A. Pengertian Tasawuf
Dari
segi bahasa, para ahli memberikan berbagai pengertian tentang tasawuf, namun
dari beberapa pengertian itu dapat disimpulkan, bahwa tasawuf adalah sikap
mental yang selalu memelihara kesucian diri, beribadah, hidup sederhana, rela
berkorban untuk kebaikan dan selalu bersikap bijaksana. Sikap jiwa yang
demikian itu pada hakikatnya adalah akhlak yang mulia.
Sedangkan
pengertian tasawuf dari segi istilah atau menurut pendapat para ahli tasawuf
sangat tergantung kepada sudut pandang yang digunakan oleh masing-masing pakar.
Jika memandang mausia sebagai makhluk yang harus berjuang, maka tasawuf dapat
didefinisikan sebagai "upaya memperindah diri dengan akhlak yang bersumber
dari ajaran agama dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah Swt."
B.
Pengertian dan Ciri Masyarakat Modern
Dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia kata "masyarakat" diartikan "pergaulan hidup
manusia (himpunan orang yang hidup bersama di suatu tempat dengan ikatan-ikatan
aturan yang tertentu), sementara kata "modern" diartikan
"terbaru, secara baru, mutakhir". Dengan demikian secara harfiah kata
"masyarakat modern" dapat dimaknai dengan "suatu himpunan orang
yang hidup bersama di suatu tempat dengan ikatan-ikatan aturan tertentu yang
bersifat mutakhir". Selanjutnya Deliar Noer memberikan ciri-ciri
modern sebagai berikut :
1.
Bersifat rasional, yaitu lebih
mengutamakan pendapat akal fikiran dari pada pendapat emosi, sebelum melakukan
pekerjaan selalu dipertimbangkan untung ruginya dan pekerjaan tersebut secara
logika dipandang menguntungkan.
2.
Berfikir untuk masa depan yang lebih
jauh, tidak hanya memikirkan masalah yang bersifat sesaat, tetapi juga selalu
melihat dampak sosialnya secara lebih jauh.
3.
Menghargai waktu, yaitu selalu melihat
waktu adalah sesuatu yang sangat berharga dan perlu dimanfaatkan dengan
sebaik-baiknya.
4.
Bersikap terbuka, yaitu mau menerima
saran, masukan, baik berupa kritik, gagasan dan perbaikan dari manapun.
5.
Berfikir objektif, yaitu melihat segala
sesuatu dari sudut fungsi dan kegunaannya bagi masyarakat.
C. Problematika Masyarakat Modern
Masyarakat modern
memiliki sikap hidup materialistik (mengutamakan materi), hedonistik
(memperturutkan kesenangan dan kelezatan syahwat), totaliteristik (ingin
menguasai semua aspek kehidupan) dan hanya percaya kepada rumus-rumus
pengetahuan empiris saja serta sikap hidup positivistis yang berdasarkan
kemampuan akal pikiran manusia tampak jelas menguasai manusia yang memegang
ilmu pengetahuan dan teknologi. Pada diri orang-orang yang berjiwa dan
bermental seperti ini, ilmu pengetahuan dan teknologi modern memang sangat
mengkhawatirkan, karena mereka yang akan menjadi penyebab kerusakan di atas
permukaan bumi, sebagaimana Firman Allah Swt. dalam surat ar-Rum ayat 41 :
ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُم بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ
Artinya : Telah tampak kerusakan
di darat dan dilaut disebabkan karena perbuatan tangan manusia; Allah
Menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar
mereka kembali (ke jalan yang benar).
Dari sikap mental seperti di atas,
kehadiran ilmu pengetahuan dan teknologi telah melahirkan sejumlah problematika
masyarakat modern. Promblematika yang muncul antara lain :
1.
Penyalahgunaan Ilmu Pengetahuan dan
Teknologi. Ikatan spriritual terlepas dari ilmu pengetahuan dan teknologi,
akibatnya kemampuan membuat senjata telah diarahkan untuk tujuan menjajah
bangsa lain.
2.
Pendangkalan Iman. Lebih mengutamakan
keyakinan kepada akal pikiran dari pada keyakinan religius.
3.
Desintegrasi Ilmu Pengetahuan. Adanya
spesialisasi di bidang ilmu pengetahuan, masing-masing ilmu pengetahuan memliki
paradigma sendiri dalam memecahkan masalah yang dihadapi.
4.
Pola Hubungan Materialistik. Memilih
pergaulan atau hubungan yang saling menguntungkan secara materi.
5.
Menghalalkan segala cara. Dalam
menjcapai tujuan mengenyampingkan nilai-nilai ajaran agama.
6.
Kepribadian yang terpecah (split
personality). Karena kehidupan manusia modern dibentuk oleh ilmu pengetahuan
yang coraknya kering dari nilai-nilai spiritual dan terkotak-kotak, akibatnya
manusia menjadi pribadi yang terpecah. Jika proses keilmuan yang berkembang
tidak berada di bawah kendali agama, maka proses kehancuran pribadi manusia
akan terus berjalan. Dengan demikian, semua kekuatan yang lebih tinggi untuk
menibgkatkan derajat kehidupan manusia akan hilang, sehingga tidak hanya
kehidupan saja yang mengalami kemerosotan, tetapi juga tingkat kecerdasan dan
moral.
7.
Stress dan Frustasi. Jika tujuan tidak
tercapai, sering berputus asa bahkan tidak jarang yang depresi.
8.
Kehilangan Harga Diri dan Masa Depan.
Jika kontrol nilai-nilai agama telah terlepas dari kehidupan, maka manusia
tidak lagi punya harga diri dan masa depan.
Eric Fromm mengatakan
bahwa, karakter masyarakat modern diwarnai oleh orientasi pasar, di mana
keberhasilan seseorang tergantung kepada sejauh mana nilai jualnya di pasar.
Masyarakat modern bagaikan penjual dirinya sekaligus sebagai komunitas yang
siap dijual di pasar. Oleh karena itu penghargaan atas diri manusia itu
ditentukan oleh nilai jualnya di pasar, akibatnya setiap orang termotivasi
untuk berjuang keras menjadi pekerja sukses dan kaya, demi penegasan atas
keberhasilannya. Kemakmuran melambangkan tingginya nilai jual, sementara kemiskinan
dimaknai sebaliknya.
Kebaikan, kejujuran,
kesetiaan pada kebenaran dan keadilan sudah bagai tidak bernilai jika tidak
memberikan manfaat untuk kesuksesan dan kemakmuran. Jika kondisi ekonomi
seseorang tidak makmur, maka dinilai sebagai orang yang belum sukses, bahkan
gagal dalam kehidupan. Keadaan seperti ini menandakan masyarakat modern,
masyarakat yang mengalami keterasingan (aliensi), mereka tidak lagi berpijak
kepada kualitas kemanusiaan, melainkan berpatokan kepada keberhasilan dalam
mencapai kekayaan materi.
Kondisi ini memalingkan
kesadaran manusia sebagai makhluk termulia. Keutamaan dan kemuliaan menyatu
dengan kekuatan kepribadian, tidak bergantung pada sesuatu yang ada di luar
dirinya. Oleh karena itu masyarakat modern mengalami depersonilisasi kehampaan
dan ketidakbermaknaan hidup. Keberadaannya tergantung kepada pemilikan dan
pengasaan symbol kekayaan, keinginan mendapatkan harta yang berlimpah melampaui
komitmennya terhadap solidaritas sosial. Hal ini didorong oleh pandangan bahwa
orang yang banyak harta merupakan manusia unggul.
D. Relevansi Tasawuf dalam Kehidupan Modern
Banyak cara yang
diajukan para ahli untuk mengatasi problematika masyarakat modern dan salah
satu cara yang hampir disepakati para ahli adalah dengan cara mengembangkan
kehidupan yang berakhlak dan bertasawuf. Salah satu tokoh yang begitu sungguh-sungguh
memperjuangkan akhlak tasawuf bagi mengatasi masalah tersebut adalah Husein
Nashr. Menurutnya, faham sufisme ini mulai mendapat tempat di kalangan
masayarakat (termasuk masyarakat barat) karena mereka mulai mencari-cari dimana
sufisme yang dapat menjawab sejumlah masalah tersebut.
Sufisme perlu
dimasyarakatkan pada kehidupan modern yang sekarang karena terdapat 3 tujuan
yang penting yaitu :
1.
Turut serta terlibat dalam berbagai
peran dalam menyelamatkan kemanusiaan dari kondisi kebingungan akibat hilangnya
nilai-nilai spiritual.
2.
Memperkenalkan literatur atau pemahaman
tentang aspek esoterik (kebatinan) Islam, baik terhadap masyarakat islam yang
mulai melupakannya maupun non islam, khususnya terhadap masyarakat barat.
3.
Untuk memberikan penegasan kembali
bahwa sesungguhnya aspek esoterik Islam, yakni sufisme, yaitu jantung dari
ajaran islam sehingga bila wilayah ini kering dan tidak berdenyut , maka
keringlah aspek-aspek lain ajaran islam
Relevansi Tasawuf
dengan problem manusia modern adalah karena Tasawuf secara seimbang memberikan
kesejukan batin dan disiplin syari’ah sekaligus. Ia bisa difahami sebagai
pembentuk tingkah laku melalui pendekatan Tasawuf suluky, dan bisa memuaskan
dahaga intelektuil melalui pendekatan Tasawuf falsafy. Ia bisa diamalkan oleh
setiap muslim, dari lapisan sosial manapun dan di tempat manapun. Secara fisik
mereka menghadap satu arah, yatiu Ka’bah, dan secara rohaniah mereka berlomba
lomba menempuh jalan (tarekat) melewati ahwal dan maqam menuju kepada Tuhan
yang Satu, Allah SWT. Tasawuf adalah kebudayaan Islam, oleh karena itu budaya
setempat juga mewarnai corak Tasawuf sehingga dikenal banyak aliran dan
tarekat.Telah disebut di muka bahwa berTasawuf artinya mematikan nafsu dirinya
untuk menjadi Diri yang sebenarnya. Jadi dalam kajian Tasawuf, nafs difahami
sebagai nafsu, yakni tempat pada diri seseorang dimana sifat-sifat tercela
berkumpul, Al Ashlu Al Jami` Li As Sifat Al Mazmumah Min Al Insan. Nafs juga
dibahas dalam kajian Psikologi dan juga filsafat. Dalam upaya memelihara agar
tidak keluar dari koridor Al-Qur’an maka baik Tasawuf maupun Psikologi (Islam)
perlu selalu menggali konsep nafs (dan manusia) menurut Al-Qur’an dan
hadis.
Intisari ajaran tasawuf
sebagaimana paham mistisme dalam agama-agama lain adalah bertujuan memperoleh
hubungan langsung dan disadari dengan Tuhan, sehingga seseorang merasa dengan
kesadaranya itu berada di kehadirat-Nya. Upaya ini antara lain dilakukan
kontemplasi, melepaskan diri dari jeratan dunia yang senantiasa berubah dan
bersifat sementara. Sikap dan pandangan sufistik ini sangat diperlukan oleh
masyarakat modern yang mengalami jiwa yang terpecah sebagaimana disebutkan,
asalkan pandangan terhadap tujuan tasawuf tidak dilakukan secara ekslusif dan
individual, melainkan berdaya aplikatif dalam meresponi berbagai masalah yang
dihadapi.
Kemampuan berhubungan
dengan Tuhan ini dapat mengintegrasikan seluruh ilmu pengetahuan yang tampak
berserakan karena melalui tasawuf ini seseorang disadarkan bahwa sumber segala
yang ada ini berasal dari Tuhan. Dengan adanya bantuan tasawuf ini, maka ilmu
pengetahuan satu dan lainya tidak akan bertabrakan karena ia berada dalam satu
jalan dan satu tujuan. Selanjutnya tasawuf melatih manusia agar memiliki
ketajaman batin dan kehalusan budi pekerti. Sikap batin dan kehalusan budi yang
tajam ini menyebabkan ia akan selalu mengutamakan pertimbangan kemanusiaan pada
setiap masalah yang dihadapi dengan demikian ia akan terhindar dari melakukan
perbuatan perbuatan yang tercela menurut agama.
Selanjutnya ajaran
tawakkal pada Tuhan menyebabkan ia memiliki pegangan yang kokoh, karena ia
telah mewakilkan atau menggadaikan dirinya sepenuhnya pada Tuhan, sikap
tawakkal ini akan mengatasi sikap stress yang dialami oleh manusia. Sikap
materialistic dan hedonistic yang merajalela dalam kehidupan modern ini dapat
diatasi dengan menerapkan konsep zuhud, yang pada intinya sikap yang tidak mau
diperbudak atau terperangkap oleh pengaruh duniawi yang sementara itu. Jika
sikap ini tidak mantap, maka ia tidak akan berani menggunakan segala cara untuk
mencapai tujuan , sebab tujuan yang ingin dicapai dalam tasawuf adalah menuju
Tuhan, maka caranyapun harus ditempuh dengan cara yang disukai Tuhan.
Demikian pula ajaran
uzlah yang terdapat dalam tasawuf yaitu usaha mengasingkan diri dari terperangkat
oleh tipu daya keduniaan, dapat pula digunakan untuk membekali masyarakat
modern agar tidak menjadi sekruft dari mesin kehidupan. Yang tidak tahu lagi
arahnya mau dibawa kemana. Tasawuf dengan konsep uzlahnya itu berusaha
membebaskan manusia dari perangkap-perangkap kehidupan tapi ia tetap
mengendalikan aktivitasnya sesuai dengan nilai-nilai ketuhanan, dan bukan
sebaliknya larut dalam pengaruh keduniaan. Terakhir problematika masyarakat
modern diatas adalah sejumlah manusia yang kehilangan masa depanya, merasa
kesunyian dan kehampaan jiwa di tengah-tengah derunya laju kehidupan.
Abad yang berkembang
telah tiba, teknologi yang modern semakin berkembang. Perkembangannya seiring
dengan perubahan waktu. Siapa yang tidak bisa mengejar perkembangan berarti ketinggalan
zaman. Inilah perkataan yang memancing kita terjerumus terjun ke dalam tawaran
kemodernismean.
Modernisme merupakan
tanda kemajuan dan moderniame juga merupakan tanda kemunduran suatu bangsa.
Perkembangan dalam berbagai bidang, dari bidang ekonomi sampai bidang
teknologi. Hal telah banyak membuat kita lupa akan daratan kita –tujuan awal–
yang sejak awal kita bangun. Kenyataannya, modernisme makin hari membawa diri
kta terselubungi dengan perkembangan teknologi.
Efeknya, penghayatan
terhadap Islam mulai digantikan dengan penghayatan duniawi yang serba ingin
modern. Prinsip materiaistik memenuhi otak pikiran, yang melepaskan kontrol
agama dan kebebasan bertindak demi memenuhi modernisme telah berkuasa untuk
mengalahkan terapi sufisme atau tasawuf. Masyarakat modern semakin mendewakan
keberadaan ilmu pengetahuan, maka seakan-akan kita berada pada wilayah
pinggiran yang bermadzab ke-barat-an dan bahkan kita hampir-hampir kehilangan
visi kailahian. Hal inilah yang membuat kita makin stress dan gersang hati kita
dengan dunia, akibat tidak mempunyai pegangan hidup.
Dalam teori kesuksesan
yang diterapkan oleh Ary Gynanjar yang mengilustrasikan keberadaan diri kita
sudah dan telah memiliki kekuatan atau kemampuan yang berupa IQ, EQ dan SQ.
