Kamis, 02 Juni 2016

Fiqh Muamalah "Jual Beli"


1. Pengertian jual beli

Secara terminologi fiqih jual beli disebut dengan al-ba’i yang berarti menjual, mengganti, dan menukar sesuatu dengan sesuatu yang lain. Lafal al-ba’i dalam terminologi fiqih terkadang dipakai untuk pengertian lawannya, yaitu lafal al-syira yang berarti membeli. Dengan demikian al-ba’i mengandung arti menjual sekaligus membeli atau jual beli.
Menurut hanifah pengertian jual beli (al-bay) secara defentif yaitu tukar menukar harta benda atu sesuatu yang diinginkan dengan sesuatu yang sepadan melalui cara tertentu yang bermanfaat.
Adapun menurut malikiyah, syafi’iyah, dan hanabilah, bahwa jual beli (al-bay) yaitu tukar menukar harta dengan harta pula dalam bentuk pemindahan milik dan kepemilikan.
Dan menurut pasal 20 ayat 2 kompilasi hukum ekonomi syari’ah, ba’i adalah jual beli antara benda dan benda, atau pertukaran antara benda dengan uang.
Rezeki yang dijanjikan Allah untuk hamba-hambanya di dunia ini harus dicari dengan melakukan sebagai bentuk usaha dan upaya salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan transaksi jual beli  (AL-BAY’) Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan seseorang melakukan riba
Seseorang yang menyerahkan hidupnya untuk memperjuangkan agama Allah disebut juga dengan orang yang telah melakukan teransaksi bisnis dengan Allah dan Allah menjadikan surga sebagai imbalannya..

2. Rukun jual beli

1.      Penjual dan pembeli
Syaratnya adalah :
a.       Berakal, agar tidak teerkecoh. Orang gila atau bodoh tidak sah jual belinya.
b.       Dengan kehendak sendiri (bukan dipaksa).
c.        Tidak mubazir (pemboros)
d.       Balig (berumur 15 tahun ke atas/dewasa), anak kecil tidak sah jual belinya. Adapun anak-anak yang sudah mengerti tetapi belum sampai umur dewasa, menurut pendapat sebagian ulama, mereka diperbolehkan jual beli barang yang kecil-kecil: karena kalau tidak diperbolehkan, sudah tentu menjadi kesulitan dan kesukaran, sedangkan agama islam sekali-kali tidak akan menetapkan peraturan yang mendatangkan kesulitan kepada pemeluknya.
2.       Uang dan benda yang dibeli
Syaratnya :
a.       Suci. Barang najis tidak sah dijual dan tidak boleh dijadikan uang untuk dibelikan, seperti kulit binatang atau bangkai yang belum disamak.
b.       Ada manfaatnya. Tidak boleh menjual sesuatu yang tidak ada manfaatnya. Dilarang pula mengambil tukarannya karena hal itu termasuk dalam arti menyianyiakan (memboroskan) harta yang terlarang dalam kitab suci.
c.        Barang itu dapat diserahkan. Tidak sah menjual suatu barang yang tidak dapat diserahkan kepada yang membeli, misalnya iakn dalam laut, barng rampasan, yang masih berada di tangan yang merampasnya, قش yang sedang dijaminkan, sebab semua itu mengandung budaya atau kecohan.
d.       Barang tersebut merupakan kepunyaan si penjual, kepunyaan yang diwakilinya, atau yang mengusahakan.
e.        Barang tersebut diketahui si penjual dan si pembeli; zat, bentuk, kadar atau ukuran dan sifat-sifatnya jelas sehingga antara keduanya tidak akan terjadi kecoh mengkecoh.
3.       Lafaz ijab dan Kabul
Ijab adalah perkataan penjual, umpamanya, “saya jual barang ini sekian”Kabul adalah ucapan si pembeli, “saya terima dengan harga sekian”. Keterangannya yaitu ayat yang mengatakan bahwa jual beli itu suka sama suka dan juga sabda Rasulullah SAW. Di bawah ini:
انما البيع عن تراض { رواه ابن حبان}
sesungguhnya jual beli itu hanya sah jika suka sama suka.”(riwayat ibnu hibban).
Sedangkan suka sama suka itu tidak dapat diketahui dengan jelas kecuali dengan perkataan, kraena perasaan suka itu bergantung pada hati masing-masing. Ini kebanyakan pendapat ulama.tetapi Nawawi, Mutawali, badawi, dan beberapa ulama yang lain berpendapat bahwa lafaz itu tidak menjadi rukun, hanya menurut adat kebiasaan saja. Apabila menurut adat telah berlaku bahwa hal yang seperti itu sudah dipandang sebagai jual beli, itu saja sudah cukup karena tidak ada suatu dalil yang jelas untuk mewajibkan lafaz. Menurut ulama yang mewajibkan lafaz, lafaz itu diwajibkan memenuhi beberapa syarat:
a.       Keadaan ijab dan Kabul berhubungan. Artinya salah satu dari keduanya pantas menjadi jawaban dari yang lain dan belum berselang lama.
b.      Makna keduanya hedaklah mufakat (sama) walaupun lafz keduanya berlainan.
c.       Keduanya tidak dsangkutkan dengan urusan yang lain, seperti katanya “kalua saya jadi pergi, saya jual barang ini sekian”
d.      Tidak berwaktu, sebab jual beli berwaktu seperti sebulan atau setahun tidak sah.
Apabila rukun atau syartanya kurang, jual beli dianggap tidak sah. Di bawah ini akan diuraikan beberapa contoh jual beli yang tidak sah karena kurang rukun dan syaratnya.
1.      Di Negari kita ini orang telah biasa melakukan pekerjaan mecampurkan hewan betina dengan hewan jantan. Percampuran itu ditetapkan dengan harga yang tertentu untuk sekali campur. Jadi, berarti menjual air mani jantan .ini tidak sah menurut cara jual beli karena tidak diketahui kadarnya, juga tidak dapat diserahkan.
Akan tetapi, dengan jalan dipersewakan dalam masa yang tertentu, menurut mazhab syafi’i dan Hambali tidak ada halangan. Adapun dengan jalan meminjam, maka para ulama bersepakat bahwa tidak ada halangan, bahkan dianjurkan oleh syara.
2.      Menjual suatu barang yang baru di belinya sebelum diterima, karena miliknya belum sempurna. Tanda sesuatu yang baru dibeli dan belum diterimanya adalah, barang itu masih dalam tanggungan si penjual berarti kalau barang itu hilang, si penjual harus mengganti.
3.      Menjual buah-buahan sebelum nyata pantas dimakan (dipetik), karena buah-buahan yang masih kecil sering rusak atau busuk sebelum maang. Hal ini mungkin akan merugikan si pembeli, dan si penjual pun mengambil harganya dengan tidak ada keuntungannya.

