Kamis, 02 Juni 2016

Memahami Peradaban Islam Masa Tiga Kerajaan Besar

BAB I

PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang

Islam yang dibawa Nabi Muhammad Saw. Hingga sekarang sudah memasuki abad ke-15. Sepanjang waktu tersebut umat Islam menganut ajaran dan mengembangkannya hingga melahirkn kebudayaan Islam. Kebudayaan Islam pada zaman klasik mencapai puncak kejayaan, memasuku zaman pertengahan kebudayaan Islam melemah drastis. Memasuki zaman modern kebudayaan Islam sedikit demi sedikit mengalami perkembangan.
Setelah khilafah Abbasiyah di Baghdad runtuh akibat serangan tentara Mongol, kekuatan politik Islam mengalami kemunduran secara drastic. Wilayah kekuasaannya tercabik-cabik dalam beberapa kerajaan kecil yang satu sama lain bahkan saling memerangi. Bebeapa peninggalan budaya dan peradaban Islam banyak yang hancur akibat serangan bangsa Mongol itu. Namun, kemalangan tidak berhenti sampai disitu. Timurlenk, sebagaimana telah disebut, menghancurkan pusat-pusat kekuasaan Islam yang lain.
Keadaan politik umat Islam secara keseluruhan baru mengalami kemajuan kembali setelah muncul dan berkembangnya tiga kerajaan besar: Kerajaan Usmani di Turki, Kerajaan Mughal di India, dan Kerajaan Safawi di Persia. Kerajaan Usmani, di samping yang pertama berdiri, juga yang terbesar dan paling lama bertahan disbanding dua kerajaan lainnya.[1]
Bagi mahasiswa calon guru agama perlu mengetahui perkembangan kebudayaan Islam. Agar dapat menyadari bahwa maju mundurnya kebudayaan Islam terdapat faktor-faktor yang mempengaruhinya. Selain itu mempelajari Islam dari aspek kebudayaannya akan menjadi bekal bagi guru, karena di sekolah dan madrasah terdapat mata pelajaran Sejarah Kebudayaan Islam (tarikh).[2]

1.2  Rumusan Masalah

Dalam pembahasan makalah ini kami akan membahas beberapa rumusan masalah, yaitu:
1).    Bagaimana perkembangan kebudayaan Islam pada zaman Kerajaan Usmani di Turki?
2).    Bagaimana perkembangan kebudayaan Islam pada zaman Kerajaan Safawi di Persia?
3).    Bagaimana perkembangan kebudayaan Islam pada zaman Kerajaan Mughal di Mughal?

1.3  Tujuan Masalah

1).    Agar pembaca mengetahui bagaimana perkembangan kebudayaan Islam pada zaman Kerajaan Usmani di Turki.
2).    Agar pembaca mengetahui bagaimana perkembangan kebudayaan Islam pada zaman Kerajaan Safawi di Persia?
3).    Agar pembaca mengetahui bagaimana perkembangan kebudayaan Islam pada zaman Kerajaan Mughal di Mughal?


BAB II

PEMBAHASAN

2.1  Kerajaan Usmani di Turki

2.1.1        Asal-usul Kerajaan Usmani

Khalifah Usmaniyah berawal dari sebuah kabilah pengembara yang mendiami wilayah Asia Tengah, yaitu Turkistan. Mereka termasuk suku Kayi. Ketika bangsa Mongol menyerang dunia Islam, pemimpin suku Kayi, Sulaiman Syah, mengajak anggota sukunya untuk menghindari serbuan bangsa Mongol tersebut dan lari ke arah barat. Di Asia kecil mereka kemudian menetap dan mendapatkan wilayah padang rumput yang luas dan subur. Setelah merasa aman dari ancaman serangan Mongol, Sulaiman kemudian memasuki wilayah Syiria, namun musibah menimpanya. Pasalnya, ia justru meninggal dihantam banjir ketika menyebrang sungai Euphrat di dekat kota Aleppo pada tahun 1228 M.
Kawanan pengembara itu lalu terpecah menjadi dua kelompok: mereka yang ingin kembali ke daerah asalnya dan mereka yang ingin meneruskan perjalanan ke Asia kecil. Kelompok kedua yang berjumlah 400 keluarga sepakat mengangkat Erthogrul sebagai pemimpin mereka. Kemudian, mereka mengabdikan diri kepada Sultan Alaudin II dari Turki Saljuk Rum.
Pada waktu itu, Alaudin sedang berhadapan dengan kekaisaran Byzantium. Atas bantuan Erthogrul, pasukannya berhasil memperoleh kemenangan. Sebagai hadiahnya, Sultan memberikan satu wilayah yang berbatasan dengan Byzantium. Dengan senang hati, Erthogrul menerima hadiah itu lalu membangun dan memperluas wilayah itu. Pada tahun 1280 M, Erthogrul meninggal dan kedudukannya sebagai pemimpin digantikan oleh anaknya bernama Usman.
Sementara itu, tentara Mongol tidak henti-hentinya melakukan serangan ke berbagai wilayah. Serangan ke wilayah saljuk rum tidak dapat ditahan oleh Alaudin sampai ia terbunuh. Usman menggunakan kesempatan ini untuk memproklamasikan sebuah kekuasaan baru pada tahun 1300 M dengan nama Kerajaan Usmani. Dari wilayah Anatolia Tengah, Usman berhasil memperluas wilayah sampai ke tiga benua, yakni Asia Kecil, Eropa Timur, Eropa Selatan, dan Afrika Utara.[3]

2.1.2        Para Penguasa Kerajaan Usmani

Para penguasa Kerajaan Usmani yang pada awalnya bergelar padishah, lalu sultan, dan kemudian ditambah lagi dengan khalifah, berjumlah 38 orang.[4] Tujuan dipakainya gelar khalifah dimungkinkan untuk meningkatkan kewibawaan kekuasaan sultan. Sejak Usman hingga Sulaeman Yang Agung, dapat dikatakan bahwa para sultan terdiri atas orang-orang yang kuat dan dapat mengembangkan kerajaannya hingga ke Eropa dan Afrika. Di masa Sulaeman itulah Turki Usmani mencapai puncak kejayaannya. Setelah masa itu, mereka berkuasa dalam keadaan lemah, ditambah lagi dengan banyaknya serangan balik dari Negara-negara Eropa yang sudah merasa kuat.
Dalam sekian lama kekuasaannya, sejarah Usmani dapat dibagi menjadi lima periode.
1).    Periode Pertama (1299-1402 M)
Pada periode ini dimulai dari awal berdirinya, perluasan pertama sampai kehancuran sementara oleh serangan Timurlenk. Sultannya pada periode ini adalah Usman, Orkhan, Murad, dan Bayazid. Pada masa Usman, dilakukan perluasan wilayah Islam dengan merebut wilayah yang dikuasai Byzantium. Bersama anaknya, Orkhan, ia menyerang wilayah barat Byzantium hingga ke Sela Bosporus. Pada tahun 1324 M, Usman dapat menguasai Bursa, sebuah kota di tepi Laut Marmara. Penduduk kota itu berduyun-duyun masuk agama Islam. Setelah Orkhan menggantikan Usman, ia memindahkan ibu kota dari Iskisyihar ke Bursa.
Orkhan juga dapat menundukkan ilayah Turkeman, Nicaca, Nicomedia, Scutari, Karasi, dan dapat mengontrol wilayah antara Teluk Edremit dan Cyzicus yang dapat mencapai Laut Marmara. Sultan Murad meluaskan wilayah sampai ke Eropa serta menaklukkan wilayah Asia Kecil sampai ke Ankara. Demikian juga Adrianopel berhasil ditundukkannya. Namun, ia lalu terbunuh oleh tentara Serbia pada tahun 1389 M. Bayazid, putra Murad, tampil menggantikannya.
Bayazid menaklukan wilayah yang belum ditundukkan sultan-sultan sebelumnya. Di masanya, terjadi perang besar antara pasukan Usmani melawan tentara sekutu Eropa yang dimenangkan oleh pasukan Usmani. Bayazid dapa menghancurkan tentara Salib pada tahun 1396 M. Pasukan Bayazid juga harus menghadapi tentara Mongol di bawah komando Timurlenk. Hanya saja, karena jumlah pasukannya tidak seimbang, ia pun dikalahkan dan ditawan oleh Timurlenk dan wafat pada tahun 1402 M.
2).    Periode Kedua (1402-1566 M)
Periode ini ditandai dengan restorasi kerajaan dan cepatnya pertumbuhan dan perluasannya yang terbesar. Sultan-sultan pada periode ini adalah Muhammad I, Murad II, Muhammad al-Fatih, Bayazid II, Salim I, dan Sulaiman al-Qanuni.[5] Periode  ini dimulai dengan masa transisi karena perebutan kekuasaan di antara anak-anak Bayazid I, yang diakhiri oleh kemenangan Muhammad terhadap saudara-saudaranya. Ia pada awalnya berkuasa atas Anatolia saja pada 1403-1413. Sementara saudaranya, Sulaiman, berkuasa atas Rumelia pada 1403-1413. Mulai tahun 1413, Muhammad menguasai seluruh wilayah warisan ayahnya.
Periode ini juga ditandai dengan perbaikan-perbaikan sehingga Kerajaan Usmani kembali kuat dan berkembang secara mengagumkan. Hal ini tampak dari kenyataan bahwa Constantinopel dapat dikuasai pada 1453 oleh Muhammad al-Fatih dan Mesir pada 1517 oleh Sultan Salim I. Maa keemasan terjadi pada masa pemerintahan Sultan Sulaiman Yang Agung. Periode kedua ini berakhir dengan wafatnya Sultan Sulaiman.
3).    Periode Ketiga (1566-1703)
Kerajaan Usmani hanya mampu bertahan agar tidak hancur tanpa adanya kemajuan dalam perluasan wilayah. Mereka bahkan sudah mulai kehilangan daerah Hongaria.
4).    Periode Keempat (1703-1839)
Kerajaan Usmani berada dalam masa kemunduran dengan wilayah yang semakin menyempit. Sedikit demi sedikit, kekuaaan berpindah kepada para pengikutnya yang berusaha meminta otonomi, atau bahkan ingin melepaskan diri dari pemerintah pusat.
5).    Periode Kelima (1839-1924)
Periode ini dilanjutkan dengan pembaruan di bidang politik, administrasi, dan kebudayan, hingga Kerajaan Usmani jatuh pada tahun 1924 dan berganti menjadi republic di bawah mustafa Kemal Ataturk. Pada masa kelima inilah timbul berbagai pemikiran dan gerakan untuk memajukan Kerajaan Usmani, seperti Tanzimat, Usmani Muda, pan-turanisme, pan-turkisme, pan-islamisme, dan nasionalisme Turki. [6]

2.1.3        Modernisasi Kerajaan Usmani

Pada abad ke-17, Kerajaan Usmani sudah mengadakan modernisasi dalam keadaan terbatas. Modernisasi itu dilanjutkan pada abad-abad berikutnya. Yang dimaksud dengan modernisasi ialah usaha perbaikan atas pemikiran maupun gerakan unuk mengubah paham, adat istiadat, tatanan-tatanan lama, dan lainnya agar sesuai dengan situasi baru sebagai hasil yang dicapai oleh ilmu dan teknologi modern. Penemuan-penemuan baru di bidang ilmu dan teknologi menyebabkan tidak berfungsinya tatanan lama. Pertemuan antara dunia Islam dan Barat yang membawa kepada pemikiran-pemikiran baru menyebabkan sibuknya para pemimpin Islam untuk memecahkan masalah tersebut di dunia Islam agar tidak terkungkung dalam situasi kemunduran dan diharapkan dapat mencapai kemajuan.