Yang mana, ketika kemampuan itu membentengi manusia dalam hariannya untuk
menjadi manusia yang sukses atau manusia yang kamil. Untuk itulah, teori yang
diterapkan oleh Ary Gynanjar harus diseimbangkan dalam diri personal. Sebab,
akibat yang ditimbulkan dari ketidakseimbangan tersebut akan merubah diri
seorang hidup tanpa peganggan yang lari sana dan lari sini, ikut sana dan ikut,
tidak punya prinsip yang diandalkan.
Wujud dari kemampuan
manusia, umunnya berupa kekuatan ekonomi, teknologi, dan kekuatan ibadiyah.
Wajar sekali, kekuatan ekonomi dan teknologi saat ini sangat diperlukan bagi
penunjang keberhasilan umat Islam demi menjaga dan mengangkat harkat dan
martabat umat itu sendiri. Hal ini disebabkan maraknya perkembangan dan
kebutuhan duniawi yang marak juga. Maka dari itu, keselamatan seseorang
ditentukan oleh pribadi masing-masing, di mana ia semakin menjaga martabat
Islam, semakin pula dirinya terjaga dari arus besarnya kemodernismean.
Keseimbangan memang
dibutuhkan, tapi realita yang terjadi ketika insan bertaqorub ilahirobbi yang
mana mereka menjalani hidup penuh dengan nuasa tasawuf tidak disertai yang
namanya EQ. Sehinga yang terjadi, mereka hanya bisa dekat dengan Tuhannya tapi
tidak dekat dengan lingkungannya yakni masyarakat sekitarnya. Sebagai
muslim yang beritikad shaleh untuk agama, berkeyakinan baik dengan adanya
perkembangan zaman, hendaknya menyeimbangi pekembangan tersebut bukan mengikuti
bahkan terpengaruh perkembangan zaman. Untuk itu, pertebal kekuatan keilmuan
untuk menyeimbangi perkembangan zaman. Perlu kita ingat sejenak dalam surat
al-Fajr ayat 27-30 yang artinya: “Wahai jiwa yang tenang, kembalilah pada
Tuhanmu dengan puas dan diridhoi Allah, masuklah ke dalam golonganku (yang
beramal shaleh), dan masuklah ke dalam surgaku”. Ayat ini bisa kita renunggi,
tatkala kita terbawa arus modernisme, hendaklah dan segerahlah kembali ke jalan
Allah.
Sekularitas Tasawuf
menjadi jawaban ini semua, harapan terbesar dengan keberadaan buku ini,
menjadikan manusia berpaling sejenak untuk mangapai lagi sifat keilahiannya
yang sering kali pudar dengan modernisme. Ajakan dan rayuan semata, telah
membutakan sekilas perjuangan yang selama ini kita rintis. Seyogyanya kemampuan
mengeksistensikan kembali tasawuf-lah yang bisa menyayat sedikit gemerlap
hujatan hitam di dunia modern ini.
Mari kita buka, lembar
per lembar simbol-simbol Islam telah dipakai untuk menutupi kekhilafan mereka.
Tameng Islam yang suci menjadi korban simbolistik mereka. Memang bentul, Islam
sangat demokrasi pada umatnya tapi sudahkah kita adil dalam meninteraksikan
konsep kebangsaan dalam keagamaan. Sehingga terciptalah konsep baru yang lebih
moderat terhadap lingkungan masyarakkat kita.
Penjelasan yang sama,
berintikan pada keseimbangan tercakup dalam teori ESQ tersebut menjadikan
interaksi dengan sesama manusia bisa terjalin damai. Sebagaimana tasawuf
merupakan bagian dari agama Islam yang mana merupakan jalan menuju pendekatan
kepada Allah swt. Selama ini, tasawuf dipandang sebelah mata oleh sebagian
umat Islam sendiri. Mereka beranggapan, seorang yang bertasawuf malah tidak
kenal dengan dunia, tidak kenal toleransi, dan lainnya. Sebenarnya, jika
diamati secara seksama justru dengan bertasawuf semakin banyak nilai,
kesusilaan dan norma yang dilahirkan dari tubuh tasawuf.
Realitanya, yang
dikatakan modernisme malah berpaling pada kemunduran. Hal ini disebabkan oleh
krisis peradapan modern bersumber dari penolakan terhadap hakikat ruh dan
peyingkiran ma’nawiyah secara grandual alam kehidupan manusia. Manusia modern
mencoba hidup dengan roti semata, meraka bahkan berupaya “membunuh” Tuhan dan
menyatakan kebebasan dari kehidupan akhirat. Dari sinilah, hanya kita yang
tahu mana yang lebih panting dari beberapa kebutuhan kita, kedewasaan semakin
bertambah manakalah kita semakin dewasa dengan keberadaan Allah swt.
Tasawuf
positif dan dialog kemanusiaan
Untuk memahami makna
tasawuf itu, memang diperlukan pengertian yang mendalam: yakni maknanya dalam
keseluruhan keberagamaan, dan kaitannya dengan penciptaan kehidupan kemanusiaan
yang lebih baik. Inilah yang disebut "tasawuf positif",
sebuah tasawuf yang terbuka kepada kebutuhan-kebutuhan dasar manusia untuk
pertumbuhan, keseimbangan dan harmoni. Dengan tasawuf positif ini, terbuka juga
kemungkinan dialog dengan berbagai ragam spiritualitas agama-agama, maupun
non-agama yang semuanya sebenarnya dewasa ini menghadapi masalah besar bersama
yaitu ancaman kemanusiaan.
