَتُهَا لِلَّذِى بَاعَهَا إِلَّاأَنْ يَشْتَرِطَ
الْمُبْتَاعُ وَمَنِ ابْتَاعَ عَبْدًافَمَالُهْ لِلَّذِى بَاعَهُ إِلَّاأَنْ
يَشْتَرِطَ الْمُبْتَاعُ .رواه البخارى ومسلم
“Siapa yang
membeli sepohon kurma sesudah dikawinkan, maka buahnya adalah milik penjual,
kecuali bila pembeli mensyaratkan buat dia, dan siapa yang membeli seorang
budak, maka harta kekayaan budak itu adalah untuk yang menjual, kecuali pembeli
mensyaratkannya” (Riwayat Bukhari dan Muslim).
12. Buah-buahan yang rusak setelah dijual
Buah-buahan
yang sudah dijual kemudian rusak atau hilang dan yang lain-lainnya, maka
kerusakan itu tanggungan penjual, bukan tanggungan pembeli. Hal ini sebagaimana
disabdakan oleh Rasulullah Saw.
لَوْبِعْتَ مِنْ
أَخِيْكَ ثَمَرًافَاَصَابَهُ جَاىِحَةٌ فَلَا يَحِلُّ لَكَ أَنْ تَأْ خُذَمِنْهُ شَيْىَا
بِمَاتَأْخُذُمَالَ أَخِيْكَ بِغَيْرِحَقٍرواه مسلم
“Jika engkau
telah menjual buah-buahan kepada saudaramu, lalu buah-buahan itu rusak (busuk),
maka haram bagimu mengambil sesuatu darinya, apakah kamu mau mengambil harta
saudaramu dengan tidak hak” (Riwayat Muslim).
BAB III
PENUTUP
a. Kesimpulan
Jual beli
merupakan usaha atau suatu pekerjaan yang menghasilkan barang atau uang, dengan
jaul beli seseorang dapat menjual dan membeli barang sesuai dengan kebutuhannya
dengan cara menukarkan barang dengan barang atau barang dengan uang. Agama
islam membolehkan jual beli yang bersifat wajib, mubah, sunnah dan islampun
melarang jual beli yang haram yaitu terlarang. Seorang penjual harus mengetahui
rukun dan syaratnya dan harus memiliki sifat yang telah ditauladani oleh
Baginda Nabi Muhammad SAW ketika beliau berjualan.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Ghazali, Imam. 2002. Benang Tipis antara Halal dan Haram. Surabaya:
Putra Pelajar
Ibdalsyah, dan Hendri Tanjung. 2014. Fiqh Muamalah: Konsep dan
Praktek. Bogor: Azam Dunya Bogor.
Mardani. 2012. Fiqh Ekonomi Syariah. Jakarta: Kencana.
Rasjid, Sulaiman. 2012. Fqih Islam. Bandung: Sinar Baru Algensindo.
Suhendi, Hendi. Fiqh Muamalah. Jakarta: Rajawali Pers.
izin copy untuk menghafal
BalasHapusAlhamdulillah jadi paham
BalasHapusAlhamdulillah jadi paham
BalasHapusAlhamdulillah jadi paham
BalasHapus