2.1.4        Kemajuan Kerajaan Usmani

Kemajuan dan perkembangan ekspansi kerajaan Usmani yang demikian luas dan berlangsung dengan cepat itu diikuti pula oleh kemajuan-kemajuan dalam bidang-bidang kehidupan yang lain. Di antaranya yaitu sebagai berikut.
1).    Bidang Kemiliteran dan Perluasan Wilayah
Para pemimpin kerajaan Usmani pada masa-masa pertama, adalah orang-orang yang kuat, sehingga kerajaan dapat melakukan ekspansi dengan cepat dan luas. Meskipun demikian, kemajuan Kerajaan Usmani mencapai masa keemasannya itu, bukan semata-mata karena keunggulan politik para pemimpinnya. Masih banyak faktor lain yang mendukung keberhasilan ekspansi itu. Yang terpenting di antaranya adalah keberanian, keterampilan, ketangguhan, dan kekuatan militernya yang sanggup bertempur kapan dan dimana saja.[7]
Keberhasilan Khilafah Turki Usmani memperluas kekuasaan ke berbagai wilayah yang begitu luas ditentukan oleh kekuatan militernya yang tangguh.
Kekuatan militer Turki terletak pada mesin perangnya bernama Jenisarry. Mereka adalah tentara professional yang direkru dari orang-orang bukan Turki, bahkan ada juga yang berasal dari kalangan anak-anak Kristen yang masih kecil yang diasramakan dan dibina dalam suasana Islam untuk dijadikan prajurit. Makin lama mereka makin menjadi kekuatan yang diperhitungkan karena memiliki disiplin yang tinggi.
Selain Jenisarry ada lagi prajurit dari tentara kaum feudal yang dikirim kepada pemerintah pusat. Pasukan ini disebut tentara Thaujiah. Angkatan laut pun dibenahi karena ia mempunyai peranan yang besar dalam perjalanan ekspansi Turki Usmani. Pada abad ke-16, angkatan laut Turki Usmani mencapai puncak kejayaannya. Faktor utama yang mendorong kemajuan di bidang militer adalah tabiat bangsa Turki itu sendiri yang bersifat militer, berdisiplin, dan patuh terhadap peraturan. Tabiat ini merupakan tabiat alami yang mereka warisi dari nenek moyang mereka di Asia Tengah.[8]
2).    Bidang Pemerintahan
Bentuk kerajaan Turki Utsmani didasarkan kepada sistem feodal yang ditiru langsung dari kerajaan Bizantium. Dalam sistem pemerintahan, sultan adalah penguasa tertinggi dalam bidang agama, politik, pemerintahan bahkan masalah-masalah perekonomian. Pelantikan sultan mengikuti sistem feodal. Pada mulanya sultan-sultan ini terdiri dari amir-amir yang menjadi tuan tanah pada masa kerajaan Saljuk yang berpusat di Konya. Orkhan adalah salah seorang dari amir-amir itu yang kemudian memproklamasikan dirinya sebagai seorang sultan. Setelah itu, Bayazid I juga bergelar dengan  “Sultan ar­-Rum”,pemimpin negara Islam. Murad II misalnya telah menggunakan gelar  “Sultan al-Barrain wal Bahrain”(sultan di dua benua dan lautan). Murad I menggelari dirinya dengan  “Khalifah Allah di Bumi”setelah berhasil menaklukkan Andrianopel. Orang kedua yang berkuasa adalah  wazirbesar. la adalah ketua badan penasihat kesultanan yang memba­wahi semua  wazirdan  amir.Sebagai simbol kekuasaannya, ia diangkat sebagai wakil sultan. Di samping itu, di setiap daerah ada seorang  qadi, pimpinan agama yang mempunyai kekuasaan untuk menjalankan hukum pidana dan perdata menurut syariat Islam berda sarkan Alquran dan aI-Hadis. Sejak masa pemerintahan Salim I dibentuk pula Majelis  Syeikhul Islam  (Mufti) yang berkedudukan di Istambul. Tugas utamanya adalah memberikan fatwa dalam semua permasalahan agama, termasuk keputusan perang terhadap sesama muslim. Misalnya, Mufti Sultan Salim I membenarkan peperangan menentang orang Islam Mesir. Mufti juga diberi hak untuk melantik pegawai-pegawai istana di ibu kota Istambul (Badri Yatim, 2003:137).
3).    Bidang Keagamaan dan Budaya
Kerajaan Turki Usmani memiliki keterikatan yang kuat dengan syariat Islam sehingga fatwa ulama menjadi hukum yang berlaku. Karena itu, ulama mempunyai tempat tersendiri dan berperan besar dalam kerajaan dan masyarakat. Kehidupan keagamaan merupakan bagian dari sistem sosial dan politik Turki Utsmani. Ulama mempunyai kedudukan tinggi dalam kehidupan negara dan masyarakat. Mufti sebagai pejabat tinggi agama, tanpa legitimasi Mufti keputusan hukum kerajaan tidak dapat berjalan. Pada masa ini kehidupan tarekat berkembang pesat.  Al-Bektasidan  al-Maulawimerupakan dua ajaran tarekat yang paling besar. Al-Bektasimerupakan tarekat yang sangat berpengaruh terhadap tentara Yeniseri, sedangkan  al-Maulawiberpengaruh besar di kalangan penguasa sebagai imbangan dari kelompok  Yeniseri  Bektasi  (Badri Yatim, 2003:137).[9]
4).    Bidang Intelektual
Kemajuan bidang intelektual Turki Utsmani tampaknya tidak lebih menonjol dibandingkan bidang politik dan kemiliteran. Aspek-aspek intelektual yang dicapai adalah:
a).    Terdapat dua buah surat kabar yang muncul pada masa ini, yaitu:
1.      Berita harian  Takvini Veka (1831)  dan,
2.      Jurnal  Tasviri Efkyar (1862)  dan  Terjumani Ahval (1860).
b).    Pendidikan, terjadi transformasi pendidikan dengan mendirikan sekolah-sekolah (madrasah) dasar, menengah (1861) dan perguruan tinggi (1869), fakultas kedokteran dan fakultas hukum serta mengirimkan para pelajar yang berprestasi ke Prancis untuk melanjutkan studinya yang sebelumnya tidak pernah terjadi. Ulama dan sejumlah karyanya yang dihasilkan pada masa Turki Utsmani:
1.      Mustafa Ali (1541-1599 M), ahli sejarah, karyanya antara lain  Kunh al-Akhbar,  tentang sejarah dunia sejak Adam As sampai Yesus, sejarah Islam awal hingga Turki Utsmani;
2.      Evliya Chelebi (1614-1682 M), ahli ilmu sosial, karyanya antara lain Seyabat Name (Buku Pedoman Perjalanan), tentang masyarakat dan ekonomi Turki Utsmani;
3.      Arifi (w. 1561 M), sejarawan istana, karyanya antara lain  Shah-name-I-Al-I Osman, cerita tentang keluarga raja-raja Utsmani (Jaih Mubarok, 2004: 115).
Sastra dan Bahasa, muncunya sastrawan-sastrawan dengan hasil karyanya setelah menamatkan studi di luar negeri seperti Ibra­him Shinasi pendiri surat kabar Tasviri E t‘kyar.  Di antara karya yang dihasilkannya adalah  The Poets Wedding (komedi). Salah seorang peng­ikutnya adalah Namik Kemal dengan karyanya Fatherland  atau  Silistria.  Di samping itu, terdapat Ahmad Midhat dengan Entertaining Tales  dan Mehmed Taufiq dengan Year in Istanbul.
5).    Bidang Seni dan Arsitektur
Di samping kemajuan politik, kemajuan seni arsitektur juga berkembang pesat. Terlihat dari adanya bangunan-bangunan besar yang bernilai artistik, terutama bangunan masjid. Salah satunya adalah Masjid Aya Sophia yang dulunya adalah sebuah gereja. Masjid ini oleh Muhammad al-Fatih diperindah, di mana dinding bagian dalamnya dihiasi oleh tulisan indah yang terdiri atas asmaul husna, nama Rasulullah, dan nama Khulafaur Rasyidin. Sementara, di luar masjid dibangun beberapa menara yang menjulang tinggi.
Masjid lainnya yang juga sangat artistik adalah Masjid Raya Sultan Muhammad al-Fatih dan Masjid Abu Ayyub al-Anshary. Masjid yang terakhir ini biasa digunakan sebagai tempat pelantikan sultan-sultan Usmani yang baru. Tidak jauh dari tempat ini juga terdapat tempat pemakaman sultan dan para pembesar Kerajaan Usmani. Al-Qanuni semakin mempercantik kota Istanbul dan kota-kota lainnya.
Arsitek andalannya bernama Sinan, yang berhasil menyelesaikan sebanyak 235 bangunan. Karya Sinan yang mahabesar adalah Masjid Raya Sulaimaniyah, sebuah nama yang diambil dari nama Sultan Sulaiman. Masjid ini mengungguli kemewahan Gereja Sana Sophia. Bahkan, kubahnya jauh lebih besar daripada Katedral Justianus. Mihrab dan dinding bagian dalamnya pun dihiasi dengan ubin indah gaya Persia. Seni arsitektur Turki merupakan perpaduan antara kebudayaan Byzantium dan kebudayaan Turki.