Macam-macam tasawuf
telah berkembang mengatasi krisis global kemanusiaan. Karena itu dialog di
antara sesama penganut tasawuf, walaupun dari berbagai agama, bisa
menyumbangkan wacana untuk berbagai krisis kemanusiaan. Apa yang disebut Hans
Kung dengan "kebutuhan akan Etika global" tampaknya bisa dipenuhi
dengan kerja sama agama-agama, dimulai dari pandangan positif terhadap hal yang
paling dasar dari agamanya sendiri-the heart of religion, yaitu hakikat tasawuf
itu sendiri, yang bisa mempertemukan berbagai agama. Dari sini kita bisa
merambah kepada dialog bahkan passing over ke arah agama lain, untuk menggali
dan mendapatkan kekayaan perspektif rohani.
Jika kita mengamati
perkembangan kesadaran mengenai tantangan etika global itu, perkembangan
tasawuf (dalam hal ini "tasawuf antar-agama") memang telah melandasi
usaha-usaha bersama mencari sebuah alternatif atas pandangan kebudayaan modern
yang mekanistik, sekularistik, ke arah cara pandang yang lebih ekologis dan
holistik. Di sini tasawuf bertemu dengan spiritualitas agama-agama (Hinduisme,
Buddhisme, Taoisme, mistik Kristen, new age, spiritualitas dari kearifan lokal
dan seterusnya), yang bersama-sama diharapkan dapat mendorong massa yang kritis
untuk melihat dunia ini secara baru. Inilah yang disebut Marilyn Ferguson
sebagai The Aquarian Conspiracy (konspirasi Aquarius) yang menjadi
pertanda dari kebangkitan tasawuf di awal milenium.
Tasawuf memang
mempunyai filsafat yang begitu mendalam mengenai spiritualitas dan segi-segi
religiusitas keberagamaan, sehingga harapan banyak kalangan mengenai
healthy-spirituality memang bisa diperoleh dari tasawuf positif ini, di tengah
ancaman "keberagamaan yang sakit" yang muncul karena otoritarianisme
dalam beragama-yang dalam tasawuf digambarkan sebagai nafs ammarah bi 'l-su
(nafsu yang mendorong kepada keburukan, Q. 12:53). Tasawuf menjanjikan
penyelamatan. Apalagi di tengah berbagai krisis kehidupan yang serba materialis,
hedonis, sekular, plus kehidupan yang makin sulit secara ekonomis maupun
psikologis itu, tasawuf memberikan obat penawar rohani, yang memberi
daya tahan. Dalam wacana kontemporer, sering dibahas tasawuf sebagai obat
mengatasi krisis kerohanian manusia modern yang telah lepas dari pusat dirinya,
sehingga ia tidak mengenal lagi siapa dirinya, arti dan tujuan dari kehidupan
di dunia ini. Ketidakjelasan atas makna dan tujuan hidup ini memang sangat
tidak mengenakkan, dan membuat penderitaan batin. Maka mata air tasawuf yang
sejuk dan memberikan penyegaran dan penyelamatan pada manusia-manusia yang
terasing itu.
Mewujudkan cita-cita
ini, bukanlah hal yang berlebihan. Apalagi dewasa ini tampak perkembangan yang
menyeluruh dalam ilmu tasawuf dalam hubungan inter-disipliner. Beberapa contoh
bisa disebut di sini, seperti pertemuan tasawuf dengan fisika, dan sains modern
yang holistik, yang membawa kepada kesadaran arti kehadiran manusia dan
tugas-tugas utamanya di muka Bumi-segi yang kini disebut The Anthropic
Principle; pertemuan tasawuf dengan ekologi yang menyadarkan mengenai
pentingnya kesinambungan alam ini dengan keanekaragaman hayatinya, didasarkan
pada paham kesucian alam; pertemuan tasawuf dengan penyembuhan alternatif yang
memberikan kesadaran bahwa masalah kesehatan bukan hanya bersifat fisikal,
tetapi lebih-lebih ruhani: tasawuf memberikan visi keruhanian untuk
kedokteran, pertemuan tasawuf dengan psikologi baru yang menekankan segi
transpersonal; dan lain-lain pertemuan interdisipliner yang intinya sama: semua
menyumbang kesadaran bahwa arti tasawuf dewasa ini bukan hanya pada
kesalehan formal, tetapi justru terutama etika global! Untuk itu tasawuf memang
perlu wujud dalam cara hidup. Cara hidup tasawuf bukan terutama benar dari
formalnya, tetapi bagaimana nilai-nilai tasawuf itu menjadi way of life.
Tasawuf
tanpa substansi
Melihat perkembangan
Islam di Indonesia, belakangan ini memang kelihatan ada pergeseran orientasi
keberagamaan dari kesalehan formal kepada kesalehan sufistik. Persis pada titik
ini "demam tasawuf" yang sedang melanda masyarakat Islam ini
begitu mengkhawatirkan dan perlu mendapat perhatian. Seperti kita tahu,
Islam di Indonesia telah berkembang sedemikian rupa sehingga kini tampak sangat
formalis dalam beragama, seolah tidak ada lagi segi religiusitasnya.
Bentuk-bentuk kesalehan formal dan kesalehan individual begitu menonjol.
Keberagamaan sangat semarak, rumah ibadah berkembang pesat di mana-mana, jumlah
orang naik haji meningkat, tetapi dari segi substansial, sebagai bangsa,
keberagamaan rupanya belum mencerminkan nilai-nilai Islam. Apa yang disebut
megalitarianisme, keadilan, kesadaran humanitarian, hormat kepada hukum, dan
hak-hak asasi manusia, kesadaran lingkungan, kebersihan, penghargaan terhadap
orang yang lemah, sikap inklusif dan pluralis, dan seterusnya, yang jelas
merupakan nilai-nilai dasar agama, ternyata tidak tercermin dalam kehidupan
masyarakat. Padahal kegairahan dalam beragama begitu tinggi, suasana keagamaan
begitu mencolok.
Dari situlah kemudian
kita sangat mengkhawatirkan demam tasawuf belakangan ini. Kalau demam tasawuf
itu hanya kepanjangan saja dari kesalehan, lantas apa maknanya? Antara tasawuf
dan bukan tasawuf tidak ada bedanya: sama-sama kesalehan formal yang tidak
mencerminkan religiusitas! Demam tasawuf mudah-mudahan tidak hanya merupakan
kelanjutan dari kesalehan formal, yang kalau hanya begini, ya ibarat buih dalam
lautan: tidak bermakna apa-apa secara sosial. Maka kita berharap
demam tasawuf ini, tidak merupakan langkah mundur dalam beragama, tetapi
merupakan awal dari perkembangan Islam di Indonesia yang diharapkan dapat
mewujudkan kehidupan keagamaan yang lebih terbuka, inklusif-pluralis, yang
memberi rahmat kepada semua orang. Demam tasawuf semoga merupakan salah satu
pertanda dari tumbuhnya kesadaran baru dalam mencari sumbangan agama-agama
terhadap tantangan etika global di atas. Namun itu semua tergantung dari
kemampuan kita dalam menyajikan tasawuf yang positif, bukan yang eksesif.
Makna
Tasawuf dan Problem Eksistensi menurut Buya Hamka
Dalam lintasan sejarah
pemikiran Islam di Indonesia, Buya Hamka tercatat sebagai salah seorang pemikir
Islam modern yang sangat produktif. Ini ditunjukkan dengan begitu banyak
karyanya dalam bidang keislaman. Yang paling fenomenal dari sejumlah
karyanya itu adalah Tafsir Al-Azhar. Kemampuan Hamka sungguh mengagumkan
mengingat beliau bukanlah seorang sarjana dengan pendidikan formal yang tinggi.
Hamka hanya otodidak. Beliau merepresentasikan peralihan transmisi
(pewarisan ilmu-ilmu keislaman) dari corak tradisional atau meminjam istilah
Azyumardi Azra dari isnad dan silsilah (mata rantai pewarisan) tradisional
menjadi isnad dan silsilah modern (Azra, 2005). Corak tradisional menunjukkan
adanya transmisi melalui pertemuan langsung antara murid dan guru.
Otoritas guru dan sanad
yang menyertainya memiliki nilai yang tinggi dalam pewarisan keilmuan. Pada
gilirannya cenderung menimbulkan kesamaan mazhab dan aliran teologi pada garis
sanad dan silsilah yang ada. Transmisi tradisional meniscayakan mata rantai
isnad dan silsilah yang homogen. Pada transmisi modern, pewarisan itu tidak
mengharuskan pertemuan murid dan guru. Karena itu, isnad dan silsilah
keilmuannya terbentuk dari beberapa sumber berbeda.
Dengan demikian, Buya
Hamka adalah salah satu intelektual Islam yang merepresentasikan pola transmisi
modern. Dalam pandangan Nurcolish Madjid, kelebihan lainnya adalah kesanggupan
Buya menyatakan pikiran dalam ungkapan-ungkapan modern dan
kontemporer. Karena itu, Buya berhasil menjalin komunikasi intelektual
dengan kalangan terpelajar tanpa canggung dan hambatan. Pikiran-pikirannya
diterima di kalangan luas, khususnya umat Islam Indonesia yang sering
diidentifikasi sebagai modernis atau pembaharu (1997: 123-124). Upaya
memperingati kelahiran Buya Hamka yang lahir 17 Februari 1908 bukanlah suatu
pengkultusan terhadapnya, melainkan upaya untuk melihat dan mengkaji kembali
kontribusi dan relevansi pemikirannya dalam kehidupan masyarakat modern.
Problem masyarakat modern terhadap tasawuf
Problem masyarakat modern terhadap tasawuf
Menurut Erich Fromm,
karakter masyarakat modern diwarnai oleh orientasi pasar, di mana keberhasilan
seseorang bergantung pada sejauh mana 'nilai jualnya' di pasar (1999).
Masyarakat (manusia) modern mengalami dirinya sebagai penjual sekaligus sebagai
komoditas untuk dijual di pasar. Maka, penghargaan atas dirinya ditentukan
oleh nilai-nilai yang diakui oleh pasar. Akhirnya, setiap orang didorong berjuang
keras menjadi pekerja sukses dan kaya demi penegasan akan keberhasilannya
itu. Kemakmuran melambangkan nilai jualnya yang tinggi dan dihargai di
pasar. Kemiskinan dimaknai sebagai sebaliknya. Kebaikan, kejujuran, kesetiaan
pada kebenaran dan keadilan dipandang tidak bernilai jika tidak memberikan
manfaat bagi kesuksesan dan kemakmuran. Sejauh kondisi ekonominya tidak makmur,
dia dinilai belum sukses.
Kondisi ini menandakan
masyarakat modern mengalami alienasi (keterasingan). Mereka menilai manusia
tidak lagi berpijak pada kualitas kemanusiaan, melainkan oleh keberhasilannya
dalam mencapai kekayaan materil (Fromm, 1999). Keadaan ini memalingkan
kesadaran manusia sebagai makhluk termulia. Keutamaan dan kemuliaannya menyatu
dengan kekuatan kepribadiannya, bukan bergantung pada sesuatu di luar dirinya.
Karena itu, masyarakat modern mengalami depersonalisasi, kehampaan, dan
ketidakbermaknaan hidup. Eksistensinya bergantung pada pemilikan dan
penguasaan pada simbol kekayaan. Hasrat mendapatkan harta yang berlimpah
melampaui komitmennya terhadap solidaritas sosial. Ini didorong pandangan bahwa
orang banyak harta merupakan manusia unggul. Di tengah alienasi semacam ini
pemikiran Hamka dalam beberapa bukunya, terutama Tasawuf Modern dan Tafsir
Al-Azhar, memberikan suatu pencerahan bagi masyarakat modern.
Tasawuf
dan modernitas
Tasawuf dan modernitas
pada dasarnya sejak awal perkembangan isalam gerakan tasawuf mendapat sambutan
luas di kalangan umat islam. Bahkan penyebaran islam di Idonesa lebih mudah
berkat dakwah menggunakan pendekaatan tasawuf. Penekanan pada sisi esoteric
agama (hal-hal yang bersifat batiniah dari agama) lebih mengunfdang daya tarik
ketimbang eksoteriknya (Formalitas ritual agama). Pada dasarnya sejak awal
perkembangan Islam, gerakan tasawuf mendapat sambutan luas di kalangan umat
Islam. Bahkan penyebaran Islam di Indonesia lebih mudah berkat dakwah
menggunakan pendekatan tasawuf. Penekanan pada sisi esoterik agama (hal-hal
yang bersifat batiniah dari agama) lebih mengundang daya tarik ketimbang eksoteriknya
(formalitas ritual agama).
Salah satunya
disebabkan oleh adanya persinggungan antara sisi esoteric dengan pergulatan
eksistensi manusia. Kecenderungan aniomisme dan dinamisme (kepercayaan terhadap
benda-benda yang mengandung keramat dan ruh-ruh leluhur yang bisa menjadi
perantara kepada Tuhan) misalnya menyiratkan ketertarikan yang besar terhadap
sisi esoteric itu. Factor seperti inilah yang mendorong Hamka meneliti Tasawuf
sebagaimana ia jelaskan dalam bukunya : “Tidaklah dapat diragui lagi bahwasana
tasawuf adalah salah satu pusaka keagamaan terpenting yang mempengaruhi
perasaan dan pikiran kaum muslimin (1981;20). Luasnya pengaruh tasawuf
dalam hampir seluruh episode peradaban islam menandakan tasawuf relevan dengan
kebutuhan umat islam. Menurut Hamka tasawuf ibarat jiwa yang menghidupkan tubuh
dan meruoakan jantung dari keislaman.
Dalam masyarakat modern
fenomena ketertarikan terhadap pengajian bernuansa tasawuf mencerminkan adanya
kebutuhan untuk mengatasi problem alenasi yang diakibatkan modernitas.
Modernitas memberikan kemudahan mhidup tetapi tidak selalu memberikan
kebahagiaan.
E. Peranan Tasawuf dalam Kehidupan Modern
Hakikat tasawuf adalah
mendekatkan diri kepada Allah melalui penyucian diri dan amaliyah-amaliyah
Islam. Dan memang ada beberapa ayat yang memerintahkan untuk menyucikan diri
(tazkiyyah al-nafs) di antaranya: “Sungguh, bahagialah orang yang menyucikan
jiwanya” (Q.S. Asy-syam [91]:9); “Hai jiwa yang tenang, kembalilah kepada
Tuhanmu dengan hati yang tenang lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam
jama’ah hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku” (QS. Al Fajr: 28-30).
Atau ayat yang memerintahkan untuk berserah diri kepada Allah, “Katakanlah:
Sesungguhnya shalatku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan
semesta alam, tiada sekutu bagi-Nya; dan demikian itulah yang diperintahkan
kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tema menyerahkan diri (kepada)
Allah” (QS. Al An’am: 162).
Jadi, fungsi tasawuf
dalam hidup adalah menjadikan manusia berkeperibadian yang shalih dan
berperilaku baik dan mulia serta ibadahnya berkualitas. Mereka yang masuk dalam
sebuah tharekat atau aliran tasawuf dalam mengisi kesehariannya diharuskan
untuk hidup sederhana, jujur, istiqamah dan tawadhu. Semua itu bila
dilihat pada diri Rasulullah SAW, yang pada dasarnya sudah menjelma dalam
kehidupan sehari-harinya. Apalagi di masa remaja Nabi Muhammad SAW dikenal
sebagai manusia yang digelari al-Amin, Shiddiq, Fathanah, Tabligh, Sabar,
Tawakal, Zuhud, dan termasuk berbuat baik terhadap musuh dan lawan yang tak
berbahaya atau yang bisa diajak kembali pada jalan yang benar. Perilaklu hidup
Rasulullah SAW yang ada dalam sejarah kehidupannya merupakan bentuk praktis
dari cara hidup seorang sufi. Jadi, tujuan terpenting dari tasawuf adalah
lahirnya akhlak yang baik dan menjadi orang yang bermanfaat bagi orang
lain.
Dalam kehidupan modern,
tasawuf menjadi obat yang mengatasi krisis kerohanian manusia modern yang telah
lepas dari pusat dirinya, sehingga ia tidak mengenal lagi siapa dirinya, arti
dan tujuan dari hidupnya. Ketidakjelasan atas makna dan tujuan hidup ini
membuat penderitaan batin. Maka lewat spiritualitas Islam lading kering jadi
tersirami air sejuk dan memberikan penyegaran serta mengarahkan hidup lebih
baik dan jelas arah tujuannya.
Penerapan Tasawuf dalam Kehidupan Modern
Manfaat tasawuf
bukannya untuk mengembalikan nilai kerohanian atau lebih dekat pada Allah, tapi
juga bermanfaat dalam berbagai bidang kehidupan manusia modern. Apalagi dewasa
ini tampak perkembangan yang menyeluruh dalam ilmu tasawuf dalam hubungan
inter-disipliner.
Menempuh Jalan Tasawuf
Untuk menjadikan hidup
lebih baik dan ada nuansa sufistiknya, tentu saja harus melakukan latihan
spiritual secara baik, benar, dan berkesinambungan. Karena itu, bagi seorang
penempuh tasawuf awal, langkah pertama yang harus dilakukan adalah :
1.
Taubat. Ia harus menyesal atas
dosa-dosanya yang lalu dan betul-betul tidak berbuat dosa lagi.
2.
Untuk memantapkan taubatnya itu ia
harus zuhud. Ia mulai menjauhkan diri dari dunia materi dan dunia ramai. Ia
mengasingkan diri ke tempat terpencil untuk beribadat, puasa, shalat, membaca
al-Qur’an dan dzikir, sedikit tidur dan banyak beribadat serta yang dicari
hanya kebahagiaan rohani dan kedekatan dengan Allah.
3.
Wara’. Ia menjauhkan dari perbuatan-perbuatan
syubhat. Juga tidak memakan makanan atau minuman yang tidak jelas kedudukan
halal-haramnya.
4.
Faqr. Ia menjalani hidup kefakiran.
Kebutuhan hidupnya hanya sedikit dan ia tidak meminta kecuali hanya untuk dapat
menjalankan kewajiban-kewajiban agamanya.
5.
Sabar. Bukan hanya dalam menjalankan
perintah-perintah Allah yang berat dan menjauhi larangan-larangan-Nya, tapi
juga sabar dalam menerima percobaan-percobaan berat yang ditimpakan Allah
kepadanya. Ia juga sabar dalam menderita.
6.
Tawakal. Ia menyerahkan diri
sebulat-bulatnya kepada kehendak Allah. Ia tidak memikirkan hari esok; baginya
cukup apa yang ada untuk hari ini.
7.
Ridha. Ia tidak menentang cobaan dari
Allah, bahkan ia menerima dengan senang hati. Di dalam hatinya tidak ada
perasaan benci, yang ada hanyalah perasaan senang. Ketika malapetaka turun,
hatinya merasa senang dan di dalamnya bergelora rasa cinta kepada Allah.
Itu semua hanya
latihan untuk memasuki dunia sufistik. Sedangkan untuk memasuki pintu tasawuf,
atau sufi, ada beberapa tahapan yang lebih tinggi dari sekedar membersihkan
atau mengosongkan diri (takhali), mengisinya kembali dengan nilai-nilai
ilahiyah (tahalli) dan kemudian tajalli, atau merasakan manifestasi Ilahi dalam
kehidupan dunia ini.
Selanjutnya, bila ia
memang berada dalam perjalanan “menjadi” sufi, ia akan mengalami mukasyafah
atau penyingkapan sesuatu yang tidak diketahuinya, kemudian menjadi tahu. Dari
tahap ini ia akan berlanjut pada musyahadah, menyadari sekaligus bersaksi bahwa
diri ini tiada apa-apanya. Yang ada dan berada hanya Allah Yang Mahaesa. Tidak
ada yang Ada selain Ia. Seseorang yang berada dalam posisi ini pantas
disebut muwahid (orang yang bertauhid). Posisi ini akan terus berlanjut pada
penyatuan dengan Tuhan. Namun dalam tahap ini kadang tidak setiap orang mampu
menerima pengalaman seorang sufi yang mengalami ektase (fana). Sebab kalimat
yang terlontar ketika dalam keadaan fana adalah kata-kata “janggal” seperti
yang dilontarkan Abu Mansur Al-Hallaj, Abu Yazid Al-Busthomi, Syeikh Siti
Jenar, dan lainnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar