Kamis, 02 Juni 2016

Ushul Fiqh "Ta'arudhul Adillah"



BAB I

PENDAHULUAN

1.1         Latar belakang

Hukum fiqih mempunyai lapangan yang luas, meliputi berbagai peraturan dalam kehidupan yang menyangkut hubungan manusia dengan Khaliqnya dan hubungan manusia dengan sesama manusia dan sesama makhluk. Yang dalam pelaksanaannya juga berkaitan dengan situasi/keadaan tertentu, maka mengetahui landasan hukum yang menjadi pedoman berpikir dalam menentukan hukum tersebut sangatlah penting.
Islam yang diturunkan oleh Allah tidaklah sebuah agama yang tanpa dasar dalam menentukan suatu hukum, ataupun seenaknya sendiri yang dilakukan oleh umat muslim untuk membuat hukum, namun di sana ada aturan-aturan yang mengikat, harus melalui koridor-koridor yang sesuai dengan syari’at. Dasar utama yang digunakan oleh umat Islam dalam menentukan hukum adalah Al-Qur’an dan Hadits, namun seiring munculnya suatu permasalahan yang baru maka dibutuhkan ijtihad dalam penetuan suatu hukum, maka muncul produk hukum qiyas dan ijma’.
Dengan dasar itulah umat Islam menjalankan roda-roda kehidupan dengan syari’at yang telah terlandaskan. Namun ketika seorang mujtahid itu menentukan suatu hukum sesuai dengan koridor syara’ tentunya tidak terlepas dari kelemahan dalam pemahaman. Maka di sini dikenal dengan ta’arudl al-adillah (pertentangan dalil), meskipun kemampuan seseorang terbatas dalam memahami sesuatu namun di sana juga ditetapkan suatu aturan-aturan yang baru untuk menentukan suatu hukum yang mashlahah.

1.2         Rumusan Masalah

Dari latar belakang di atas maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:
1.      Apa pengertian ta’arudh al-adhillah?
2.      Apa saja jenis-jenis ta’arudh al-adhillah?
3.      Apa saja unsur-unsur ta’arudh al-adhillah?
4.      Bagaimana cara mengatasi ta’arudh al-adhillah?

1.3         Tujuan Masalah

1.      Untuk mengetahui pengertian ta’arudh al-adhillah
2.      Untuk mengetahui Apa saja jenis-jenis ta’arudh al-adhillah
3.      Untuk mengetahui Apa saja unsur-unsur ta’arudh al-adhillah
4.      Untuk mengetahui Bagaimana cara mengatasi ta’arudh al-adhillah



BAB II

PEMBAHASAN

2.1         Pengertian Ta’arudh Al-Adhillah

Secara etimologis ta’arudh yaitu saling bertentangan, sedangkan secara terminologis, ta’arudh yaitu:
تقابل الديحبث يخالف أحد هما الآخر.
“Pertentangan dua dalil, antara satu dalil berdeba/bertentangan dengan dalil lainnya.”
Dengan demikian, ta’arudh al-adillah adalah pertentangan antara beberapa dalil tentang suatu masalah tertentu, misalnya dalil yang satu menyatakan bahwa perbuatan tersebut wajib dilakukan, sedangkan dalil lainnya menetapkan sunnah.
Sebenarnya menurut Dr, Wahbah Zulaihi, tidak ada dalil nash yang saling bertentangan, adanya pertentangan dalil syara’ itu hanya menurut pandangan mujtahid, bukan pada hakikatnya. Dalam kerangka pikir inilah, maka ta’arudh mungkin terjadi pada dalil-dalil yang qath’i maupun zanni.[1]
Dalil- dalil yang menjadi kajian ta’arudh al-adillah adalah dalil-dalil yang derajat atau kualitasnya sama, keduanya merupakan hadits-hadits yang shahih, sehingga apabila terdapat pertentangan harus di cari solusinya.
Perbedaan pemahaman yang terjadi dikalangan fuqoha merupakan bagian dari kajian ilmu ushul fiqih. Oleh karena itu, apabila ada perbedaan pandangan karena adanya pertentangan antar dua dalil, hal tersebut adalah wajar. Yang paling utama adalah mencari cara penyelesaian yang ilmiah dan masuk akal.
Pertentangan dapat terjadi dalam hal-hal sebagai berikut :
1.      Pertentangan antara Al-qur’an dan Al-qur’an. Ada yang memandang diantara ayat-ayat Al-qur’an, ada yang saling bertentangan, hal ini terjdai karena keterbatasan akal manusia. Padahal, tidak satu pun ayat yang saling bertentangan, yang ada adalah ayat-ayat Allah saling menafsirkan atau saling menjelaskan.
2.      Pertentanag antara Al-qur’an dan As-sunnah. Ini adalah pandangan bahwa kedudukan Al-qur’an harus sama dengan As-sunnah, padahal tidak demikian. Yang harus ada bahwa As-sunnah menjelaskan Al-qur’an, da Al-qur’an kedudukannya lebih tinggi dari As-sunnah. Oleh sebab itu, tidak mungkin ada pertentangan dari keduanya, kecuali As-sunnah yang kulaitasnya lemah, baik dari segi sanad maupun matannya.
3.      Pertentangan antara As-sunnah dengan As-sunnah.
4.      Pertentangan antara As-sunnah dengan akal.[2]

2.2         Unsur-unsur Ta’arudh Al-Adhillah

Pertentangan hanya dapat terjadi, jika terpenuhi unsur-unsur sebagai berikut.
1.      Bahwa dalil yang bertentangan memiliki tingkatan kekuatan yang sama, dalam arti yang satu tidak lebih kuat dari yang lain, misalnya sama-sama ayat al-qur’an, sama-sama hadits mutawatir, atau sama-sama hadits ahad.
2.      Hukum yang lahir dari kedua dalil tersebut saling bertentangan, misalnya dalil yang satu menunjuk haram, dalil yang satu menunjuk halal.
3.      Dalil yang bertentangan tersebut memiliki sasaran yang sama.
4.      Dalil yang bertentangan memiliki kesamaan pada segi waktu munculnya. Dengan demikian, pertentangan tidak terjadi jika terdapat perbedaan waktu datangnya dalil.
5.      Dalil yang bertentangan memiliki kesamaan baik pada segi materinya maupun pada segi sifatnya. Misalnya, tingkat kejelasan makna kedua dalil tersebut sama-sama pada tingkat mujmal, atau sama-sama pada tingkat zahir.[3]
     

2.3         Jenis-jenis Ta’arudh Al-Adhillah

a.      Ta’arudh antara Al-Qur’an dengan Al-Qur’an. Sebagaimana firman Allah SWT :
وَالْخَيْلَ وَالْبِغَالَ وَالْحَمِيْرَ لِتَرْكَبُوْهَا وَزِيْنَةً وَيَخْلُقُ مَا لَا تَعْلَمُوْنَ
Dan (Dia telah menciptakan) kuda, bagal, dan keledai, untuk kamu tunggangi dan (menjadi) perhiasan. Allah menciptakan apa yang kamu tidak mengetahuinya ... (QS. An-Nahl (16): 8 )
Dalam  ayat di atas dapat di ambill sebuah pengertian bahwa kuda, begal, dan keledai haya diperuntukkan untuk kendaraan saja, sedang ayatberikut bermakna berbeda :
اللهُ الَّذِيْ جَعَلَ لَكُمُ الأَنْعَامَ لِتَرْكَبُوْا مِنْهَا تَأْكُلُوْنَ
Allah-lah yang menjadkan binatan ternak untuk kamu, sebagiannya untuk kamu kendarai dan sebagiannya untuk kamu makan. (QS. Al-Mu’min (40): 79)
b.      Ta’arudh antara sunah dangan sunah.
عَنْ عَاىِيشَةَ وأمِّ سَلَامَةَ رَضِىَ للهُ عَنْهَا اَنَّ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُصْبِحُ جُنُبًا مِنْ جِمَاعٍ ثُمَّ يَغْتَسِلُ وَيَصُوْمُ (متفق عليه)
Dari Aisyah dan Ummi Salamah ra. bahwa Nabi ketika masuk waktu subuh dalam keadaan junub karena melakukan jima kemudian mandi dan menjalankan puasa.
Hadits ini bertentangan dengan hadits lainyang berbunyi :
اِذَا نُوْدِىَ لِلصَّلَاةِ صَلَاةِ الصُّبْحِ وَاَحَدَكُمْ جُنُبًا فَلَا يَصُوْمُ يَوْمَهُ
Bila telah dipanggil untuk sholat subuh, sedang salah satu diantaramu dalam keadaan junub maka jangan puasa di hari itu. (HR. Imam Ahmad dan Ibnu Hibban)
c.       Ta’arudh antara sunah dangan qiyas
Ta’arudh antara sunah dangan qiyas, dapt dilhat dalam contoh tentang ukuran hewan untuk aqiqah berdasarkan sunah, satu kambing untuk putri dan dua kambing untuk putra, berdasarkan hadits :
اَلْعَقِيْقَةُ حَقٌّ عَنِ اْلغُلَامِ شَاتَانِ مُكَا فَىَتَانِ وَعَنِ الْجَارِيَةِ شَاةٌ
"Aqiqah itu sesuatu yang mesti dikerjakan untuk anak laki-laki dua kambing dan untuk anak perempuan seekor kambing". (HR. Asma binti Zayid)
Bagi yang berpegang pada qiyas maka untuk aqiqah ini boleh hewanyang lebih besar, unta lebih dari sapi dan sapi lebih dari kambing, ini hampir pendapat sebagian besar fuqaha. Sedang yang berpegang pada bunyi hadits di atas adalah Imam Malik, bahwa aqiqah itu dilakukan dengan meyambelih kambing.
d.      Ta’arudh antara qiyas dengan qiyas
Contohnya adalah peng-qiyas-an masalah perkawinan Nabi Muhammad saw. terhadap Siti Aisyah, sebagaimana diriwayatkan Bukhari Muslim :
وَعَنْ عَاىِسَةَ قَالَتْ : تَزَوَّجَنِىْ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِسَتِّ سِنِيْنَ وَبَنِىَ بِى وَاَنَابِنْتُ تِسْعِ سِنِيْنَ (رواه مسلم وعن عاىسة)
Dari Aisyah beliau berkata: Rasulullah mengawini saya ketika saya berumur enam tahun dan mengumpuliku ketika saya sebagai gadis yang telah berumur sembila tahun. (HR. Muslim dari Aisyah)
Berdasakan hadits di atas, dapat diambil sebuah hukum kebolehan mengawinkan orang tua terhadap anaknya yang belum dewasa tanpa izin yangbersangkutan yang masih di bawah umur, demikian pendapat Hanafiyah. Sedangkan ulama Syafi’iyah menganggap karena kegadisannya.[4]

2.4         Cara Penyelesaian Ta’arudh Al-Adhillah

Terdapat perbedaan pendapat antara ulama Hanafiyah dan Syafiiyah dalam menyelesaikan ta’arudh al-adhillah. Menurut ulama hanafiyah jika terjadi ta’arudh al-adillah maka penyelesaiannya dapat ditempuh melalui:
a.       Nasakh. Dengan cara pertama ini mujtahid dapat meneliti dalil itu dari aspek waktu turunnya. Jika diketahui, maka dalil yang datang lebih dahulu dapat dinasakh oleh dalil yang datang kemudian.
b.      Tarjih. Dengan cara ini, jika tidak diketahui sejarah turunnya, maka dapat digunakan cara tarjih dengan meneliti mana diantara 2 dalil yang bertentangan itu yang lebih kuat atau (rajih).
c.       Al-jam’u wa al-taufiq. Cara ketiga ini ditempuh jika cara kedua (tarjih) tidak mungkin untuk di lakukan. Caranya dengan mengkompromikan 2 dalil yang bertentangan.
d.      Tasaqut. Jika tidak mungin untuk di kompromikan maka jalan keluarnya adalah tidak menggunakan kedua dalil itu ( tasaqut). Ketika itu mujtahid dapat menggunakan dalil lain yang lebih rendah urutannya. Jika yang bertentangan itu adalah dua ayat maka ia bisa menggunakan sunnah.jika yang bertentangan itu adalah hadits maka mujtahid bisa menggunakan qaul sahabi begitu selanjutnya.
Adapun menurut syafiiyah sebagaimana di jelaskan oleh wahbah zuhaili, cara yang dapat ditempuh untuk menyelesaikan ta’arudh al-adhillah adalah sebagai berikut:
1.      Al-jam’u wa ai-taufiq, yaitu mengkompromikan jika memungkinkan. Alasannya karena mengamalkan kedua dalil itu lebih utama dibandingkan membiarkan salah satunya. Contohnya adalah mengkompromikan ayat 234 surat Al-Baqarah dengan ayat 4 surat At-Talaq sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya yang masing-masing berbicara tentang masa iddah wanita yang dicerai oleh suaminya.
2.      Tarjih, jika cara pertama tidak mungkin untuk dilakukan, maka cara selanjutnya yang ditempuh adalah dengan tarjih.
3.      Nasakh, jika cara kedua (tarjih) tidak juga mungkin untuk dilakukan maka caranya meneliti dari aspek waktu turunnya dari dua dalil tersebut. Maka dalil yang datang terdahulu dapat di nasakh, oleh dalil yang datang kemudian.
4.      Tasaqut, jika cara ketiga (nasakh) juga tidak dapat dilakukan, maka jalan keluarnya adalah tidak menggunakan dua dalil itu dan mujtahid dapat mengguanakan dalil yang lebih rendah kualitasnya.
Jika diperhatikan perbedaan cara yang digunakan oleh hanafiyah dan syafi’iyah sebagaimana telah dijelaskan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa perbedaan keduanya terletak pada urutannya.
1.      Hanafiyah: nasakh, tarjih, al-jam’u wa al-taufiq, dan tasaqut
2.      Syafiiyah: al-jam’u wa al-taufiq, tarjih, nasakh, dan tasaqut[5]

2.5         Contoh Penyelesaian Ta’arudh Al-Adhillah

1.      Contoh Penyelesaian ta’arudh dengan metode al-jam’u wa al-taufiq (menggabungkan dan mengkompromikan)
Surah Al-Baqarah (2): 234 menyebutkan:
وَالَّذِيْنَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا يَتَرَبَّصْنَ بِأَنفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا فَإِذَا بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا فَعَلْنَ فِى أَنفُسِهِنَّ بِالْمَعْرُوْفِ وَالله بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ
Sedangkan dalam ayat 4 surah At-Thalaq (65): 4 menyebutkan:
وَأُوْلَتُ آلْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَن يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ وَمَنْ يَتَّقِ اللهَ يَجْعَلْ لَّهُ , مِنْ أَمْرِهِ يُسْرًا
Ayat pertama tersebut di atas bersifat umum yaitu setiap perempuan yang ditinggal mati suami baik hamil maupun tidak hamil wajib beriddah selama empat bulan sepuluh hari. Dan ayat kedua tersebut juga bermakna umum, yaitu setiap wanita hamil baik ditinggal mati suami atau bercerai hidup wajib ber-iddah sampai melahirkan kandungannya.
Dengan demikian, antara dua ayat tersebut bila dilihat sepintas lalu terdapat pertentangan mengenai iddah wanita hamil yang ditinggal mati suami. Namun perbedaan itu seperti yang dikemukakan oleh Abdul Karim Zaidan, dapat dikompromikan sehingga kedua ayat tersebut dapat difungsikan. Kedua ayat tersebut bila dikompromikan, maka kesimpulan yang diambil adalah bahwa iddah perempuan hamil yang kematian suami adalah masa terpanjang dari dua bentuk iddah, yaitu sampai melahirkan atau sampai empat bulan sepuluh hari. Artinya, jika perempuan itu melahirkan sebelum sampai empat bulan sepuluh hari sejak suaminya meninggal, maka iddahnya menunggu empat bulan sepuluh hari, dan jika sampai empat bulan sepuluh hari perempuan itu belum juga melahirkan, maka iddahnya sampai ia melahirkan kandungannya.[6]
2.      Contoh cara penyelesaian ta’arudh dengan metode al-nasakh
Surah Al-Baqarah (2): 180 menegaskan:
كُتِبَ عَلَيْكُمْ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ إِن تَرَكَ خَيْرًا الْوَصِيَّةُ لِلْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِيْنَ بِالْمَعْرُوْفِ حَقّاً عَلَى الْمُتَّقِيْنَ
“Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma’ruf, (Ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.”
Ayat tersebut di nasakh oleh hadits Rasulullah saw.:
عَنْ أَبِي أُمَامَةَ الْبَاهِلِيِّ قَالَ : سَمِعْتُ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ فِي خُطْبَتِهِ عَامَ حَجَّةِ الْوَدَاعِ إِنَ اللهَ قَدْ أَعْطَى لِكُلِّ ذِي حَقٍّ حَقَّهُ فَلَا وَصِيَّةَ لِوَارِثٍ
“Dari Abu Umamah al-Bahili ia berkata, aku mendengar Rasulullah saw. bersabda ketika khutbah haji wada’ “Sesungguhnya Allah telah memberikan hak kepada setiap orang yang berhak, maka tidak ada wasiat kepada ahli waris.” (HR. Tirmidzi)
3.      Contoh cara penyelesaian ta’arudh dengan metode tarjih
Hadits Rasulullah saw. berikut:
عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَتَّابٍ قَالَ : كَانَ أَبُو هُرَيْرَةَ يَقُوْلُ مَنْ أَصْبَحَ جُنُبًا فَلَا صَوْمَ لَهُ
 “Dari Abdurrahman bin ‘Auf ia berkata, Adalah Abu Hurairah berkata “Barangsiapa yang junub sapai tiba waktu subuh, maka tidaklah ada puasa baginya,”(HR. Ahmad)
Sementara Aisyah meriwayatkan hadits:
عَنْ عَاىِشَةَ وَأُمِّ سَلَمَةَ زَوْجَىِ النَّبِىِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُمَا قَالَتَا كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصْبِحُ جُنُبًا مِنْ جِمَاعٍ غَيْرِ احْتِلَامٍ فِى رَمَضَانَ ثُمَّ يَصُوْمُ.
“Dari Aisyah dan Ummu Salamah istri Nabi Saw. bahwa keduanya berkata “Rasulullah Saw. masih dalam keadaan junub, bukan karena mimpi pada bulan Ramadhan, kemudian beliau berpuasa.” (HR. Malik)
4.      Contoh penyelesaian ta’arudh dengan metode tasaquth al-dalilain
Firman Allah dalam surah Al-Muzammil (73): 20
فَآقْرَءُوا مَا تَيَسَّرَ مِنَ الْقُرْءَانِ
“Maka Bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al-Qur’an
Sedangkan dalam surah Al-A’raf (7): 204 Allah swt. berfirman:
وَإِذَا قُرِىَءالْقُرْءَانُ فَآسْتَمِعُوْالَهُ, وَأَنْصِتُواْلَعَلَّكُمْ تُرْحَمُوْنَ
“Dan apabila dibacakan Al-Qur’an, maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat.”
Ayat pertama secara umum, mewajibkan orang yang shalat, termasuk makmum untuk membaca ayat-ayat Al-Quran yang mudah dibaca, sebab konteks ayat tersebut berbicara dalam konteks shalat. Sedangkan ayat kedua menegaskan kewajiban membaca Al-Quran, sebab yang diperintahkan adalah mendengarkan dan memerhatikan bacaan imam dalam shalat. Mengamalkan kedua ayat tersebut sekaligus tidak dapat terlaksana dengan baik. Artinya membaca Al-Quran sambil mendengarkan dan memerhatikan bacaan imam tidak dapat dilakukan secara bersamaan. Dengan demikian, kedua ayat tersebut mengandung makna umum yang saling bertentangan. Oleh karena itu cara yang dilakukan adalah tawaqquf (tidak mengamalkan kedua dalil) sampai ditemukan dalil lain yang menjelaskan masalah tersebut. Dalam hal ini dicarikan penjelasannya pada hadits yang menjelaskan:
من صلى خلف الإمام فإن قراءة الإمام له قراءة
“Barangsiapa yang shalat di belakang imam, maka sesungguhnya bacaan imam menjadi baginya”. (HR. Jama’ah)[7]

Bab III

PENUTUP

3.1         kesimpulan

Ta’arudl al-Adillaah dapat diartikan sebagai perlawanan antara kandungan salah satu dari dua dalil yang sama derajatnya dengan kandungan dalil yang lain yang mana salah satu diantara dua dalil tersebut menafikan hukum yang ditunjuk oleh dalil yang lainnya. Ta’arudhul Adillah terjadi hika terdapat unsur-unsur. Adapun cara penyelesaian yang dapat dilakukan terdapat dua pendapat, yakni, menurut Hanafiyah yaitu nasakh, tarjih, al-jam’u wa al-taufiq, dan tasaqut. Sedangkan menurut Syafiiyah yaitu al-jam’u wa al-taufiq, tarjih, nasakh, dan tasaqut


DAFTAR PUSTAKA

Shidiq, Saipudin. 2011. Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana.
Saebani, Beni Ahmad. 2008. Ilmu Ushul Fiqh. Bandung: Pustaka Setia.
Mardani. 2013. Ushul Fiqh. Jakarta. Rajawali Pers.
Jumantoro, Totok, dkk. 2009. Kamus Ilmu Ushul Fiqh. Jakarta: Amzah.
Effendi, Satria. 2005. Ushul Fiqh. Jakarta:Kencana.
Koto, Alaiddin. 2009. Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada


[1] Dr. Mardani. Ushul Fiqh. Jakarta: Rajawali Pers. 2013. Hlm 391
[2] Drs. Beni Ahmad Saebani, M.Si. Ilmu Ushul Fiqh. Bandung: Pustaka Setia. 2008. Hlm 209-210
[3] Dr. Mardani. Ushul Fiqh. Jakarta: Rajawali Pers. 2013. Hlm 392
[4] Drs. Totok Jumantoro, M.A., dkk. Kamus Ilmu Ushul Fiqh. Jakarta: Amzah. 2009. Hlm 313-314
[5] Drs. Sapiudin Shidiq, M.A. Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana. 2011. Hlm 234-236
[6] Satria Efendi M. Zein, op. Cit., hlm. 240.
[7] Dr. Mardani. Ushul Fiqh. Jakarta: Rajawali Pers. 2013. Hlm 394-396

Tidak ada komentar:

Posting Komentar