2.1.5        Kemunduran Kerajaan Usmani

Setelah Sultan Sulaiman Al-Qanuni wafat (1566 M), kerajaan Turki Usmani mulai memasuki fase kemundurannya. Akan tetapi, sebagai sebuah kerajaan yang sangat besar dan kuat, kemunduran itu tidak langsung terlihat. Sultan Sulaiman Al-Qanuni diganti oleh Salim II (1566-1573 M). Di masa pemerintahannya, terjadi pertempuran antara armada laut Kerajaan Usmani dengan armada laut Kristen yang terdiri dari angkatan laut Spanyol, angkatan laut Bundukia, angkatan laut Sri Paus, dan sebagai kapal para pendeta Malta yang di pimpin Don Juan dari Spanyol. Pertempuran itu terjadi di Selat Liponto (Yunani). Dalam pertempuran ini, Turki Usmani mengalamai kekalahan yang mengakibatkan Tunisia dapat direbut oleh musuh. Baru pada masa Sultan berikutnya, Sultan Murad III, pada tahun 1575 M Tunisia dapat direbut kembali.
Walaupun Sultan Murad III (1574-1595 M) berkepribadian jelek dan suka memperturutkan hawa nafsunya, Kerajaan Usmani pada masanya berhasil menyerbu Kaukasus dan menguasai Tiflis di laut Hitam (1577 M), merampas kembali Tabriz, ibukota Safawi, menundukan Georgia, menncampuri urusan dalam negari Polandia dan mengalahkan gubernur Bosnia pada tahun 1593 M.[10] Namun, kehidupan moral sultan yang jelek menyebabkan timbulnya kekacauan dalam negeri. Kekacawan ini makin menjadi-jadi dengan tampilnya Sultan Muhammad III (1595-1603 M), peganti Murad III, yang membunuh semua saudara laki-lakinya berjumlah 19 orang dan menenggelamkan janda-janda ayahnya sejumlah 10 orang demi kepentingan pribadi.[11]  Dalam situasi yang baik itu, Australia berhasil memukul Kerajaan Usmani. Meskipun Sultan Ahmad I (1603-1617 M), pengganti Muhammad III, sempat bangkit untuk meperbaiki situasi dalam negeri, tetapi kejayaan Kerajaan Usmani di mata bangsa-bangsa Eropa sudah  mulai memudar. Sesudah Sultan Ahmad I (1603-1617 M), situasi semakin  memburuk dengan naiknya Mustafa I ( masa pemerintahannya yang pertama (1617-1618 M) dan kedua, (1622-1623 M). Karena gejolak politik dalam negeri tidak bisa diatasinya, Syaikh Al-Islam mengeluarkan fatwa agar ia turun dari tahta dan diganti oleh Usman II (1618-1622 M). Namun, yang tersebut terakhir ini juga tidak mampu memperbaiki keadaan. Dalam situasi demikian,bangsa Persia bangkit mengadakan perlawanan merebut wilayahnya kembali. Kerajaan Usmani sendiri tidak mampu berbuat banyak dan terpaksa melepaskan wilayah Persia tersebut. Langkah-langkah perebaikan kerajaan mulai diusahakan oleh Sultan Murad IV (1623-1640 M). Pertama-tama, ia mencoba menyusun dan menertibkan pemerintahan. Pasukkan Jenissari yang pernah membangkang Usman II dapat dikuasainya. Akan tetapi, masa pemerintahannya berakhir sebelum ia berhasil menjernihkan situasi negara secara keseluruhan.
Banyak faktor yang menyebabkan kerajaan Usmani itu mengalami kemunduran, di antaranya adalah:
1).    Wilayah Kekuasaan yang Sangat Luas
Administrasi pemerintahan bagi suatu Negara yanmg amat luas wilayahnya sangat rumit dan kompleks, sementara administrasi pemerintahan Kerajaan Usmani tidak beres. Di pihak lain, para penguasa sangat berambisi menguasai sehingga mereka terlibat perang terus-menerus dengan berbagai bangsa. Hal ini tentu menyedot banyak potensi yang seharusnya dapat digunakan untuk membangun Negara.
2).    Heterogenitas Penduduk
Sebagian Kerajaan besar, Turki Usmani menguasai wilayah yang amat luas, mencakup Asia Kecil, Amerika, Irak, Syiria, Hejaz, dan Yaman. Di asia; Mesir, India, Tunis, dan Alzajair di Afrika; dan Bulgaria, Yunani, Yugoslavia, Albania, Hongaria, dan Rumania di Eropa. Wilayah yang luas itu didiami oleh penduduk yang beragam dan tersebar di wilayah yang luas itu, diperlukan suatu organisasi pemerintahan yang teratur. Tanpa didukung oleh administrasi yang baik, Kerajaan Usmani hanya akan menanggung beban yang berat akibat heterogenitas tersebut. Perbedaan bangsa dan Agama acap kali melatarbelakangi terjadinya pemberontakan dan peperangan.
3).    Kelemahan Para Penguasa
Sepeninggal Sulaiman al-Qanuni, Kerajaan Usmani diperintah oleh Sultan-sultan yang lemah, baik dalam kepribadian terutama dalam kepemimpinannya. Akibatnya, pemerintah menjadi kacau, kekacauan itu tidak pernah dapat diatasi secara sempurna bahkan semakin lama menjadi semakin ramah.
4).    Budaya Pungli
Pungli merupakan perbuatan yang sudah umum terjadi dalam Kerajaan Usmani. Setiap jabatan yang hendak diraih oleh seseorang harus “dibayar” dengan sogokan kepada orang yang berhak memberikan jabatan tersebut. Berjangkitnya budaya Pungli ini mengakibatkan dekandensi moral yang merajalela yang membuat pejabat semakin rapuh.
5).    Pemberontakan Tentara Jenissari
Kemajuan ekspansi kerajaan Usmani banyak ditentukan oleh kuatnya tentara janissary. Dengan demikian, dapat dibayangkan bagaimana kalau tentara ini memberontak. Pemberontakan tentara janissary terjadi sebanyak empat kali, yaitu pada tahun 1525 M, 1632 M, 1727 M, dan 1826 M.
6).    Merosotnya Ekonomi
Akibat perang yang tak pernah berhenti, perekonomian Negara merosot. Pendapatan berkurang, sementara belanja Negara sangat besar termasuk untuk biaya perang.
7).    Terjadinya Stagnasi dalam Lapangan Ilmu dan Teknologi
Kerajaan Usmani kurang berhasil dalam pengembangan Ilmu dan teknologi, karena hanya mengutamakan pengembangan kekuatan militer. Kemajuan militer yang tidak diimbangi oleh kemajuan ilmu dan teknologi menyebabkan kerajaan ini tidak sanggup menghadapi persenjataan musuh dari Eropa yang lebih maju. Sebagaimana yang disebutkan pada bab terdahulu, tidak terjadinya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam Kerajaan Usmani, ada kaitan dengan perkembangan metode berpikir tradisional di kalangan umat Islam. Hal itu juga sejalan dengan menurunnya semangat berpikir bebas akibat tidak berkembangnya pemikiran filsafat sejak masa Al-Ghazali.
Demikianlah proses kemunduran kerajaan besar Usmani. Pada masa selanjutnya, di periode modern, kelemahan kerajaan ini menyebabkan kekuatan-kekuatan Eropa tanpa segan-segan menjajah dan menduduki daerah-daerah Muslim yang dulunya berada di bawah kekuasaan Kerajaan Usmani, terutama di Timur Tengah dan Afrika Utara.[12]

2.2  Kerajaan Safawi di Persia

2.2.1        Asal-usul Kerajaan Safawi

Kerajaan ini di dirikan oleh syah isma’il I (907 H/1501 M) di tabzir, iran ketika itu masih bernama persia ibukota kerajaan Alaq Koyunlu adalah kerajaan suku turki diwilayah iran bagian barat. Kerajaan Safawi berasal dari gerakan tarekat yang berdiri di Ardabil, sebuah kota di Azerbaijan. Tarekat ini diberi nama Safawiyah karena pendirinya bernama Syaikh Safiyudin Ishaq (1252-1334 M). kerajaan Safawi beraliran Syiah dan dapat dianggap sebagai peletak dasar terbentuknya Negara Iran dewasa ini.
Syaikh Safiyudin Ishaq bukan hanya seorang guru tarekat. Ia juga sebagai pedagang dan politisi. Namun, ia kurang berambisi terhadap kekuasaan politik karena bidang politik bukanlah perhatian utamanya. Ia lebih tertarik menjadi pelindung kaum miskin dan orang-orang lemah. Selain itu, ia memiliki misi, antara lain, mengislamkan orang Mongol, penganut agama Budha. Ia sendiri adalah orang Sunni. Popularitasnya tidak terbatas hanya di wilayah Ardabil. Jaringan para murid dan wakilnya terbentang dari wilayah Oxus sampai teluk Persia, dan dari wilayah Kaukasus sampai Mesir.
Pada mulanya gerakan tarekat Safawiyah bertujuan memerangi orang-orang ingkar dan ahli bid’ah. Gerakan Safawiyah makin lama makin besar pengaruhnya dan makin banyak pengikutny. Suatu ajaran yang dipegang secara fanatic biasanya kerapkali menimbulkan keinginan di kalangan pengikutnya untuk berkuasa. Oleh karena itu, lama-kelamaan murid-murid tarekat Safawiyah berubah menjadi tentara yang teratur, fanatic dalam kepercayaan, dan menentang mazhab yang bukan Syiah.[13]

2.2.2        Para Penguasa Kerajaan Safawi

Syah Ismail I adalah tokoh yang memprakarsai berdirinya Kerajaan Safawi di Persia. Ia berkuasa selama 23 tahun, di mana pada sepuluh tahun pertama berhasil memperluas kekuasaannya. Wilayahnya meliputi India, Kaspia, Gurgan Yazd, Diyat Bakr, Persia, Sirwan, dan Khurasan. Keberhasilan dalm memperluas kekuasaannya ini tidak dapat dilepaskan dari peran pasukan militernya yang bernama Qizilbash.
Ia juga menerapkan paham Syiah sebagai mazhab resmi Negara. Keputusannya ini tentu saja mengundang reaksi penentangan ideologis dari para ulama Sunni. Namun, ia tetap bergeming, malahan tidak segan-segan bertidak keras. Terbukti, di Baghdad dan Heart, misalnya, ia membunuh secara kejam para ulama dan sastrawan Sunni yang menolak ideology Syiah. Akibatnya, hingga beberapa decade kemudian para penganut Sunni seperti di Khurasan harus menyembunyikan identitas Sunni mereka atau mempraktikan tradisi Sunni secara sembunyi-sembunyi.
Sejatinya, Ismail I adalah orang yang sangat berani dan berbakat. Ambisi politiknya mendorong untuk menguasai daerah-daerah lain sampai Turki Usmani. Namun, dalam peperangan ia dikalahkan oleh tentara Turki, yang lebih unggul dalam hal kemiliteran, pada tahun 1514 M di Chaldiran, dekat Tabriz. Bahkan, Turki Usmani di bawah pimpinan Sultan Salim dapat menduduki Tabriz. Hanya saja, Kerajaan Safawi akhirnya terselamatkan menyusul kembalin sang Sultan ke negerinya karena terjadi perpecahan di kalangan militer Turki.
Kekalahan ini membuat Ismail I frustasi. Ia lalu senang menyendiri, menempuh kehidupan hura-hura dan berburu. Para penggantinya, yakni Tahmasp, Ismail II, dan Khudabanda, ternyata tidak mampu mengembalikan kebesaran kerajaan. Hal ini baru dapat dipulihkan saat kerajaan diperintah oleh Syah Abbas I. Secara politik, ia mampu mengatasi kemelut di dalam negeri yang mengganggu stabilitas Negara dan berhasil merebut kembali wilayah-wilayah yang pernah direbut oleh penguasa lain.
Popularitas Abbas I ditopang oleh sikap keagamaannya. Ia terkenal sebagai seorang Syiah yang saleh yang dibuktikan dari seringnya ia berziarah ke tempat suci Qum dan Mayhad. Di samping itu, ia pun melakukan perubahan struktur birokrasi dalam lembaga politik keagamaan. Abbas I telah berhasil menciptakan kemajuan pesat dalam bidang keagamaan, yang membuat ideology Syiah semkin dikukuhkan.[14]

2.2.3        Struktur Pemerintahan Kerajaan Safawi

Secara administratif, struktur organisasi pemerintahan kerajaan safawi dapat dibagi menjadi dua yaitu secara horizontal dan vertikal. Secara horizontal, pembagian tersebut didasarkan pada garis kesukuan/kedaerahan, sedangkan secara vertikal mencakup dua jenis yaitu istana (dargh) dan sekretariat negara (divan atau mamalik). Dalam hal kesukuan, qizilbasy, suku keturunan turki yang menjadi tulang punggung lahirnya kerajaan safawi, telah menjelma menjadi kelompok bangsawan militer pemerintahan safawi. Para kepala suku dari turki ini menjabat gubernur yang berasal dari militer di sebagian besar propinsi kerjaan safawi selama periode awal sebagaimana diketahui, basis dan sumber kekuasaan politik pemerintahan kerajaan safawi adalah sistem militer kaum qizilbasy. Mereka bukan saja menempati kedudukan strategis dalam bidang militer, tetapi juga menduduki jabatan pemerintahan yang sangat penting. Kekuasan politik dari sistem militer kaum qizilbasy ini berlangsung sampai masa pemerintahan syah muhammad khudabanda (986H/1578M-996H/1588M).
Pada periode awal kerajaan safawi selain bangsa turki sebagai asal keturunan kaum qizilbasy yang sangat berkuasa, keturunan tajik juga telah menempati kedudukan yang sangat strategis dalam pemerintahan. Bahkan dari latar belakang keturunan ini bukan saja telah lahir para menteri dan pejabat di lingkungan sekretariat negara, namun juga telah muncul kalangan akuntan, pegawai administrasi, pengumpulan pajak, dan pejabat administrasi keuangan. Sementara itu, kalangan ulama mayoritas berasal dari keturunan persia. Sejumlah ulama yang berasal dari keturunan arab pun telah bercampur baur dengan ulama dari keturunan persia. Bahkan jabatan sadr (ketua lembaga agama) selalu berasal dari keturunan persia.
Pada periode awal kerajaan safawi, bidang hukum termasuk bidang yang sistem administrasinya bersifat rumit. Jabatan sadr, misalnya selain berfungsi terutama dalam menyebarkan agama syiah, juga bertanggung jawab dalam masalah administrasi hukum yang diterapkan dalam masyarakat. Adapun urusan hukum yang berkaitan dengan istana berada dibawah tanggung jawab qadi al-qudrat (mahkamah agung) dan syekh al-islam.
Sepanjang sejarah kerajaan safawi, struktur pemerintahannya mengalami tiga fase perkembangan. Pertama, periode kekuasaan syah isma”il I sampai dengan akhir pemerintahan muhammad khudabanda (907 H/1501 M-996 H/1588 M). Kedua, sepanjang masa kekuasaan syah abbas I (996 H/1588 M-1038 H/1629 M). Dan ketiga, sejak masa pemerintahan syah safi sampai dengan jatuhnya kerajaan safawi ke tangan afghan (1038 H/1629 M-1135 H/1722 M). Periode pertama adalah periode peralihan, ketika terjadi banyak perubahan dan penyesuaian struktur administrasi pemerintahan. Sebagai akibatnya, benturan wewenang antara satu jabatan dan jabatan lainnya sering tak dapat dihindarkan. Periode kedua, syah abbas I karena keberhasilannya digelari “syah yang agung” melakukan penataan kembali sistem administrasi kerajaan safawi. Adapun periode ketiga merupakan fase kemunduran yang mengakibatkan kejatuhan safawi.
1).    Fase I (907 H/1501 M-996 H/1588 M)
Struktur administrasi pemerintahan pada fase pertama ini ditandai oleh menonjolnya pertentangan kesukuan, terutama antara keturunan turki dan keturunan persia. Orang militer qizilbasy yang berasal dari keturunan turki sangat berkuasa dalam pemerintahan dinasti safawi. Seperti diketahui, qizilbasy adalah organisasi militer paling bertanggung jawab atas keberhasilan syah isma’il mendirikan kerajaan safawi.
Setelah 6 tahun masa jabatan wilakat (wakil syah) yang sangat strategis tersebut dipegang oleh kaum qizilbasy, syah isma’il mengubah kebijakan tentang sistem pengangkatannya. Setelah husain beg, jabatan wakil syah berturut-turut dipercayakan kepada orang persia antara tahun 913 H/1508 M dan 930 H/1524 M. Sepanjang rentang periode ini, tidak kurang dari lima orang persia yang diangkat menjadi wakil syah. Dua dari lima orang wakil sya yang berlatar belakang persia tersebut tewas dibunuh oleh orang qizilbasy. Adapun yang ketiga tewas sebagai akibat langsung dari konflik kepentingan kekuasaan tersebut. Menjelang berakhirnya masa kekuasaan syah isma’il, beberapa perubahan penting terjadi dalam sistem administrasi pemerintahan setelah tahun 920 H/1514 M, misalnya jabatan wakil syah tidak berdiri sendiri melainkan dirangkap oleh pejabat setingkat pertana menteri dengan tingkat kekuasaan yang jauh lebih kecil.
2).    Fase II (996 H/1588 M-1038 H/1629 M)
Pertentangan internal yang bernuansa kesukuan di satu sisi, dan sistem kekuasaan politik kerajaan safawi fase awal disisi lain, telah melahirkan suatu kehidupan pemerintahan yang labil. Pada giliran berikutnya, kondisi sosial politik seperti itu telah menyebabkan melemahnya kehidupan politik dalam negeri. Kondidi tersebut mendorong syah abbas I untuk melakukan penataan kembali kehidupan politik dan pemantapan sistem administrasi kerajaan safawi. Keputusan politik pertama dan terpenting yang dilakukan oleh syah abbas I adalah menyingkirkan kekuatan politik militer qizilbasy dari pemerintahan dinasti safawi. Sebagai gantinya, ia membentuk kekuatan militer baru yang berbasis budak kaukasus dan georgia.
Selanjutnya, perubahan atau penataan sistem administrasi pemerintahan terbesar yang dilakukan syah abbas I adalah upayanya melakukan pemusatan sepenuhnya berada dibawah kekuasaannya, terutama untuk bidang yang strategis. Pemusatan kekuasaan politik tidak dapat dipisahkan dari atau harus didukung oleh sistem ekonomi yang dikendalikan langsung oleh kekuasaan pusat. Untuk kepentingan itu, syah abbas I pun melakukan pemusatan sistem pertanian. Karena sebelumnya pengawasan pemerintahan pusat cukup lemah terhadap pemerintahan propinsi, maka pendapatan daerah dari sektor pertanian pun tidak dapat diserap atau dialihkan ke pemerintahan pusat secara seimbang.
3).    Fase III (1038 H/1629 M-1135 H/1722 M)
Secara budaya, sistem pemerintahan yang dibangun oleh syah abbas I (fase II) semakin dimantapkan. Bahkan pemusatan ekonomi proses pengalihan tanah negara menjadi tanah raja semakin diperluas. Namun, dilihat dari sudut ketahanan politik, pemerintahan pusat lambat laun mengalami kelemahan. Kecuali, pada masa kekuasaan syah abbas II para penguasa pada fase III ini adalah mereka yang tidak memiliki kecakapan untuk memrintah.
Pada fase III ini, terutama sejak awal masa pemerintahan sultan husain (1105 H/1694 M), jabatan keagamaan tertinggi adalah mulia-basyi (ketua dewan majelis ulama). Adapun wewenang sosial politik keagamaan jabatan sadr (sadarat) yang sudah mulai dikurangi sejak masa kekuasaan syah abbas I. Pada fase ini jabatan tersebut hanya bertanggung jawab mengurusi administrasi wakaf dan membantu para hakim (qadi) dalam urusan pengadilan.[15]

2.2.4        Kemajuan Kerajaan Safawi

1).    Bidang ekonomi
Stabilitas politik kerajaan safawi pada masa abbas I ternyata telah memacu perkembangan perekonomian safawi, lebih-lebih setelah kepulauan  hurmuz dikuasai dan pelabuhan gumrun diubah menjadi bandar abbas. Dengan dikuasainya bandar ini maka salah satu jalur dagang laut antara timur dan barat yang biasa diperebutkan oleh belanda, inggris dan prancis sepenuhnya menjadi milik kerajaan safawi. Disamping sektor perdagangan, kerajaan safawi juga mengalami kemajuan disektor pertanian terutama didaerah bulan sabit subur (fortile crescent).
2).    Bidang pembangunan fisik dan seni
Dalam sejarah islam bangsa persia dikenal sebagai bangsa yang berperadaban tinggi dan berjasa mengembangkan ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila pada masa kerajaan safawi tradisi keilmuan ini terus berlanjut. Ada beberapa ilmuan yang selalu hadir do majelis istana, yaitu baha al-din al-syaerazi, generasi ilmu pengetahuan, sadar al-din al-syaerazi, filosof dan muhammad baqir ibn muhammad damad, filosof, ahli sejarah, teologi, dan seorang yang pernah mengadakan observasi mengenai kehidupan lebah-lebah. Dalam bidang ini kerajaan safawi mungkin dapat dikatakan lebih berhasil dari kedua kerajaan islam lainnya pada masa sama.
3).    Bidang pembangunan fisik dan seni
Para penguasa kerajaan ini telah berhasil menciptakan isfahan, ibukota kerajaan menjadi kota yang sangat indah. Dikota tersebut berdiri bangunan-bangunan besar lagi indah seperti mesjid-mesjid, rumah sakit, sekolah-sekolah, jembatan raksasa diatas zende rud dan istana chilil sutun. Kota isafan juga diperindah dengan taman-taman wisata yang ditata secara apik. Ketika abbas I wafat, di isafan terdapat 162 mesjid, 48 akademi 1802 penginapan dan 273 pemandian umum.
Dibidang seni kemajuan nampak begitu kentara dalam gaya arsitektur bangunan-bangunannya, seperti terlihat pada mesjid shah yang dibangun tahun 1611 M. Dan mesjid syaikh lutf allah yang dibangun tahun 1503 M. Unsur seni lainnya terlihat pula dalam bentuk kerajinan tangan, keramik, karpet, permadani, pakaian, dan tenunan, mode, tembikar, dan benda seni lainnya. Seni lukis mulai dirintis sejak zamantahmaps I raja ismail I pada tahun 1522 M membawa seorang pelukis timur ke tabriz, yang bernama bizhad.[16]

2.2.5        Kemunduran Kerajaan Safawi

Sepeninggal Abbas I Kerajaan Safawi berturut-turut diperintah oleh enam raja, yaitu Safi Mirja (1628-1642 M), Abbas II (1642-1667 M), Husain (1694-1722 M), Tahmasp II (1722-1732 M), dan Abbas III (1733-1736 M). Pada masa raja-raja tersebut, kondisi kerajaan Safawi tidak menujukan grafik naik dan berkembang, tetapi justru meperlihatkan kemunduran yang akhirnya membawa kehancuran.
Safi Mirja, cucu Abbas I, adalah seorang pemimpin yang lemah. Ia sangat kejam terhadap pembesar-pembesar kerajaan karena karena  sifat pencemburunya. Kemajuan yang pernah dicapai oleh Abbas I segera menurun. Kota Qandahar (sekarang termasuk wilayah Afganistan) lepas dari kekuasaan kerajaan Safawi, diduduki oleh kerajaan Mughal yang ketika itu diperintah oleh sultan Syah Jehan, sementara Baghdad direbut oleh kerajaan Usmani. Abbas II adalah raja yang suka minum minuman keras sehingga ia jatuh sakit dan meninggal. Meskipun demikian, dengan bantuan wazir-wazirnya, pada masa kota Qandahar dapat direbut kembali. Sebagaimana Abbas II, Sulaiman juga seorang pemabuk. Ia bertindak kejam terhadap para pembesar yang dicurigainya. Akibatnya, rakyat bersikap masa bodoh terhadap pemerintah. Ia diganti oleh Shah Husain yang alim. Pengganti Sulaiman ini memberi kekuasaan  yang besar kepada para ulama Syi’ah yang sering memaksakan pendapatnya terhadap penganut aliran Sunni. Sikap ini membangkitkan kemarahan golongan Sunni Afghanistan, sehingga mereka berontak dan berhasil mengakhiri kekuasaan Dinastin Safawi. 
Diantara sebab-sebab kemunduran dan kehancuran kerajaan Safawi ialah konflikberkepanjangan dengan kerajaan Usmani. Bagi kerajaan Usmani, berdirinya kerajaan Safawi yang beraliran Syi’ah merupakan ancaman langsung terhadap wilayah kekuasaanna. Konflik antara dua Kerajaan tersebut berlangsung lama, meskipun pernah berhenti sejenak ketika tercapai perdamaian pada masa Shah Abbas I. Namun, tak lama kemudian, Abbas meneruskan konflik tersebut, dan setelah itu dapat dikatakan tidak ada lagi perdamaian antara dua kerajaan besar Islam itu.
Penyebab penting lainnya adalah karena pasukan ghulam (budak-budak) yang dibentuk oleh Abbas I tidak memiliki semangat perang yang tinggi seperti Qizilbash.Hal ini disebabkan karena pasukan tersebut tidak disiapkan secara terlatih dan tidak melalui proses pendidikan rohani seperti yang dialami oleh Qizilbash. Sementara itu, anggota Qizilbash yang baru ternyata tidak dimiliki, militansi dan semangat yang sama dengan anggota Qizilbash sebelumnya.
Tidak kalah penting dari sebab-sebab di atas adalah seringnya terjadi konflik intern dalam bentuk perebutan kekuasaan dikalangan keluarga istana.

2.3    Kerajaan Mughal di India

2.3.1        Asal- usul Kerajaan Mughal

Kerajaan Mughal berdiri seperampat ahad sesudah berdirinya kerajaan safawi .jadi diantara 3 kerajaan besar tersebut, kerajaan inilah yang termuda. didirikan oleh Zahirudin Babur (1526–1530 M). Secara Geneologis Babur merupakan cucu Timur Lenk (dari pihak ayah) dan keturunan Jengis Khan (dari pihak ibu). Ekspansinya ke India dimulai dengan menundukkan penguasa setempat yaitu Ibrahim Lodi dengan bantuan Alam Khan (paman Lodi) dan gubernurLahore.
Tahun 1525 M ia berhasil menguasai punjab dan meneruskannya ke Delhi tahun 1526 M. Sejak saat itu babur dapat menguasai India dan mendirikan dinasti Mughal yang beribukota di Delhi. Kerajaan Mughal mulai berkuasa sejak 1526 sampai 1707 M. kerajaan ini memiliki sultan-sultan yang besar dan terkenal pada abad ke-17 yaitu Akbar (1556 – 1606 M), Jengahir (1605 –1627 M), dengan permaisurinya Nur Janah, Syah jehan (1628 – 1658 M), dan Aurengzeb (1659 – 1707 M).

2.3.2        Para Penguasa Kerajaan Mughal

Selama masa pemerintahannya Kerajaan Mughal dipimpin oleh beberapa orang raja. Raja-raja yang sempat memerintah adalah Zahiruddin Babur (1526-1530), Humayun (1530-1556), Akbar (1556-1605), Jahangir (1605-1627), Shah Jahan (1627-1658), Aurangzeb (1658-1707), Bahadur Syah (1707-1712), Jehandar (1712-1713), Fahrukhsiyar (1713-1719), Muhammad Syah (1719-1748), Ahmad Syah (1748-1754), Alamghir II (1754-1760), Syah Alam (1760¬-1806), Akbar II (1806-1837 M), dan Bahadur Syah (1837-1858).
Zahiruddin Babur (1526-1530) adalah raja pertama sekaligus pendiri Kerajaan Mughal. Masa kepemimpinannnya digunakan untuk membangun fondasi pemerintahan. Awal kepemimpinannya, Babur masih menghadapi ancaman pihak-pihak musuh, utamanya dari kalangan Hindu yang tidak menyukai berdirinya Kerajaan Mughal. Orang-orang Hindu ini segera menyusun kekuatan gabungan, namun Babur berhasil mengalahkan mereka dalam suatu pertempuran. Sementara itu dinasti Lodi berusaha bangkit kembali menentang pemerintahan Babur dengan pimpinan Muhammad Lodi. Pada pertempuran di dekat Gogra, Babur dapat menumpas kekuatan Lodi pada tahun 1529. Setahun kemudian yakni pada tahun 1530 Babur meninggal dunia.
Sepeninggal Babur, tahta Kerajaan Mughal diteruskan oleh anaknya yang bemama Humayun. Humayun memerintah selama lebih dari seperempat abad (1530-1556 M). Pemerintahan Humayun dapat dikatakan sebagai masa konsolidasi kekuatan periode I. Sekalipun Babur berhasil mengamankan Mughal dari serangan musuh, Humayun masih saja menghadapi banyak tantangan. Ia berhasil mengalahkan pemberontakan Bahadur Syah, penguasa Gujarat yang bermaksud melepaskan diri dari Delhi. Pada tahun 1450 Humayun mengalami kekalahan dalam peperangan yang dilancarkan oleh Sher Khan dari Afganistan. Ia melarikan diri ke Persia.
Di pengasingan ia kembali menyusun kekuatan. Pada saat itu Persia dipimpin oleh penguasa Safawiyah yang bernama Tahmasp. Setelah lima belas tahun menyusun kekuatannya dalam pengasingan di Persia, Humayun berhasil menegakkan kembali kekuasaan Mughal di Delhi pada tahun 1555 M. Ia mengalahkan kekuatan Khan Syah. Setahun kemudian, yakni pada tahun 1556 Humayun meninggal. Ia digantikan oleh putranya Akbar.
Akbar (1556-1605) pengganti Humayun adalah raja Mughal paling kontroversial. Masa pemerintahannya dikenal sebagai masa kebangkitan dan kejayaan Mughal sebagai sebuah dinasti Islam yang besar di India.
Ketika menerima tahta kerajaan ini Akbar baru berusia 14 tahun, sehingga seluruh urusan pemerintahan dipercayakan kepada Bairam Khan, seorang penganut Syi’ah. Di awal masa pemerintahannya, Akbar menghadapi pemberontakan sisa-sisa keturunan Sher Khan Shah yang masih berkuasa di Punjab. Pemberontakan yang paling mengancam kekuasaan Akbar adalah pemberontakan yang dipimpin oleh Himu yang menguasai Gwalior dan Agra. Pasukan pemberontak berusaha memasuki kota Delhi. Bairam Khan menyambut kedatangan pasukan tersebut sehingga terjadilah peperangan dahsyat yang disebut Panipat II pada tahun 1556 M. Himu dapat dikalahkan dan ditangkap, kemudian dieksekusi. Dengan demikian, Agra dan Gwalior dapat dikuasai penuh.
Setelah Akbar dewasa ia berusaha menyingkirkan Bairam Khan yang sudah mempunyai pengaruh sangat kuat dan terlampau memaksakan kepentingan aliran Syi’ah. Bairam Khan memberontak, tetapi dapat dikalahkan oleh Akbar di Jullandur tahun 1561 M. Setelah persoalan-persoalan dalam negeri dapat diatasi, Akbar mulai menyusun program ekspansi. Ia berhasil menguasai Chundar, Ghond, Chitor, Ranthabar, Kalinjar, Gujarat, Surat, Bihar, Bengal, Kashmir, Orissa, Deccan, Gawilgarh, Narhala, Ahmadnagar, dan Asirgah. Wilayah yang sangat luas itu diperintah dalam suatu pemerintahan militeristik.
Keberhasilan ekspansi militer Akbar menandai berdirinya Mughal sebagai sebuah kerajaan besar. Dua gerbang India yakni kota Kabul sebagai gerbang ke arah Turkistan, dan kota Kandahar sebagai gerbang ke arah Persia, dikuasai oleh pemerintahan Mughal. Menurut Abu Su’ud, dengan keberhasilan ini Akbar bermaksud ingin mendirikan Negara bangsa (nasional). Maka kebijakan yang dijalankannya tidak begitu menonjolkan spirit Islam, tetapi bagaimana mempersatukan berbagai etnis yang membangun dinastinya. Keberhasilan Akbar mengawali masa kemajuan Mughal di India.
Kepemimpinan Akbar dilanjutkan oleh Jihangir (1605-1627) yang didukung oleh kekuatan militer yang besar. Semua kekuatan musuh dan gerakan pemberontakan berhasil dipadamkan, sehingga seluruh rakyat hidup dengan aman dan damai. Pada masa kepemimpinannya, Jehangir berhasil menundukkan Bengala (1612 M), Mewar (1614 M) Kangra. Usaha-usaha pengamanan wilayah serta penaklukan yang ia lakukan mempertegas kenegarawanan yang diwarisi dari ayahnya yaitu Akbar.
Syah Jihan (1628-1658) tampil meggantikan Jihangir. Bibit-bibit disintegrasi mulai tumbih pada pemerintahannya. Hal ini sekaligus menjadi ujian terhadap politik toleransi Mughal. Dalam masa pemerintahannya terjadi dua kali pemberontakan. Tahun pertama masa pemerintahannya, Raja Jujhar Singh Bundela berupaya memberontak dan mengacau keamanan, namun berhasil dipadamkan. Raja Jujhar Singh Bundela kemudian diusir. Pemberontakan yang paling hebat datang dari Afghan Pir Lodi atau Khan Jahan, seorang gubernur dari provinsi bagian Selatan. Pemberontakan ini cukup menyulitkan. Namun pada tahun 1631 pemberontakan inipun dipatahkan dan Khan Jahan dihukum mati.
Pada masa ini para pemukim Portugis di Hughli Bengala mulai berulah. Di samping mengganggu keamanan dan toleransi hidup beragama, mereka menculik anak-anak untuk dibaptis masuk agama Kristen. Tahun 1632 Shah Jahan berhasil mengusir para pemukim Portugis dan mencabut hak-hak istimewa mereka. Shah Jehan meninggal dunia pada 1657, setelah menderita sakit keras. Setelah kematiannya terjadi perang saudara. Perang saudara tersebut pada akhirnya menghantar Aurangzeb sebagai pemegang Dinasti Mughal berikutnya.
Aurangzeb (1658-1707) menghadapi tugas yang berat. Kedaulatan Mughal sebagai entitas Muslim India nyaris hancur akibat perang saudara. Maka pada masa pemerintahannya dikenal sebagai masa pengembalian kedaulatan umat Islam. Penulis menilai periode ini merupakan masa konsolidasi II Kerajaan Mughal sebagai sebuah kerajaan dan sebagai negeri Islam. Aurangzeb berusaha mengembalikan supremasi agama Islam yang mulai kabur akibat kebijakan politik keagamaan Akbar.
Raja-raja pengganti Aurangzeb merupakan penguasa yang lemah sehingga tidak mampu mengatasi kemerosotan politik dalam negeri. Raja-raja sesudah Aurangzeb mengawali kemunduran dan kehancuran Kerajaan Mughal.
Bahadur Syah menggantikan kedudukan Aurangzeb. Lima tahun kemudian terjadi perebutan antara putra-putra Bahadur Syah. Jehandar dimenangkan dalam persaingan tersebut dan sekaligus dinobatkan sebagai raja Mughal oleh Jenderal Zulfiqar Khan meskipun Jehandar adalah yang paling lemah di antara putra Bahadur. Penobatan ini ditentang oleh Muhammad Fahrukhsiyar, keponakannya sendiri. Dalam pertempuran yang terjadi pada tahun 1713, Fahrukhsiyar keluar sebagai pemenang. Ia menduduki tahta kerajaan sampai pada tahun 1719 M. Sang raja meninggal terbunuh oleh komplotan Sayyid Husein Ali dan Sayyid Hasan Ali. Keduanya kemudian mengangkat Muhammad Syah (1719-1748). Ia kemudian dipecat dan diusir oleh suku Asyfar di bawah pimpinan Nadzir Syah. Tampilnya sejumlah penguasa lemah bersamaan dengan terjadinya perebutan kekuasaan ini selain memperlemah kerajaan juga membuat pemerintahan pusat tidak terurus secara baik. akibatnya pemerintahan daerah berupaya untuk melepaskan loyalitas dan integritasnya terhadap pemerintahan pusat.
Pada masa pemerintahan Syah Alam (1760¬-1806) Kerajaan Mughal diserang oleh pasukan Afghanistan yang dipimpin oleh Ahmad Khan Durrani. Kekalahan Mughal dari serangan ini, berakibat jatuhnya Mughal ke dalam kekuasaan Afghan. Syah Alam tetap diizinkan berkuasa di Delhi dengan jabatan sebagai sultan. Akbar II (1806-1837 M) pengganti Syah Alam, memberikan konsesi kepada EIC untuk mengembangkan perdagangan di India sebagaimana yang diinginkan oleh pihak Inggris, dengan syarat bahwa pihak perusahaan Inggris harus menjamin penghidupan raja dan keluarga istana. Kehadiran EIC menjadi awal masuknya pengaruh Inggris di India.
Bahadur Syah (1837-1858) pengganti Akbar II menentang isi perjanjian yang telah disepakati oleh ayahnya. Hal ini menimbulkan konflik antara Bahadur Syah dengan pihak Inggris. Bahadur Syah, raja terakhir Kerajaan Mughal diusir dari istana pada tahun (1885 M). Dengan demikian berakhirlah kekuasaan kerajaan Islam Mughal di India.

2.3.3        Perkembangan Politik dan Ilmu Pengetahuan

Perkembangan Politik dan Ilmu Pengetahuan Akbar Khan menjalankan pemerintahan bersifat militeristik. Peme­rintah pusat dipimpin oleh raja; pemerintah daerah dipimpin oleh kepala komandan  (Sipah salat); dan pemerintahan sub-daerah dipimpin oleh ko­mandan  (Faudjat).  Akbar menerapkan sistem politik  Sulh e-kul  (toleransi universal), yaitu pandangan yang menyatakan bahwa derajat semua penduduk adalah sama. Akbar pun membentuk  Din Ilahi.  Dan Akbar juga mendirikan  Mansabdhari  (lembaga pelayanan umum yang berkewajiban menyiapkan segala urusan kerajaan, termasuk menyiapkan sejumlah pa­sukan (Jaih Mubarok, 2004:137).
Kemajuan yang dicapai Akbar masih dapat dipertahankan oleh tiga sultan berikutnya, yaitu Jehangir (1605-1628 M), Syah Jehan (1628-1658 M), dan Aurangzeb (1658-1707 M).  Kemantapan di bidang politik membawa kemajuan pada bidang lain seperti ekonomi dengan mengembangkan program pertanian, pertambangan, dan perdagangan. Selain untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, hasilnya diekspor ke Eropa, Afrika, Arabia, dan Asia Tenggara.
Bidang Seni dan Budaya pun berkembang seperti karya sastera gubahan penyair istana yang berbahasa Persia maupun India. Karya besar berjudul  Padmavat yang mengandung pesan kebajikan jiwa manusia hasil karya penyair terkenal Malik Muhammad Jayazi. Karya  Akhbar Nama  dan  Aini Akhbari  yang memaparkan sejarah kerajaan Mughal berdasarkan figure pemimpinnya hasil karya sejarawan Abu Fadl pada masa Aurangzeb. Istana Fatpur Sikri di Sikri, villa dan mesjid-mesjid yang indah dibangun pada masa Akbar dan Mesjid Taj Mahal di Agra, Mesjid Raya Delhi dan istana indah di Lahore dibangun pada masa Syah Jehan masih ada sampai sekarang (Badri Yatim, 2004:151).

2.3.4        Kemajuan Kerajaan Mughal

Kemajuan Dinasti Mughal disamping dari aspek poklitik juga di topang oleh aspek ekonomi. Dalam bidang ini Kerajaan Mughal dapat mengembangkan program pertanian, pertambangan, dan perdagangan. Hanya saja, sumber keuangan negara justru lebih banyak bertumpu pada sektor pertanian. Hasil pertanian yang terpenting adalah biji-bijian, padi, kacang, tebu, sayur-sayuran, rempah-rempah, tembakau, kapas, nila, dan bahan-bahan celupan.[17]
Kemantapan stabilitas politik karena sistem pemerintahan yang diterapkan Akbar membawa kemajuan dalam bidang-bidang yang lain. Dalam bidang ekonomi, kerajaan Mughal dapat mengembangkan program pertanian, pertambangan, dan perdagangan. Akan tetapi, sumber keuangan negara lebih banyak bertumpu pada sektor pertanian. Di sektor pertanian ini, komunikasi antara pemerintah dan petani diatur dengan baik. Pengaturan ini didasarkan atas lahan pertanian. Deh, merupakan unit lahan pertanian terkecil. Beberapa deh tergabung dalam pargana (desa). Komunitas petani dipimpin oleh seorang mukaddam. Melalui para mukaddam itulah pemerintah berhubungan dengan petani.[18]Kerajaan berhak atas sepertiga dari hasil pertanian di neger itu.Disamping untuk kebutuhan dalam negeri, hasil pertanian itu di ekspor ke Eropa, Afrika, Arabia, dan Asia Tenggara bersamaan dengan hasil kerajina, seperti pakaian tenun dan kain tipis bahan gordiyn yang banyak di produksi di Gyjarat dan Bengal. Untuk meningkatkan produksi,jehangir mengizinkan inggris ( 1611 M ) dan belanda ( 1617 M ) mendirikan pabrik pengolahan hasil pertanian di surat.[19]
Selain ekonomi, bidang seni dan budaya juga berkembang. Upaya pengembangan ini tampak terus dilakukan, antara dalam bidang seni lukis. Cabang seni ini juga memperoleh tempat yang terhormat. Raja Babur misalnya, dikenal sebagai seorang raja yang gemar mengoleksi berbgai lukisan pemandangan telaga, air tejun, bunga, dan taman. Gambaran tentang siyuasi masa itu bisa dilihat dalam manuskrip Alwari Tuzk-i-Baburi.
Selain seni lukis dan musik, seni bangunan masa kerajaan Moghul juga memeperoleh perhatian besar. Raja-raja Moghul dikenal sebagai raja-raja yang gemar sekali mendirikan gedung-gedung baru. Dalam seni bangunan Moghul terdapat unsur-unsur luar dan dalam negeri. Pada masa Akbar misalnya, terdapat corak bangunan Iran. Bahkan Babur dikenal sebagai seorang raja yang kurang menyukai corak bangunan setempat (India). Karena itu, usur luar tampak mendominasi seni bangunan era Babur.
Karya seni yang menonjol adalah karya sastra gubahan penyair istana, baik yang berbahasa Persia maupun India. Penyair India yang terkenal adalah Malik Muhammad Jayazi dengan karyanya Padmavat, sebuah karya Alegoris yang mengandung pesan kebajikan jiwa manusia.Pada masa Aurangzeb, muncul seorang sejarawan bernama Abu Fadl dengan karyanya Akbar nama dan Aini Akhbari, yang memaparkan sejarah Kerajaan Mughal berdasarkan figur pemimpinnya.
Karya seni yang masih dapat dinikmati sampai sekarang dan merupakan karya seni terbesar adalah karya-karya arsitektur yang indah dan mengagumkan. Pada masa Akbar, dibangun istana Fatpur Sikri di Sikri serta sejumlah vila dan mesjid yang indah. Sementara, pada masa Syah Jehan, dibangun masjid berlapiskan mutiara dan Taj Mahal di Agra, mesjid Raya Delhi, dan istana indah di Lahore. Taj Mahal bahkan merupakan salah satu dari tujuh keajaiban dunia. Bangunan itu sendiri sesungguhnya adalah makam istri Jehan yang pada waktu hidupnya begitu di puja Jehan karena kecantikannya.
Mesjid-mesjid yang dibangun selain sebagai tempat ibadah, juga berfungsi sebagai tempat belajar agama bagi masyarakat. Dalam hal pendidikan, Kerajaan Mughal terlihat memeberikan perhatian yang besar. Di mesjid telah tersedia ulama yang akan memberikan pengajaran berabagai cabang ilmu agama, dimana tidak sdikit masyarakat yang mengikutinya.
Hampir setiap mesjid merupakan pengembang ilmu-ilmu keagamaan terentu denagn guru-guru spesialis.[20] Dalam perkembangan selanjutnya, mesjid raya telah berkembang menjadi universitas, tempat para ulama mengajarkan berbagai cabang ilmu agama dan sejumlah pelajar atau mahasiswa memilih untuk mengikuti pelajaran-pelajaran agama tertentu pada masa tetentu pula.[21]
Sementara itu untuk memenuhi kebutuhan pendidikan bagi orang-orang kaya, pihak kerajaan juga telah menyediakan madrasah-madrasah khusus. Selain mesjid, terdapat pula Khanqah (smacam pesantren) yang dipimpin ulama atau wali yang secara umum ada di daerah-daerah pedalaman. Bahasa Persia pada waktu itu merupakan bahasa pengantar dalam kegiatan pendidikan dan pengajaran agama Islam.
Hanya saja, dapat dicatat disini bahwa di masa Kerajaan Mughal tidak terdapat kemajuan di bidang ilmu pengetahuan. Tokoh-tokoh sains, filsafat, atau ilmu-ilmu keagamaan tak terdengar namanya. Bila dibandingkan dengan kemajuan ilmu pengetahuan di masa klasik, khususnya pada masa kekuasaan Abbasiyah, tentu jauh sekali perbandingannya.
Tampaknya hal tersebut bisa di sebabkan karena para raja Mughal tidak memiliki etos intelektual terhadap penkajian-pengkajian ilmu baru. Tambahan lagi, dimasa ini ilmu dan peradaban Islam memang sedang meredup di berbagai wilayah Islam.
Kemajuan pada masa Akbar masih dapat dipertahankan sampai tiga sultan berikutnya, yaitu Jehangir (1605-1628), Syah Jehan (1628-1658), dan Aurangzeb (1658-1707). Namun setelah itu, kemajuan kerajaan Mughal tidak dapat dipertahankan oleh raja-raja berikutnya.
Sebagaimana diuraikan terdahulu, pada masa kejayaan tiga kerajaan besar ini, umat Islam kembali mengalami kemajuan. Akan tetapi, kemajuan yang dicapai berbeda dengan kemajuan yang dicapai pada masa klasik Islam. Kemajuan pada masa klasik lebih kompleks. Di bidang intelektual, kemajuan pada masa tiga kerajaan besar tidak sebanding dengan kemajuan di zaman klasik. Dalam bidang ilmu keagamaan, umat Islam sudah mulai bertaklid kepada imam-imam besar yang lahir pada masa klasik Islam. Kalaupun ada mujtahid, maka, ijtihad yang dilakukan adalah ijtihad fi al-mazhab, yaitu ijtihad yang masih berada dalam batas-batas mazhab tertentu. Tidak ada lagi ijtihad mutlak, hasil pemikiran bebas yang mandiri. Beberapa sains yang berkembang pada masa klasik, ada yang tidak berkembang lagi, bahkan ada yang dilupakan. Filsafat dianggap bid’ah. Kalau pada masa klasik, umat Islam maju dalam bidang politik, peradaban, dan kebudayaan, seperti dalam bidang ilmu pengetahuan dan pemikiran filsafat, pada masa tiga kerajaan besar kemajuan dalam bidang filsafat (kecuali sedikit berkembang di kerajaan Safawi Persia) dan ilmu pengetahuan umum tidak di dapatkan lagi. Kemajuan yang dapat di banggakan pada masa ini hanya dalam bidang politik, kemiliteran, dan kesenian, terutama arsitektur.

2.3.5        Kemunduran Kerajaan Mughal

Setelah satu setengahabad dinasti mughal berada dipuncak kejayaannya, para pelanjut Aurangzeb tidak sanggup mempertahankan kebesaran yang tekah dibina oleh sultan-sultan sebelumnya. Pada abad ke-18 M kerajaan ini memasuki masa-masa kemundura. Kekuasaan politiknya mulai merosot, suksesi kepemimpinan ditingkat pusat menjadi ajang perebutan, gerakan separatis Hindu di India tengah. Sikh di belahan utara dan Islam dibagian timur semakin lama semakin mengancam. Sementara itu, para pedagang Inggris untuk pertama kalinya diizinkan oleh Jehangir menanamkan modal di India, dengan didukung oleh kekuatan bersenjata semakin kuat menguasai wilayah pantai.
Pada masa Aurangze, pemberontakan terhadap pemerintahan pusat memang sudah muncul, tetapi dapat diatasi. Pemberontakan itu bermula dari tindakan-tindakan Aurangzeb yang dengan keras menerapkan pemikiran puritanismenya. Setelah ia wafat, penerusnya rata-rata lemah dan tidak mampu menghadapi problema yang ditinggalkannya.
Sepeninggal Aurangzeb (1707 M), tahta kerajaan dipegang oleh Muazzam, putra tertua Aurangzeb yang sebelumnya menjadi penguasa di Kabul. Putra Aurangzeb ini kemudian bergelar Bahadur Syah (1707-1712 M). Ia menganut aliran Syi’ah. Pada masa pemerintahannya yang berjalan selama lima tahun, ia dihadapkan pada perlawanan Sikh sebagai akibat dari tindakan ayahnya. Ia juga dihadapkan pada perlawanan penduduk lahore karena sikapnya yang terlampau memaksakan ajaran Syi’ah kepada mereka.
Setelah Bahadur Syah meninggal, dalam jangka waktu yang cukup lama, terjadi peebutan kekuasaan dikalangan keluarga istana. Bahadur Syah diganti oleh anaknya Azimus Syah akan tetapi, pemerintahanya ditentang oleh Zulfiqar Khan, putera Azad Khan, Wazir Aurangzeb. Azimus Syah meninggal tahun 1712 M diganti oleh puteranya, Jihandar Syah, yang mendapat tantangan dari Farukh Siyar, adiknya sendiri. Jihandar Syah dapat disingkrkan oleh Farukh siyartahun 1713 M.
Farukh Siyar berkuasa sampai tahun 1719 M dengan dukungan kelompok Sayyid, tapi tewas ditangan para pendukungnya sendiri ( 1719 M). Sebagai gantinya, diangkat Muhammad Syah (1719-1748 M). Namun, ia dan pendukungnya terusir oleh Asyfar dibawah pimpinan Nadir Syah yang belumnya telah berhasil melenyapkan kekuasaan Safawi di Persia. Keinginan Nadir Syah untuk menundukkan Kerajaan Mughal terutama karena menurutnya, kerajaan ini banyak sekali memberikan bantuan kepada pemberontak Afghan di daerah Persia. Oleh Karena itu, pada tahun 1739 M, dua tahun setelah menguasai Persia, ia menyerang kerajaan mughal. Muhammad Syah tidak dapat bertahan dan mengaku tunduk kepada Nadir Syah. Muhammad Syah kembali berkuasa di Delhi setelah ia bersedia memberi hadiah yang sangat banyak kepada Nadir Syah. Kerajaan mughal baru dapat melakukan restorasi kembali, terutama setelah jabatan wazir dipegang Chin Qilich Khan yang bergelat Nizam Al-Mulk (1722-1732 M) karena mendapat dukungan dari Marathas. Akan tetapi, tahun 1732 M, Nizam Al-Mulk meningglkan Delhi menuju Hiderabad dan menetap disana.
Konflik-konflik yang berkepanjangan mengakibatkan pengawasan terhadap daerah lemah. Pemerintahan daerah satu per satu melepaskan loyalitasnya melalui pemerintahan pusat, bahkan cenderung memperkuat posisi pemerintahannya masing-masing. Hiderabad dikuasai Nizam Al-Mulk, Marathas dikuasai shivaji, Rajput menyelenggarakan pemerintahan sendiri dibawah pimpinan Jai Singh dari Amber, Punjab dikuasai oleh kelopmpok Sikh. Oudh dikuasai oleh Sadat Khan, Bengal dikuasai Syuja’ Al-Din, menantu Mursid Qulli, penguasa Bengal yang diangkat Aurangzeb. Sementara wilayah-wilayah pantai banyak yang dikuasai para pedagang asing, terutama EIC dari Inggris.
Setelah Muhammad Syah meninggal, tahta kerajan dipegang oleh Ahmad Syah (1748-1754 M), kemudian, diteruskan oleh Alamghir II (1754-1759 M), dan kemudian dilanjutkan oleh Syah Alam (1761-1806 M). Pada tahun 1761 M, Kerajaan Mughal disersang oleh Ahmad Khan Durrani dari Afghan. Kerajaan Mughal tidak dapat bertahan dan sejak itu Mughal berada dibawah kekuasaan Afghan. Meskipun Syah Alam tetap diizinkan memakai gelar Sultan.
Syah Alam meninggal tahun 1806 M. Tahta kerajaan selanjutnya dipegang oleh Akbar II (1806-1837 M). Pada masa pemerintahan Akbar memberi konsesi kepada EIC untuk mengembangkan usahanya di anak benua India sebagaimana yang diinginkan Inggris, tapi pihak perusahaan harus menjamin kehidupan raja dan keluarga istana. Dengan demikian, kekuasaan sudah berada di tangan Inggris, meskipun kedudukan dan gelar Sultan dipertahankan Bahadur Syah (1837-1858 M), penerus Akbar, tidak menerima isi perjanjian antar EIC dengan ayahnya itu, sehingga terjadi konflik antara dua kekuatan tersebut.
Perlawanan mereka dapat dipatahkan dengan mudah, karena Inggris mendapat dukungan dari beberapa penguasa lokal Hindu dan Muslim. Inggris kemudian menjatuhkan hukuman yang kejam terhadp pemberontak. Mereka diusir dari kota Delhi, rumah-rumah  ibadah banyak yang dihancurkan, dan Bahadur Syah raja Mughal terakhir, diusir dari Istana (1858 M). Dengan demikian, berakhirlah sejarah kekuasaan dinasti Mughal di daratan India dan tinggallah di sana ummat Islam yang harus berjuang mempertahankan eksitensi mereka.
Ada beberapa faktor yang memyebabkan kekuasaan dinasti Mughal itu mundur pada satu setengah abad terakhir dan membawa kepada kehancurannya pada tahun 1858 M, yaitu :
1.      Terjadi stagnasi dalam pembinaan kekuatan militer sehingga operasi militer Inggris di wilayah-wilayah pantai tidak dapat segera dipantau oleh kekuatan maritim Mughal. Begitu juga kekuatan pasukan darat. Bahkan, mereka kurang terampil dalam mengoperasikan persenjataan buatan Mughal sendiri.
2.      Kemorosotan moral dan hidup mewah dikalangan elit politik, yang mengakibatkan pemborosan dalam penggunaan uang negara.
3.      Pendekatan aurangzeb yang terlampau “kasar” dalam melaksanakan ide-ide puritan dan kecenderungan asketisnya, sehingga konflik antaragama sangat sukar diatasi oleh sultan-sultan sesudahnya.
4.      Semua pewaris tahta kerajaan pada paruh terakhir adalah orang-orang lemah dalam bidang kepemimpinan.

BAB III

PENUTUP

3.1  Kesimpulan

Kerajaan Turki Usmani didirikan tahun 1281 M. Oleh Usman, putera Erthogril yang mendapat hadiah wilayah dari Sultan Alauddin karena Erthogril membantu pasukan Sultan Alauddin memenangkan peperangan melawan Bizantium. Kemajuan Turki Usmani, dalam bidang Militer dan ekspansi wilayah, pemerintahan dan bidang intelektual. Faktor yang menyebabkan kerajaan ini mundur adalah faktor internal yang meliputi, luasnya wilayah kekuasaan, heteroginitas penduduk, kelemahan para penguasa, pemberontakan tentara Jenisari, terjadi stagnasi dalam lapangan ilmu dan teknologi. Sedangkan faktor ekstern karena timbulnya gerakan nasionalisme dan kemajuan teknologi persenjataan Barat.
Dinasti Savawi (1501-1732 M) didirikan oleh Ismail Ibn Haidar. Dinasti ini berawal dari gerakan keagamaan (tasawuf) yang berkembang menjadi gerakan politik. Ismail Ibn Haidar menjadikan Syiah menjadi madzhab negara. Kemajuan terjadi pada masa Khudabanda, Isfahan memiliki 162 mesjid, 48 perguruan, terdapat ulama besar seperti Bahauddin al-Amili ahli pengetahuan umum, Sadraddin Assirazi atau Mullasadra seorang filosuf muslim.
Dinasti Mughal di India (1526-1857 M) didirikan oleh Zahirudin Babur setelah memenangkan perang melawan Ibrahim Lodi. Pada masa Khalifah Akbar Khan mencapai puncak kejayaan. Kemantapan bidang politik membawa kemajuan ekonomi, pertambangan, seni dan lain-lain.

Daftar Pustaka

Brockkmann Carl. 1982.History of the Islamic peoplesLondon: Routledge & Kegan Paul.
Buchori, Didin Saefuddin. 2009. Sejarah Politik Islam. Penerbit: Pustaka Intermasa. Jakarta.
Ensiklopedi Tematis Dunia Islam,”Khilafah” (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 2002).
Supiana. 2012. Metodologi Kebudayaan Islam. Direktorat Jenderal Pendidikan Islam. Jakarta.
Ibrahim, Hasan. 1989. Sejarah dan Kebudayaan Islam.  Penerbit Kota Kembang. Yogyakarta.
Yatim,Badri.2008. Sejarah Peradaban Islam.Penerbit: Rajawali Pers. Jakarta.



[1] Dr. Badri Yatim, M.A., Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Rajawali Pers, 2008), hlm. 129
[2]Prof. Dr. Supiana, M.Ag., Metodologi Kebudayaan Islam, (Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Islam, 2012), hlm. 225.
[3] Prof Dr Didin Saefuddin Buchori, Sejarah Politik Islam, (Jakarta: Pustaka Intermasa, 2009), hlm. 229-230.
[4]Ensiklopedi Tematis Dunia Islam,”Khilafah” (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 2002), hlm. 246.
[5] Prof Dr Didin Saefuddin Buchori, Sejarah Politik Islam, (Jakarta: Pustaka Intermasa, 2009), hlm. 231.
[6]Ensiklopedi Tematis Dunia Islam,”Khilafah” (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 2002), hlm. 246.
[7] Dr. Badri Yatim, M.A., Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Rajawali Pers, 2008), hlm. 133-134.
[8] Prof Dr Didin Saefuddin Buchori, Sejarah Politik Islam, (Jakarta: Pustaka Intermasa, 2009), hlm. 237-238
[9]Prof. Dr. Supiana, M.Ag., Metodologi Kebudayaan Islam, (Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Islam, 2012), hlm. 249-250
[10] Hasan Ibrahim Hasan , sejarah dan kebudayaan islam, (Yogyakarta: Kota Kembang, 1989), hlm. 339.
[11] Carl Brockkmann, History of the Islamic peoples, (London: Routledge & Kegan Paul, 1982), hlm. 328.
[12] Dr Badri Yatim, M.A., Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Rajawali Pers, 2008), hlm. 164-169
[13] Prof Dr Didin Saefuddin Buchori, Sejarah Politik Islam, (Jakarta: Pustaka Intermasa, 2009), hlm. 248-249
[14] Prof Dr Didin Saefuddin Buchori, Sejarah Politik Islam, (Jakarta: Pustaka Intermasa, 2009), hlm. 249-250
[15]Ensiklopedi Tematis Dunia Islam,”Khilafah” (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 2002), hlm. 270-274
[16] Dr Badri Yatim, M.A., Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Rajawali Pers, 2008), hlm. 143-145.
[17] Sumber CE Bosworth, Dinasti-Dinasti, hlm. 234-235
[18]W. H. Moreland, “The Mughal Empiret to the Death of Aurangzeb”, dalam M. Th. Houtsma (Ed.), First Encyclopaedia of Islam, (Leiden: E.J. Brill, 1987), hlm. 630
[19]Ibid
[20]Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, hlm. 297.
[21]Ibid

Tidak ada komentar:

Posting Komentar