3.  Hukum jual beli

Hukum asal jual beli adalah boleh (jaiz). Pada perkembangannya, dalam hukum islam hukum jual beli memiliki beberapa kategori:
1.      Mubah (boleh). Jual beli dibolehkan sesuai dengan hajat dan kebiasaan masyarakat.
Contoh, menjual atau membeli beras dipasar, menjual atau membeli makanan dikantin, menjual atau membeli buku di toko buku, dan sebagainya.
2.      Wajib, yaitu transaksi jual beli yang harus dikerjakan demi kepentingan umat.
Contoh, menjual atau membeli kain untuk menutupi aurat.
3.      Sunnah, apabila jual beli tersebut mendatangkan kesejahteraan bagi orang miskin.
Contoh, menjual atau membeli hasil petani supaya mereka lebih sejahtera.
4.      Haram, yaitu jual beli yang terlarang.
Contoh, menjual atau membeli minuman keras atau obat-obatan terlarang, menjual atau membeli barang yang sudah dibeli orang lain, menjual atau membeli dengan menipu atau mengurangi timbangan.

4. Macam-macam jual beli

Jual beli dapat ditinjau dari beberapa segi. Ditinjau dari segi hukumnya, jual beli ada dua macam, jual beli yang sah menurut hukum,dari segi obyek jual beli dan segi pelaku jual beli.
Ditinjau dari segi benda yang dijadikan objek jual beli dapat dikemukakan pendapat imam taqiyuddin bahwa jual beli dibagi menjadi dua bentuk.
1.       Jual beli benda yang kelihatan ialah pada waktu melakukan akad jual beli benda atau barang yang diperjualbelikan ada didepan penjual dan pembeli. Hal ini lazim dilakukan masyarakat banyak dan boleh dilakukan,seperti membeli beras di pasar.
2.       Jual beli yang disebutkan sifat-sifatnya dalam perjanjian ialah jual beli salam (pesanan).Menurut kebiasaan para pedagang,salam adalah untuk jual beli yang tidak tunai (kontan),salam pada awalnya berarti meminjamkan barang atau sesuatu yang seimbang dengan harga tertentu,maksudnya ialah perjanjian yang penyerahan barang-barangnya ditangguhkan hingga masa tertentu,sebagai imbalan harga yang telah ditetapkan ketika akad.
3.       Jual beli benda yang tidak ada serta tidak dapat dilihat ialah jual beli yang dilarang oleh agama islam karena barangnya tidak tentu atau masih gelap sehingga dikhwatirkan barang tersebut diperoleh dari curian atau barang titipan yang akibatnya dapat menimbulkan kerugian salah satu pihak. Sementara itu, merugikan dan menghancurkan harta benda seseorang tidak diperbolehkan, seperti yang dijelaskan oleh muhammada syarbini khatib(t.t:6) bahwa penjualan bawang merah dan wortel serta yang lainnya yang berada di dalam tanah adalah batal sebab hal tersebut merupakan perbuatan ghoror,
Jual beli yang dilarang dan batal hukumnya adalah sebagai berikut:
1.      Barang yang dihukumkan najis oleh agama,seperti anjing, babi,berhala,bangkai, dan khamar.
2.      Jual beli sperma (mani) hewan,seperti mengawinkan seekor domba jantan dengan betina  agar dapat memperoleh turunan.jual beli ini haram hukumnya.
3.      Jual beli anak binatang yang masih berada dalam perut induknya.jual beli seperti ini dilarang,karena barangnya belum ada dan tidak tampak,
4.      Jual beli dengan muhaqallah. Baqalah berarti tanah, sawah, dan kebun, maksud muqallah disini ialah menjual tanam-tanaman yang masih diladang atau disawah. Hal ini dilarang agama sebab ada persangkaan riba di dalamnya.
5.      Jual beli dengan muqadharah, yaitu menjual buah-buahan yang belum pantas untuk dipanen, seperti menjual rambutan yang masih hijau, mangga yang masih kecil-kecil, dan yang lainnya.
6.      Jual beli dengan muammassah, yaitu jual beli secara sentuh menyentuh,misalkan seorang menyentuhsehelas kain dengan tangannya diwaktu malam atau siang hari, maka orang yang menyentuh berarti telah membeli kain tersebut.hal ini dilarang karena mengandung tipuan dan kemungkinan akan menimbulkan kerugian bagi salah satu pihak.
7.      Jual beli dengan munabadzah,yaitu jual beli secara lempar-melempar,seperti seseorang berkata “lemparkan kepadaku apa yang ada padamu” nanti kulemparkan padamuapa yang ada padaku”. Setelah terjadi lempar melempar, terjadilah jualbeli.hal ini dilarang karena mengandung tipuan dan tidak ada ijab dan Kabul.
8.      Jual beli dengan muzabanah, menjual buah yang basah dengan buah yang kering,seperti menjual padi kering,seperti menjual padi kering dengan bayaran padi basah,sedangkan ukurannya dengan dikilo sehingga akan merugi pemilik padi kering.
9.      Menentukan dua harga untuk satu barang yang diperjual belikan.menurut syafiipenjualan seperti mengandung dua arti,yang pertama seperti seseorang berkata “kujual buku ini seharga $ 10,- dengan tunai atau $ 15,- dengan cara utang”. Arti kedua ialah seperti seseorangberkata. “aku jual buku ini kepadamu dengan syarat kamu kamu harus menjual tasmu padaku.”
10.  Jual beli dengan syarat (iwadh mahjul), jual beli seperti ini, hampir sama dengan jual beli dengan menentukan dua harga, hanya saja dini dianggapsebagai syarat, seperti seseorang berkata; ‘’aku jaul rumahku yang butut ini kepadamu dengan syarat kamu mau menjual mobilmu padaku.” Lebih jelasnya, jual beli ini sama dengan jual beli dengan dua harga arti yang kedua menurut syafi’i.
11.  Jual beli gharar, yaitu jual beli yang samar sehingga ada kemungkinan terjadi penipuan, seperti penjualan ikan yang masih di kolam atau menjual kacang tanah yang atasnya kelihatan bagus tetapi bawahnya jelek. Penjualan seperti ini dilarang, karena Rasulullah SAW. Bersabda;

لا تشترواالسمك في الما فانه غرر {روه احمد}
“janganlah kamu membeliikan di dalam air, karena jual beli seperti itu termasuk gharar, alias nipu”{ Riwayat Ahmad}.
12.  Jual beli dengan mengecualikan sebagian benda yang dijual, seperti seseorang  yang menjual sesuatu dari benda itu ada yang dikecualikan salah satu bagiannya,  misalnya A menjual seliruh pohon-pohon yang ada dikebunnya, kecuali pohon pisang. Jual beli ini sah sebab yang dikecualikannya jelas. Namun, bila yang dikecualikannya tidak jelas, jual beli tersebut batal.
13.  Larangan menjual makanan hingga dua kali ditakar. Hal  ini menunjukkan kurangnya saling percaya antara penjual dan pembeli.

5.  Beberapa jual beli yang sah, tetapi dilarang

Mengenai jual beli yang tidak diizinkan oleh agama, di sini akan diuraikan beberapa cara saja sebagai contoh perbandingan bagi yang lainnya. Yang menjadi pokok sebab timbulnya larangan adalah: (1) Menyakiti si penjual, pembeli, atau orang lain; (2) menyempitkan gerakan pasaran; (3) merusak ketenteraman umum.
1.      Membeli barang dengan harga yang lebih mahal daripada harga pasar, sedangkan dia tidak menginginkan barang itu, tetapi semata-mata supaya orang lain tidak dapat membeli barang itu. Dalam hadits diterangkan bahwa jual beli yang demikian itu dilarang.
2.      Membeli barang yang sudah dibeli orang lain yang masih dalam masa khiyar.
Sabda Rasulullah Saw.:
عَنْ اَبِيْ هُرَيْرَةَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يَبِعْ بَعْضُكُمْ عَلى بَيْعَ بَعْضٍ. متفق عليه
Dari Abu Hurairah, “Rasulullah Saw. Telah bersabda, ‘Janganlah di antara kamu menjual sesuatu yang sudah dibeli oleh orang lain’.” (sepakat ahli hadits)
3.      Mencegat orang-orang yang datang dari desa dan di luar kota, lalu membeli barangnya sebelum mereka sampai ke pasar dan sewaktu mereka belum mengetahui harga pasar.
Sabda Rasulullah Saw.:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَاتَتَلَقُّواالرُّكْبَانَ.متفق عليه
Dari Ibnu Abbas, “Rasulullah Saw. Bersabda, ‘Janganlah kamu mencegat orang-orang yang akan ke pasar di jalan sebelum mereka sampai di pasar’.” (sepakat ahli hadits)
Hal ini tidak diperbolehkan karena dapat merugikan orang desa yang datang, dan mengecewakan gerakan pemasaran karena barang tersebut tidak sampai di pasar.
4.      Membeli barang untuk ditahan agar dapat dijual dengan harga yang lebih mahal, sedangkan masyarakat umum memerlukan barang itu. Hal ini dilarang karena dapat merusak ketenteraman umum.
Sabda Rasulullah Saw.:
لَايَحْتَكِرُ اِلَّاخَاطِىٌ.رواه مسلم
“Tidak ada orang-orang yang menahan barang kecuali orang yang durhaka {salah).” (Riwayat Muslim)
5.      Menjual suatu barang yang berguna, tetapi kemudian dijadikan alat maksiat oleh yang membelinya.
Firman Allah Swt.:
QS. Al-Maidah: 21
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” (QS. Al-Maidah: 21)
6.      Jual beli yang disertai tipuan. Berarti dalam urusan jual beli itu ada tipun, baik dari pihak pembeli maupun dari penjual, pada barang ataupun ukuran dan timbangannya.
عَنْ اَبِىْ هُرَيْرَةَ اَنَّ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَرَّعَلى صُبْرَةِ طَعَامٍ فَاَدْخَلَ يَدَهُ فِيْهَا فَنَا لَتْ اَصَابِعُهُ بَلَلًا فَقَالَ مَاهذَايَاصَاحِبَ الطَّعَامٍ قَالَ اَصَابَتْهُ اسَّمَاءُ يَارَسُوْلَ اللهِ قَالَ اَفَلَا جَعَلْتَهُ فَوْقَ الطَّعَامِ كَىْ يَرَاهُ النَّاسُ مَنْ غَشَّ فَلَيْسَ مِنِّىْ . رواه مسلم
Dalam hadits tersebut jelaslah bahwa menipu itu haram, berdosa besar. Semua ulama sepakat bahwa peerbuatan itu sangat tercela.
Jual beli tersebut dipandang sah, sedangkan hukumnya haram karena kaidah ulama fiqh berikut ini: Apabila larangan dalam urusan muamalat itu karena hal yang di luar urusan muamalat, larangan itu tidak menghalangi sahnya akad.

6. Khiyar dalam Jual Beli

Khiyar artinya “boleh memilih antara dua, meneruskan akad jual beli atau mengurungkan (menarik kembali, tidak jadi jual beli)”. Diadakan khiyar oleh syara’ agar kedua orang yang berjual beli dapat memikirkan kemaslahatan masing-masing lebih jauh, supaya tidak akan terjadi penyesalan di kemudian hari lantaran merasa tertipu.
Khiyar ada tiga macam
1.      Khiyar majelis
Artinya si pembeli dan si penjual boleh memilih antara dua perkara tadi selama keduanya masih tetap berada di tempat jual beli. Khiyar majelis diperbolehkan dalam segala macam jual beli.
Sabda Rasulullah Saw.:
اَلْبَيْعُا نِ بِالْخِيَارِمَالَمْ يَتَفَرَّقَا .رواه الشيخان
“Dua orang yang berjual beli boleh memilih (akan meneruskan jual beli mereka atau tidak) selama keduanya belum bercerai dari tempat akad.” (Riwayat Bukhari dan Muslim)
Habislah khiyar majelis apabila,
a.       Keduanya memilih akan meneruskan akad. Jika salah seorang dari keduanya memilih akan meneruskan akad, habislah khiyar dari pihaknya, tetapi hak yang lain masih tetap.
b.      Keduanya terpisah dari tempat jual beli. Arti berpisah ialah menurut kebiasaan. Apabila kebiasaan telah menghukum bahwa keadaan keduanya sudah berpisah, tetaplah jual beli antara keduanya. Kalau kebiasaan mengatakan belum berpisah, masih terbukalah pintu khiyar antara keduanya. Kalau keduanya berselisih – umpamanya seorang mengatakan sudah berpisah, sedangkan yang lain mengatakan belum, yang mengatakan belum hendaklah dibenarkan dengan sumpahnya, karena yang asalh belum berpisah.
2.    Khiyar syarat
Artinya khiyar itu dijadikan syarat sewaktu akad oleh keduanya atau oleh salah seorang, seperti kata si penjual, “Saya jual barang ini dengan harga sekian dengan syarat khiyar dalam tiga hari atau kurang dari tiga hari.”
Khiyar syarat boleh dilakukan dalam segala macam jual beli, kecuali barang yang wajib diterima di tempat jula beli, seperti barang-barang riba. Masa khiyar syarat paling lama hanya tiga hari tiga malam, terhitung dari waktu akad.
Sabda Rasulullah Saw.:
اَنْتَ بِالْخِيَارِفِىْ كُلِّ سِلْعَةٍابْتَعْتَهَاثَلَاثَ لَيَالٍ.رواه البيهقى واببن ماجه
“Engkau boleh khiyar pada segala barang yang telah engkau beli selama tiga hari tiga malam.” (Riwayat Baihaqi dan Ibnu Majah)
Barang yang terjual itu sewaktu dalam masa khiyar kepunyaan orang yang mensyaratkan khiyar, kalau yang khiyar hanya salah seorang dari mereka. Tetapi kalau kedua-duanya mensyaratkan khiyar, maka barang itu tidak dipunyai oleh seorang pun dari keduanya. Jika jual beli sudah tetap akan diteruskan, baerulah diketahui bahwa barang itu kepunyaan pembeli mulai dari masa akad. Tetapi kalau jual beli tidak diteruskan, barang itu tetap kepunyaan si penjual. Untuk meneruskan jual beli atau tidaknya, hendaklah dengan lafaz yang jelas menunjukkan terus atau tidaknya jual beli.
3.      Khiyar ‘aibi (cacat)
Artinya si pembeli boleh mengembalikan barang yang dibelinya apabila pada barang itu terdapat suatu cacat yang mengurangi kualitas, barang itu, atau mengurangi harganya, sedangkan biasanya barang yang seperti itu baik; dan sewaktu akad cacatnya itu sudah ada, tetapi si pembeli tidak tahu; atau terjadi sesudah akad, yaitu sebelum diterimanya. Keterangan adalah ijma’ (sepakat ulama mujtahid).
روت عاىشة رضى الله عنهاان رجلا ابتاع غلاما فاقام عنده ماشاء الله ثم وجدبه عيبا فخا صمه الى النبى صلى الله عليه وسلم فرده عليه.رواه أحمدوأبوداودوالترمذى
Aisyah telah meriwayatkan, “Bahwasanya seorang laki-laki telah membeli seorang budak, budak itu tinggal beberapa lama dengan dia, kemudian kedapatan bahwa budak itu ada cacatnya, lalu dia adukan perkaranya kepada Rasulullah Saw. Keputusan drai beliau, budak itu dikembalikan kepada si penjual. (Riwayat Ahmad, Abu Dawud, dan Tirmizi)
Adapun cacat yang terjadi sesudah akad sebelum barang diterima, maka barang yang dijual sebelum diterima oleh si pembeli masih dalam tanggungan si penjual. Kalau barang ada di tangan si pembeli, boleh dikembalikan serta diminta kembali uangnya. Akan tetapi, kalau barang itu tidak ada lagi; umpamanya yang dibeli itu kambing, sedangkan kambingnya sudah mati; atau yang dibeli tanah, sedangkan tanah itu sudah diwakafkannya, sesudah itu si pembeli baru mengetahui bahwa yang dibelinya itu ada cacatnya, maka dia berhak meminta ganti kerugian saja sebanyak kekurangan harga barang sebab adanya cacat itu.
Barang yang bercacat itu hendaklah segera dikembalikan, karena melalaikan hal ini berarti rida pada barang yang bercacat, kecuali kalau ada halangan. Yang dimaksud dengan “segera” di sini adalah menurut kebiasaan yang berlaku. Kalau si penjual tidak ada (sedang bepergian), hendaklah jangan dipakai lagi. Jika dia pakai juga, hilanglah haknya untuk mengembalikan barang itu, dan hak meminta ganti rugi pun hilang pula.
Barang yang dikembalikan karena cacat tadi, apabila ada tambahannya sewaktu di tangan si pembeli, sedangkan tambahannya itu tidak dapat dipoisahkan – misalnya binatang yang dibeli itu tadinya kurus, sekarang sudah gemuk – maka tambahan itu hendaklah dikembalikan juga bersama binatangnya; berarti si pembeli tidak boleh meminta ganti rugi.
 Akan tetapi, apabila tambahan itu dapat dipisahkan – misalnya anaknya, atau sewanya yang menghasilkan di tangan si pembeli – maka tambahan itu menjadi keuntungan si pembeli, berarti tidak ikut dikembalikan. Sebaliknya kalau tambahan itu terjadi dari uang (harga barang), maka menjadi keuntungan si penjual. Berarti hasil uang itu semasa di tangan si penjual, kalau jual beli tidak diteruskan, tetap menjadi hak si penjual (tidak ikut bersama uang harga yang dikembalikan kepada si pembeli). Hukum ini berlaku kalau barang dikembalikan sesudah diterima.
Sabda junjungan kita, telah diriwayatkan bahwa seorang laki-laki telah mengadukan keadaannya kepada Rasulullah Saw. Ia mengadu bahwa dia telah membeli barang yang bercacat. Hasil pertimbangan beliau, barang itu dikembalikan kepada si penjual. Setelah laki-laki itu mendengan keputusan tersebut, lalu dia bertanya, “Barang itu sudah saya pakai beberapa lama, apakah saya harus membayar sewanya apa tidak?
Jawab RasulullahSaw.:
اَلْخَرَاجُ بِالضَّمَا نِ. رواهالترمذى
“Buah (hasil) sesuatu adalah tanggungan si pembeli.” (Riwayat Tirmizi)
Jadi, apabila barang itu hilang dari tangannya, dia harus mengganti, karena dia yang bertanggung jawab atas barang yang berada di tangannya.

7. Membatalkan Jual Beli

Apabila terjadi penyesalan di antara dua orang yang berjual beli, disunatkan atas yang lain membatalkan akad jual beli antara keduanya.
Sabda Rasulullah Saw,
عَنْ اَبِىْ هُرَيْرَةَ قَالَ النَّبِىُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ اَقَالَ نَادِمًااَقَالَ اللهُ عَثْرَتَهُ . رواه البزار
Abu Hurairah telah menceritakan hadits berikut, bahwa Nabi Saw. Telah bersabda, “Barang siapa mencabut jual belinya terhadap orang yang menyesal, maka Allah akan mencabut kejatuhannya (kerugian ditangannya).” (Riwayat Bazzari)

8. Berselisih dalam Jual Beli

Penjual dan pembeli dalam melakukan jual beli hendaknya berlaku jujur, berterus terang dan mengatakan yang sebenarnya, maka jangan berdusta dan jangan bersumpah dusta, sebab sumpah dan dusta menghilangkan berkah jual beli. Rasulullah Saw. Bersabda:
اَ لْحَلْفَ مَنْفَقَةُ لِلسِّلْعَةِ هَمْحِقَةٌ لِلْبَرَ كَةِ.رواه البخارى مسلم
“Bersumpah dapat mempercepat lakunya dagangan, tetapi dapat menghilangkan berkah” (Riwayat Bukhari dan Muslim).
Para pedagang jujur, benar, dan sesuai dengan ajaran Islam dalam berdagangnya didekatkan dengan para nabi, para sahabat dan orang-orang yang mati syahid pada hari qiamat. Rasulullah Saw. Bersabda:
اَلتَّاجِرُالصَّدُوْقُ اَلْأَمِيْنُ مَعَ النَّبِيِيْنَ وَالصِّدِّيْقِيْنَ وَالشُّهَدَاءِ .رواه الترمذى
“Pedagang yang jujur dan terpercaya dikumpulkan bersama para nabi, sahabta-sahabat dan orang-orang yang mati syahid” (Riwayat Tirmidzi).
Bila antara penjual dan pembeli beselisih pendapat dalam suatu benda yang diperjualbelikan, maka yang dibenarkan ialah kata-kata yang punya barang, bila antara keduanya tidak ada saksi dan bukti lainnya. Rasulullah Saw. Bersabda:
إِذَااحْتَلَفَ البَيْعَانِ وَلَيْسَ بَيْنَهُمَا بَيِّنَةٌ فَهُوَ مَايَقُوْلُ رَبُّ السِّلْعَةِ أَوْ يَتَنَارَكَانَ .رواه أ بوداود
“Bila penjual dan pembeli berselisih dan antara keduanya tak ada saksi, maka yang dibenarkan adalah perkataan yang punya barang atau dibatalkan” (Riwayat Abu Dawud)

9. Badan Perantara

Badan perantara dalam jual beli disebut pula simsar, yaitu seseorang yang menjualkan barang orang lain atas dasar bahwa seseorang itu akan diberi upah oleh yang punya barang sesuai dengan usahanya.
Dalam satu keterangan dijelaskan:
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رض فِى مَعْنَى السِمْسَارِ قَالَ: لاَبَأْسَ أَنْ يَقُوْلُ بِعْ هَذَاالثَّوْبَ بِكَذَافَمَازَادَفَهُوَلَكَ.رواه االبخارى
“Dari Ibnu Abbas r.a., dalam perkara simsar ia berkata tidak apa-apa, kalau seseorang berkata juallah kain ini dengan harga sekian, lebih dari penjualan harga itu adalah untuk engkau” (Riwayat Bukhari).
“Kelebihan” yang dinyatakan dalam keterangan di atas adalah
a.       Harga yang lebih dari harga yang telah ditetapkan penjual barang itu, dan
b.      Kelebihan barang setelah dijual menurut harga yang telah ditentukan oleh pemilik barang tersebut.
Orang yang menjadi simsar dinamakan pula komisioner, makelar, atau agen, tergantung persyaratan-persyaratan atau ketentuan-ketentuan menurut Hukum Dagang yang berlaku dewasa ini. Walaupun namanya simsar, komisioner, dan lain-lain, namun mereka bertugas sebagai badan perantara dalam menjualkan barang-barang dagangan, baik atas namanya sendiri maupun atas nama perusahaan yang memiliki barang.
Berdagang secara simsar dibolehkan berdasarkan agama asal dalam pelaksanaannya tidak terjadi penipuan dari yang satu terhadap yang lainnya.

10. Lelang (Muzayadah)

Penjualan dengan cara lelang disebut muzayadah. Penjualan seperti ini dibolehkan oleh agama Islam karena dijelaskan dalam satu keterangan:
عَنْ أَنَسٍ رض قَالَ بَاعَ النَّبِىُّ ص م حِلْسًا وَقَدَحًا قَالَ مَنْ يَشْتَرِىْ هَذّاالْحِلْسَ وَالْقَدَحَ فَقَاالَ رَجُلٌ أَخَذْتُهُمَا بِدِرْهَمٍ فَقَالَ النَّبِىُّ مَنْ يَزِيْدُفَأَعْطَا هُ رَجُلٌ دِرْهَمَيْنِ فَبَاعَهُمَامِنْهُ  .روواه الترمذى
“Dari Anas r.a., ia berkata, Rasulullah Saw. Menjual sebuah pelana dan sebuah mangkok air dengan berkata siapa yang mau membeli pelana dan mangkok ini? Seorang laki-laki menyahut; aku bersedia membelinya seharga satu dirham. Lalu Nabi berkata lagi, siapa yang berani menambahi? Maka diberi dua dirham oleh seorang laki-laki kepada beliau, lalu dijuallah kedua benda itu kepada laki-laki tadi” (Riwayat Tirmizi).

11.   Penjualan Tanah

Bila seseorang menjual sebidang tanah atau lapangan, sedangkan di dalamnya terdapat pohon-pohon, rumah-rumah, dan yang lainnya, menurut Mazhab Syafi’i semua bangunan dan pohon-pohonan yang berada di atas tanah itu turut terjual, tetapi tidak termasuk di dalamnya barang-barang yang dapat diambil sekaligus, seperti padi, jagung, bawang, dan tanaman sejenis lainnya. Menurut Syafi’i, boleh menjual tanah yang sedang ditanami, seseorang menjual sebidang tanah di dalamnya ada benih dan tanamannya. Kalau menjual tanah itu tidak dipisahkan dari penjualan benih dan tanaman itu, penjualan itu batal sebab tidak jelas, apakah hanya tanah saja atau tanah dengan tanaman dan biji-bijiannya. Yang termasuk dalam penjualan sebidang tanah adalah.
1.      Batu yang ada di dalamnya;
2.      Barang-barang yang terpendam di dalamnya, seperti simpanan barang-barang berharga.
Dalam penjualan sebidang kebun, yang termasuk di dalamnya ialah:
1.      Pohon-pohonannya;
2.      Bangunan-bangunan yang ada di dalamnya, kecuali barang-barang yang dikecualikan dalam akad dan disepakati dua belah pihak;
3.      Pekarangan yang melingkari;
4.      Tanahnya.
Bila menjual rumah, yang termasuk di dalamnya ialah:
1.      Tanah tempat mendirikan, sebab rumah tidak akan berdiri tanpa adanya tanah, hal ini bila tidak dikecualikan dalam akad;
2.      Apa yang ada dalam pekarangannya, seperti kakus, tempat mandi dan yang lainnya.
Bila seseorang menjual seekor hewan, yang termasuk di dalamnya ialah:
1.      Sandal/sepatunya,
2.      Pelananya.
Bila yang dijual itu pohon-pohon yang sedang berbuah, buahnya merupakan milik penjual, kecuali pembeli mensyaratkan agar buahnya itu untuk dia. Rasulullah Saw. Bersabda:
مَنِ ابْتَاعَ نَخْلًا بَعْدَأًنْ تُؤَبَّرَفَثَمْرَتُهَا لِلَّذِى بَاعَهَا إِلَّاأَنْ يَشْتَرِطَ الْمُبْتَاعُ وَمَنِ ابْتَاعَ عَبْدًافَمَالُهْ لِلَّذِى بَاعَهُ إِلَّاأَنْ يَشْتَرِطَ الْمُبْتَاعُ  .رواه البخارى ومسلم
“Siapa yang membeli sepohon kurma sesudah dikawinkan, maka buahnya adalah milik penjual, kecuali bila pembeli mensyaratkan buat dia, dan siapa yang membeli seorang budak, maka harta kekayaan budak itu adalah untuk yang menjual, kecuali pembeli mensyaratkannya” (Riwayat Bukhari dan Muslim).

12.   Buah-buahan yang rusak setelah dijual

Buah-buahan yang sudah dijual kemudian rusak atau hilang dan yang lain-lainnya, maka kerusakan itu tanggungan penjual, bukan tanggungan pembeli. Hal ini sebagaimana disabdakan oleh Rasulullah Saw.
لَوْبِعْتَ مِنْ أَخِيْكَ ثَمَرًافَاَصَابَهُ جَاىِحَةٌ فَلَا يَحِلُّ لَكَ أَنْ تَأْ خُذَمِنْهُ شَيْىَا بِمَاتَأْخُذُمَالَ أَخِيْكَ بِغَيْرِحَقٍرواه مسلم
“Jika engkau telah menjual buah-buahan kepada saudaramu, lalu buah-buahan itu rusak (busuk), maka haram bagimu mengambil sesuatu darinya, apakah kamu mau mengambil harta saudaramu dengan tidak hak” (Riwayat Muslim).



BAB III

PENUTUP

a.      Kesimpulan

Jual beli merupakan usaha atau suatu pekerjaan yang menghasilkan barang atau uang, dengan jaul beli seseorang dapat menjual dan membeli barang sesuai dengan kebutuhannya dengan cara menukarkan barang dengan barang atau barang dengan uang. Agama islam membolehkan jual beli yang bersifat wajib, mubah, sunnah dan islampun melarang jual beli yang haram yaitu terlarang. Seorang penjual harus mengetahui rukun dan syaratnya dan harus memiliki sifat yang telah ditauladani oleh Baginda Nabi Muhammad SAW ketika beliau berjualan.




DAFTAR PUSTAKA

Al-Ghazali, Imam. 2002. Benang Tipis antara Halal dan Haram. Surabaya: Putra Pelajar
Ibdalsyah, dan Hendri Tanjung. 2014. Fiqh Muamalah: Konsep dan Praktek. Bogor: Azam Dunya Bogor.
Mardani. 2012. Fiqh Ekonomi Syariah. Jakarta: Kencana.
Rasjid, Sulaiman. 2012. Fqih Islam.   Bandung: Sinar Baru Algensindo.
Suhendi, Hendi. Fiqh Muamalah. Jakarta: Rajawali Pers.

4 komentar: