A. Pengertian Tarekat
Asal kata “tarekat”
dalam bahasa arab yaitu “thariqah” yang berarti jalan, keadaan, aliran, atau
garis pada sesuatu. Menurut istilah tasawuf, tarekat berarti perjalanan seorang
salik (pengiku tarekat) menuju Tuhn dengan cara mensucikan diri atau perjalanan
yang harus ditempuh secara rohani, maknawi oleh seseorang untuk dapa
mendekatkan diri sedekat mungkin kepada Allah SWT.
Menurut Syekh Amin al-Khurdi tarekat ialah
cara mengamalkan syaria dan menghayati inti syariat itu dan menjauhkan diri
dari hal-hal yang bias melalaikan pelaksanaan dan inti serta ujuan syariat.
B. Sejarah Timbulnya Tarekat
Peralihan tasawuf yang
bersifat personal pada tarekat yang bersifat lembaga tidak terlepas dari
perkembangan dan perluasan tasawuf itu sendiri. Semakin luas pengaruh tasawuf,
semakin banyak pula orang berhasrat mempelajarinya.
Seorang guru tasawuf biasanya memformulasikan suatu
sistem pengajaran tasawuf berdasarkan pengalamannya sendiri. Sistem pengajaran
itulah yang kemidian menjadi ciri khas bagi suatu tarekat yang membedakannya
dari tarekat yang lain. Tarekat adalah organisai dari
pengikut sufi-sufi besar. Mereka mendirikan organisasi-organisasi untuk
melestarikan ajaran-ajaran tasawuf gurunya. Maka timbullah tarekat. Tarekat ini
memakai suatu tempat pusat kegiatan yang disebbut ribat (disebut juga zawiyah,
hangkah atau pekir).
Teori lain sejarah kemunculan tarekat dikemukakan oleh
Jhon O. Voll. Ia mejelaskan bahwa penjelasan mistis terhadap Islam muncul sejak
awal sejarah islam, dan para sufi yang mengembangkan jalan-jalan spiritual
personal mereka dengan melibatkan praktik-praktik ibadah, pembacaan kitab suci,
dan kepustkaan tentang keshalehan. Para sufi ini kadang-kadang terlibat konflik
dengan otoritas-otoritas dalam komunitas islam dan memberikan alternatif
terhadap orientasi yang lebih bersifat legalistik, yang disampaikan oleh
kebanyakan ulama. Namun, para sufi secara bertahap menjadi figur-figur penting
dalam kehidupan keagamaan dikalangan penduduk awam dan mulai mengumpulkan
kelompok-kelompok pengikut diidentifikasi dan diikat bersama oleh jalan taswuf
khusus (tarekat) sang guru. Mejelang abad ke-12 M (ke-5 H), jalan-jalan ini
mulai menyediakan basis bagi kepengikutan yang lebih permanen, dan
tarekat-tarekat sufi pun muncul sebagai organisasi sosial utama dalam komunitas
islam.
Pada awal kemunculannya, tarekat berkembang dari dua
daerah, yaitu Khurasan (Iran) dan Mesopotamia (Irak). Pada priode ini mulai
timbul beberapa, diantaranya tarekat Yasafiah yang didirikan oleh Ahmad
al-Yasafi (w. 562 H/1169 M), tarekat Khawajagawiyah yang disponsori oleh Abd
al-Khaliq al-Ghzudawani (w. 617 H/1220 M), tarekat Naksabandiyah, yang
didirikan oleh Muhammad Bahauddin an-Naksabandi al-Awisi al-Bukhari (w. 1389 M)
di Turkistan, tarekat Khalwatiyah yang didirikan oleh Umar al-Khalwati (w. 1397
M). Karena banyaknya cabang-cabang tarekat yang timbul dari tiap-tiap tarekat
induk, sangat sulit untuk menelusuri sejarah perkembangan tarekat itu se cara
sistematis dan konsepsional. Akan tetapi yang jelas sesuai dengan penjelasan
Harun Nasution, cabang-cabang itu muncul sebagai akibat tersebarnya alumni
suatu tarekat yang mendapat ijazah tarekat dari gurunya untuk membuka perguruan
baru sebagai perluasan dari ilmu yang diperolehnya. Alumni tadi meninggalkan ribat
gurunya dan membuka ribat baru didaerah lain. Dengan cara ini, dari satu
ribat induk kemudian timbul ribat cabang tumbuh ribat ranting
dan seterusnya, samapi tarekat itu berkembang keberbagai dunia islam. Namun, ribat-ribat tersebut tetap mempunyai ikatan
kerohanian, ketaatan, dan amalan-amalan yang sama dengan syekhnya yang pertama.
Dalam seluruh tarekat terdapat kegiatan
ritual sentral yang melibatkan pertemuan-pertemuan kelompok secara teratur
untuk melakukan pembacaan do’a, syair dan ayat-ayat pilihan dari Al-Qur’an.
Tarekat Qodiryah didirikan oleh Syeikh
Abdul Qodir Jaelani (wafat 561 H/1166M) yang bernama lengkap Muhy al-Din Abu
Muhammad Abdul Qodir ibn Abi Shalih Zango Dost al-Jaelani. Lahir di Nif,
distrik Jilan, sebelah selatan Laut Kaspia tahun 470 H/1077 M dan wafat di
Baghdad pada 561 H/1166 M. Dalam usia 8 tahun ia sudah meninggalkan Jilan
menuju Baghdad pada tahun 488 H/1095 M. Karena tidak diterima belajar di
Madrasah Nizhamiyah Baghdad, yang waktu itu dipimpin Ahmad al-Ghazali, yang
menggantikan saudaranya Abu Hamid al-Ghazali. Tapi, dia tetap
belajar sampai mendapat ijazah dari gurunya yang bernama Abu Yusuf al-Hamadany
(440-535 H/1048-1140 M) di kota yang sama itu sampai mendapatkan
ijazah. Pada tahun 521 H/1127 M, dia mengajar dan berfatwa dalam semua
madzhab pada masyarakat sampai dikenal masyarakat luas. Syaikh Muhyidin
Abu Muhammad Abdul Qodir Al-Jaelani Al-Baghdadi QS oleh orang Baghdad beliau
dijuluki dengan MAWAR BAGHDAD. Beliau adalah urutan ke 17 dari rantai mata emas
mursyid tarekat.
Selama 25 tahun Abdul Qadir Jaelani
menghabiskan waktunya sebagai pengembara sufi di Padang Pasir Iraq dan akhirnya
dikenal oleh dunia sebagai tokoh sufi besar dunia Islam. Selain itu dia
memimpin madrasah dan ribath di Baggdad yang didirikan sejak 521 H sampai
wafatnya di tahun 561 H. Madrasah itu tetap bertahan dengan dipimpin
anaknya Abdul Wahab (552-593 H/1151-1196 M), diteruskan anaknya Abdul Salam
(611 H/1214 M). Juga dipimpinan anak kedua Abdul Qadir Jaelani, Abdul Razaq
(528-603 H/1134-1206 M), sampai hancurnya Bagdad pada tahun 656 H/1258 M.
Sejak itu tarekat Qodiriyah terus
berkembang dan berpusat di Iraq dan Syria yang diikuti oleh jutaan umat yang
tersebar di Yaman, Turki, Mesir, India, Afrika dan Asia. Namun meski sudah
berkembang sejak abad ke-13, tarekat ini baru terkenal di dunia pada abad ke 15
M. Di India misalnya baru berkembang setelah Muhammad Ghawsh (w 1517 M) juga
mengaku keturunan Abdul Qodir Jaelani. Di Turki oleh Ismail Rumi (w 1041
H/1631 M) yang diberi gelar (mursyid kedua). Sedangkan di Makkah, tarekat
Qodiriyah sudah berdiri sejak 1180 H/1669 M.
Tarekat Qodiriyah ini dikenal luwes. Yaitu
bila murid sudah mencapai derajat syeikh, maka murid tidak mempunyai suatu
keharusan untuk terus mengikuti tarekat gurunya. Bahkan dia berhak melakukan
modifikasi tarekat yang lain ke dalam tarekatnya. Hal itu seperti tampak pada
ungkapan Abdul Qadir Jaelani sendiri, “Bahwa murid yang sudah mencapai
derajat gurunya, maka dia jadi mandiri sebagai syeikh dan Allah-lah yang
menjadi walinya untuk seterusnya.” Mungkin karena keluwesannya
tersebut, sehingga terdapat puluhan tarekat yang masuk dalam kategori Qodiriyah
di dunia Islam, Seperti Banawa yang berkembang pada abad
ke-19, Ghawtsiyah (1517), Junaidiyah (1515
M), Kamaliyah (1584 M), dan lain-lain, semuanya berasal dari
India. Di Turki terdapat tarekat Hindiyah, Khulusiyah,dan
di Yaman ada tarekat Ahdaliyah, Asadiyah, Mushariyyah.
Sedangkan di Afrika diantaranya terdapat tarekat
Ammariyah, Tarekat Bakka’iyah, Bu’ Aliyya, Manzaliyah dan tarekat Jilala,
nama yang biasa diberikan masyarakat Maroko kepada Abdul Qodir Jilani.
Tareqat Qodiriyah bermula dari ribath dan
madrasah Syekh Abdul Qodir Jailani, tempat yang dia pimpin untuk
menyampaikan ajaran-ajaran tasawufnya sejak tahun 521 H hingga wafatnya tahun
561 H. Setelah itu ribath diteruskan kepemimpinannya oleh anak-anaknya
kemudian dilanjutkan oleh murid-muridnya dengan zawiyah (suatu tempat para sufi
melatih diri dalam bertasawuf) sebagai pusat kegiatannya, bagi murid yang sudah
tamat akan diberikan ijazah yang berupa Khirqah dengan melakukan janji untuk
meneruskan ajarannya yang telah didapat. Namun bagi Syekh Abdul Qodir
Jailani sendiri tentang perolehan khirqah tidak terlalu penting, pembentukan
jiwa sufi lebih utama dan dianggap cukup. Dari zawiyah inilah tareqat Qodiriyah
mengalami perkembangan pesat.
Murid-muridnya banyak memegang peran
penting dalam penyebaran ajaran tasawufnya, di antaranya yang diketahui yaitu :
Muhammad ibn Abd al-Samad di Mesir, Muhammad al-Bata’ihi dan Taqiy al-Dina
al-Yunini di Suriah, dan Ali al-Hadad di Yaman. Pada abad ke-15,tarekat ini
masuk dan berkembang di anak benua India. Perkembangan yang sama terjadi
di Afrika Utara. Pada tahun 1550 M, tarekat ini tersebar di Afrika Timur. Pada
abad ke-17, tarekat ini mulai masuk ke Turki. Penyebar didaerah ini bernama Ismail
Rumi (wafat 1631 atau 1643 M), dia kira-kira mendirikan 40 pusat tarekat di
Istambul dan sekitarnya.
Tareqat Qodiriyah juga tersebar di Asia
Kecil dan Eropa Timur, setelah beberapa dasawarsa kemudian di Indonesia tareqat
ini adalah tarekat yang pertamakali masuk menurut sumber-sumber yang ada di
Indonesia. Orang yang pertama menganut tarekat Qodiriyah dari Indosesia
ialah Hamzah Fansuri (wafat sekitar 1590 M) dia masuk tarekat Qodiriyah antara
Baghdad dan Syahr’i Naw (Ayuthia, ibukota Muangtai). Hamzah memperoleh
ilmu Syekh Abdul Qodir Jailani melalui jalan ruhani, setelah Hamzah Fansuri
tarekat ini juga berkembang di Aceh, di Makasar yang dikembangkan oleh Syekh
Yusuf al-Makasari.
Dalam perkembangan berikutnya di Indonesia
tarekat Qodiriyah bergabung dengan tarekat Naksabandiyah yang pada akhirnya
menjadi sebuah tarekat terbesar, terutama di pulau Jawa, dengan nama
baru Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah didirikan oleh sufi dan Syekh
besar masjid al-Haram Mekah al- Mukaramah, yaitu Ahmad Khatib Sambas ibn Abd
Ghaffar al-Sambasi al-Jawi, seorang ulama besar dari Indonesia yang tinggal
sampai akhir hayatnya di Mekah yang wafat pada tahun 1878 M.
Diantara murid-murid Ahmad Khatib ialah
Abd.Al-Karim dari Banten, sebagai orang yang menyebarkan dan mempopulerkan
tarekat Qodiriyah-Naqsabandiyah didaerah ini dan Syekh Tolhah dari Cirebon yang
mempunyai murid bernama Abdullah Mubarak.mengenai murid syekh Tholhah yang
dikenal sebagai pendiri Pesantren Suryalaya ini, penulis buku tarekat
Naqsabandiyah di Indonesia.
Martin Van Bruinessen
mengatakan “Khalifah dari Kiyai Tolhah Cirebon yang paling penting ialah
Abdallah Mubarak, belakang dikenal sebagai Abah sepuh. Abdallah melakukan baiat
ulang dengan Abd.Karim Banten di Mekkah dan pada tahun 1905 M mendirikan pesantren
Suryalaya di Pangerageung, dekat Tasikmalaya ( Jawa Barat ).”
Kemudian di bawah
pimpinan putranya dan penerusnya Abah Anom (K.H.A. Shahibilwafa Tadjul Arifin)
pesantren ini menjadi lebih terkenal secara nasional karena pengobatan yang
dilakukan terhadap para korban Narkotika, penderita gangguan kejiwaan dan
macam-macam penyakit lainya dengan mengamalkan dzikir tarekatnya.
Bentuk dzikirnya adalah
:
- Dzikir Jahar, yaitu
membaca “Laailaaha illallah” dengan suara keras.
- Dzikir Khafi, yaitu
membaca “Laailaaha illallah” dalam hati.
- Diamalkan setelah
shalat wajib atau sunat sebanyak 165 kali atau lebih
Ini merupakan amalan
utama di Pondok Pesantren Suryalaya sejak masa Abah Sepuh hingga Abah Anom dan
sebagai realisasi tarekat Qadiriyah-Naqsabandiyah. Abah Anom banyak
mendapatkan patronase dari para pejabat tinggi dari Golkar yang telah
dimasukinya hampir sejak permulaan berdirinya organisasi tersebut. Khalifahnya
ada diseluruh jawa di Singapura di Sumatra Timur, Kalimantan Barat dan Lombok.
Tarekat Qadiriyah menekankan ajarannya pada dzikir
jahr nafi isbat dengan urutan sebagai berikut :
Membaca Istighfar paling sedikit 2 atau 20 kali dengan
lafadz “Astaghfir Allah al-ghafur al-Rahim”, kemudian shalawat sebanyak
itu pula dengan lafadsz “Allahuma shali’ala sayyidina Muhammad wa’ala
alihi wa shahbihi wa sallim”, diteruskan dengan membaca dzikir jahr nafi isbat,
yaitu melafadkan kalimat lailahailalah dengan suara keras sebanyak 140 kali dan
dikerjakan setiap selesai shalat fardhu.
Pengucapan lafadz Lailaha illallah memiliki cara
tersendiri, yaitu kata LA dibaca sambil dibayangkan dari pikiran ditarik dari
pusat hingga otak, kemudian kata ILAHA dibaca sambil menggerakkan kepala
kesebelah kanan dan kata ILLALLAH dibaca dengan keras sambil dipukulkan kedalam
sanubari, yaitu kebagian sebelah kiri. Setelah selesai melakukan zikir itu
lalu membaca Sayyidina Muhammad Rasul Allah Shalallah ‘alaihi wa sallam,
membaca shalawat Allahuma shalli’ala sayyidina Muhammad shalatan Tunjina biha
min jami al-ahwal wa al-afat dan membaca surat Al-Fatihah ditujukan kepada
Rasulullah SAW dan kepada seluruh Syekh-syekh tarekat Qadiriyah serta para
pengikutnya juga seluruh orang islam baik yang masih hidup maupun yang sudah
mati. Sebelum dan ketika melakukan zikir tersebut seorang murid
membayangkan wajah guru(mursyid) didepanya dan limpahan karunia Allah kepada
Nabi dan Syekh.
Bagi setiap orang yang menganut tarekat Qadiriyah
harus berpegang kepada akidah para sahabat, tabi’in dan tabi’it tabi’in, yaitu
akidah al-salaf al-salih. Berpedoman kepada Al-Quran dan sunnah Rasulullah SAW,
agar dalam menjalani tarekat tidak tersesat. Bagi pemula (mubtadi) agar
memiliki sifat bersih hati, jernih muka, suka memberi kebajikan, menghapus
kejahatan, sabar dalam kekafiran, menjaga kehormatan syekh, bergaul baik sesama
ikhwan, memberi nasihat kepada orang kecil dan orang besar, menjauhi permusuhan
dan berkorban dalam masalah agama dan dunia.
Selain persyaratan tersebut diatas,setiap orang yang
hendak mengikuti tarekat Qadiriyah harus menjalani dua tahapan, yaitu :
1.
Tahap Permulaan, yaitu murid
mengikuti dan menerima bai'at guru sebagai pertemuan pertama antara guru
dan murid - Penyampaian wasiat oleh guru kepada murid - Pernyataan guru membai'at
muridnya bahwa telah diterima menjadi murid dengan lafadz tertentu - Pembacaan
do'a oleh guru yang terdiri dari do'a umum dan do'a khusus - Pemberian minum
oelh guru kepada murid sambil membacakan beberapa ayat al-Qur'an. Setelah
pemberian minum itu, maka selesailah tahap permulaan dan secara resmi seseorang
telah menjadi murid pengiktu Tarekat Qadiriyah.
2. Tahap Perjalanan, maksudnya tahap murid menuju Allah
melalui bimbingan guru. Murid harus melalui tahap ini dalam waktu yang lama dan
bertahun-tahun, sebelum ia memperoleh karunia Allah yang dilimpahkan kepadanya.
Selama perjalanan itu murid masih menerima ilmu hakikat dari gurunya. Selain
itu murid juga dituntut berbakti kepada guru dan menjauhi larangannya. Murid
harus terus berjuang melawan hawa nafsu dan melatih dalam ber-mujahadah dan
riyadhah kepada Allah.
Apabila murid telah berhasil melalui tahapan tersebut,
maka guru memberikan ijazah dan memberikan talqin tauhid kepada murid, setelah
itu murid berhak menyandang gelar guru atau syekh dalam tarekar Qadiriyah.
Seorang murid yang telah menjadi syekh sudah tidak lagi terikat dengan gurunya,
walau pun tidak ada larangan untuk terus mengikuti guru. Sesuai dengan
petuah Syekh Abdul Qadir Jailani bahwa murid yang telah menjadi syekh boleh mandiri
dan yang menjadi walinya adalah Allah.
Secara garis besarnya pokok-pokok ajaran Tarekat
Qadiriyah yaitu ada lima:
1.
Tinggi cita-cita
2. Memelihara kehormatan
3. Memelihara nikmat
4. Melaksanakan maksud
5. Mengagungkan nikmat
Tarekat Rifa'iyah pertama kali muncul dan berkembang
luas di wilayah Irak bagian selatan, didirikan oleh Abul Abbas Ahmad bin Ali
ar-Rifa'i. Beliau lahir di Qaryah Hasan, dekat Basrah pada tahun 500 H / 1106
M. Sumber lain ada juga yang menyebukan beliau lahir pada tahun 512 H /
1118 M. Abu Bakar Aceh dalam bukunya Pengantar Ilmu Tarekat menulis
bahwa Abul Abbas Ahmad bin Ali ar-Rifa'i menghabiskan hampir seluruh
hidupnya di wilayah Irak bagian selatan. Ketika berusia tujuh tahun ayahnya
meninggal dunia, kemudia beliau diasuh oleh pamannya Mansur al-Bathaihi,
seorang syekh tarekat.
Selain berguru kepada pamannya Mansur al-Bathaihi
beliau juga belajar pada pamannya Abu al-Fadl Ali al-Wasiti, terutama tentang
mazhab fikih Imam Syafi'i, sehingga pada usia 21 tahun beliau telah berhasil
memperoleh ijazah dan khirqah sembilan dari pamannya, sebagai pertanda telah
mendapat wewenang untuk mengajar pula. John L Esposito dalam
Ensiklopedia Oxford Dunia Islam Modern menuliskan bahwa garis keturunan
ar-Rifa'i sampai kepada Junaid al-Baghdadi (wafat 910 M) dan Sahl al-Tustari
(wafat 896 M).
Pada tahun 1145 ar-Rifa'i menjadi syekh tarekat ini, ketika pamannya (syekhnya juga) menunjuk ar-Rifa'i sebagai penggantinya. Kemudian beliau mendirikan pusat tarekat sendiri di Umm Abidah, sebuah desa di Distrik Wasit, tempat beliau wafat.
Pada tahun 1145 ar-Rifa'i menjadi syekh tarekat ini, ketika pamannya (syekhnya juga) menunjuk ar-Rifa'i sebagai penggantinya. Kemudian beliau mendirikan pusat tarekat sendiri di Umm Abidah, sebuah desa di Distrik Wasit, tempat beliau wafat.
Tarekat Rifa'iyah berbeda dengan Organisasi
Kemasyarakatan Rifa'iyah yang ada di Indonesia. Ormas Rifa'iyah didirikan oleh
Syekh Haji Ahmad ar-Rifa'i al-Jawi bin Muhammad bin Abi Sujak bin Sutjowijoyo,
yang lahir pada 9 Muharam 1200 H / 1786 M di Desa Tempuran Kabupaten Kendal,
terakhir dianugerahi Pahlawan Nasional oleh Pemerintahan SBY.
Tarekat Rifa'iyah yang juga merupakan tarekat sufi
Sunni ini memainkan peran penting dalam pelembangan sufisme. Di bawah bimbingan
ar-Rifa'i tarekat ini tumbuh subur, sehingga dalam tempo yang tidak terlalu
lama tarekat ini berkembangan luas keluar Irak, di antaranya ke Mesir dan
Suriah. Hal ini disebabkan murid-murid tarekat ini menyebar ke seluruh kawasan
Timur Tengah.
Perkembangan berikutnya Tarekat Rifa'iyah sampai ke
kawasan Anatolia di Turki, Eropa Timur, Kaukasus dan wilayah Amerika Utara.
Para murid Rifa'iyah membentuk cabang-cabang baru di tempat-tempat tersebut,
alhasil jumlah cabang Tarekat Rifa'iyah meningkat dengan sistem syekh
turun-temurun.
Tarekat Rifa'iyah juga sampai tersebar ke Indonesia, seperti di Aceh (terutama di bagian barat dan utara), di Jawa, Sumatera Barat dan Sulawesi. Namun di daerah Aceh tarekat ini lebih dikenal dengan sebutan Rafai, yang berarti "tabuhan rebana" berasal dari perkataan pendiri dan penyiar tarekat Rifa'iyah sendiri.
Tarekat Rifa'iyah juga sampai tersebar ke Indonesia, seperti di Aceh (terutama di bagian barat dan utara), di Jawa, Sumatera Barat dan Sulawesi. Namun di daerah Aceh tarekat ini lebih dikenal dengan sebutan Rafai, yang berarti "tabuhan rebana" berasal dari perkataan pendiri dan penyiar tarekat Rifa'iyah sendiri.
Walaupun Tarekat Rifa'iyah terdapat di
tempat-tempat lain, namun menurut Esposito tarekat ini paling signifikan berada
di Turki, Eropa Tenggara, Mesir, Palestina, Suriah, Irak dan Amerika Serikat.
Pada akhir masa kekuasaan Turki Usmaniyah (Ottoman), Rifa’iyah merupakan
tarekat penting, keanggotaannya meliputi tujuh persen dari jumlah orang yang
masuk sufi di Istanbul.
Dalam beberapa cabang, pengikut Rifa'iyah
harus mengasingkan diri dan melakukan penyendirian spiritual (khalwat). Praktik
ini biasanya dilakukan paling sedikit selama satu minggu pada awal Muharam.
Menurut Sayyid Mahmud Abul al-Faidl al-Manufi, Tarekat
Rifa'iyah mempunyai tiga ajaran dasar, yaitu:
1.
Tidak meminta sesuatu
2. Tidak menolak
3.
Tidak menunggu
Sementara menurut asy-Syarani, tarekat ini menekankan
pada ajaran asketisme (zuhud) dan ma'rifat (puncak tertinggi dalam ajaran
tasawuf).
Dalam pandangan Syekh ar-Rifa'i, sebagaimana
diriwayatkan asy-Syarani, asketisme merupakan landasan keadaan-keadaan yang
diridhai dan tingkatan-tingkatan yang disunahkan. Asketisme adalah langkah
pertama seseorang menuju kepada Allah, mendapat ridha dari Allah dan
bertawakkal kepada Allah. Menurut Syekh ar-Rifa'i "Barang siapa belum
menguasai landasan kezuhudan, langkah selanjutnya belum lagi benar".
Mengenai ma'rifat Syekh ar-Rifa'i berpendapat bahwa penyaksian adalah kehadiran
dalam makna kedekatan kepada Allah disertai ilmu yakin dan terbukanya hakikat
realitas-realitas secara benar-benar yakin. Menurutnya, cinta mengantar rindu
dendam, sedangkan ma'rifat menuju kefanaan ataupun ketiadaan diri.
Irhamni,MA dalam
tulisannya mengenai Syekh ar-Rifa'i mengungkapkan bahwa pendiri Tarekat
Rifa'iyah ini semasa hidupnya pernah mengubah sebuah puisi bertema "Cinta
Ilahi" yang bunyinya : "Andaikan malam menjelang, begitu gairah
kalbuku mengingat-Mu. Bagai merpati terbelenggu atau meratap tanpa jemu. Di
atasku awan menghujani derita dan putus asa. Di bawahku lautan
menggelora/kecewa. Tanyalah atau biarkanlah mereka bernyawa. Bagaimana
tawanan-Nya bebaskan tawanan lainnya, sementara dia dipercaya tanpa-Nya dan dia
tidak terbunuh, kematian itu istirah baginya. Bahkan dia tidak dapat mati
sampai bebas karenanya". Syair di atas merupakan salah satu bentuk
asketisme yang dilakukan oleh Syekh Ahmad Rifa'i dalam mencapai hakikat
tertinggi mengenal Allah, yaitu tingkat ma'rifat.
Wirid dan
Amalan Tarekat Rifa’iyah
Ciri khas Tarekat
Rifa'iyah terletak pada dzikirnya yang disebut dengan darwis melolong, karena
dilakukan bersama-sama dengan diiringi suara gendang bertalu-talu. Dzikir itu
dilakukan sampai mencapai suatu keadaan dimana mereka dapat melakukan
perbuatan-perbuatan yang menakjubkan, seperti berguling-guling dalam bara api,
tetapi mereka tidak terbakar sedikit pun.
Menurut John L
Esposito, sebagian kaum Rifa'iyah terkenal karena mengikuti praktik upacara,
seperti menusuk kulit dengan pedang dan makan kaca. Hal ini menyebar bersama
Tarekat Rifa'iyah sampai ke Kepulauan Melayu. Namun saat ini praktik seperti
itu tidak lagi dilakukan, karena dianggap menyimpang dari ajaran Islam yang
sebenarnya.
Di Sumatera para
pengikut Rifa'iyah ini memainkan dabus, yaitu menikam diri dengan senjata
tajam, diiringi dengan dzikir-dzikir tertentu. Dalam bahasa Arab Dabus artinya
"besi yang tajam". Christian Snouck Hurgronye dalam De Acehers
mengatakan bahwa dabus dan rabana yang sering dimainkan di Sumatera ini sangat
erat hubungannya dengan Tarekat Rifa'iyah.
Dabus ini juga berkembang di daerah Sunda, seperti diungkapkan C.Poensen dalam bukunya Het Daboes van Santri Soenda. Di Sumatera Barat kesenian dabus ini dikenal dengan sebutan TABUIK, tepatnya di daerah Padang Pariaman. Dalam Encyklopedia van Nederlandsch Oost India, disebutkan bahwa perkembangan Tarekat Rifa'iyah ini bersama-sama dengan permainan dabus.
Dabus ini juga berkembang di daerah Sunda, seperti diungkapkan C.Poensen dalam bukunya Het Daboes van Santri Soenda. Di Sumatera Barat kesenian dabus ini dikenal dengan sebutan TABUIK, tepatnya di daerah Padang Pariaman. Dalam Encyklopedia van Nederlandsch Oost India, disebutkan bahwa perkembangan Tarekat Rifa'iyah ini bersama-sama dengan permainan dabus.
Tarekat Syadziliyah
adalah tarekat yang dipelopori oleh Syekh Abul Hasan Asy Syadzili. Nama
kecilnya Ali, bergelar Taqiyuddin, Julukanya Abu Hasan dan nama populernya
adalah Asy Syadzili.
Al-Syadzili lahir di
sebuah desa yang bernama Ghumarah, dekat kota Sabtah pada
tahun 593 H(1197 M). Beliau berasal dari garis keturunan Nabi Muhammad
Saw. dengan silsilah nasab sebagai berikut :
=> As-Sayyid
Asy-Syaikh Abil Hasan Asy-Syadzili bin
=> Ali bin
=> Abdullah bin
=> Tamim bin
=> Hurmuz bin
=> Hatim bin
=> Qusay bin
=> Yusuf bin
=> Yusya bin
=> Ward bin
=> Bathaal bin
=> Ali bin
=> Ahmad bin
=> Muhammad bin
=> Isa bin
=> Muhammad bin
=> Abi Muhammad bin
=> Imam Hasan bin
=> Sayyidna Ali
ra dan Sayyidatina Fathimah binti
=> Rasulullah Sayyidina
Muhammad saw.
Sebagai tokoh tarekat,
beliau mengamalkan tarekat yang juga diajarkan Nabi Muhammad Saw. dengan
silsilah tarekat sebagai berikut :
=> As-Syaikh As-Sayyid
Abil Hasan Asy-Syadzili ra, dari
=> As-Syaikh Abdus Salam b Mashish ra,
dari
=> As-Syaikh
Muhammad bin Harazim ra, dari
=> As-Syaikh
Muhammad Salih ra, dari
=> As-Syaikh Shuaib
Abu Madyan ra, dari
=> As-Syaikh
As-Sayyid Abdul Qadir Al-Jailani ra, dari
=> As-Syaikh Abu
Said Al-Mubarak ra, dari
=> As-Syaikh Abul
Hasan Al-Hukkari ra, dari
=> As-Syaikh
At-Tartusi ra, dari
=> As-Syaikh
Asy-Shibli ra, dari
=> As-Syaikh Sari
As-Saqati ra, dari
=> As-Syaikh Ma'ruf
Al-Kharkhi ra, dari
=> As-Syaikh Daud
At-Tai ra, dari
=> As-Syaikh Habib
Al-Ajami ra, dari
=> Imam Hasan
Al-Basri ra, dari
=> Sayyidina Ali bin
Abu Talib ra, dari
=> Sayyidina
Muhammad saw.
Abul Hasan asy-Syadzili
menghapal al-Quran dan merantau ke Tunis ketika usianya masih sangat muda,
tinggal di desa Syadzilah. Oleh karena itu, namanya dinisbatkan kepada desa
Syadzilah meskipun ia tidak berasal dari desa tersebut.
Secara pribadi Abul
Hasan asy-Syadzili tidak meninggalkan karya tasawuf, begitu juga muridnya, Abul
Abbas al-Mursi, kecuali hanya sebagai ajaran lisan tasawuf, doa,
dan hizib. Ibn Atha’illah as- Sukandari adalah orang yang prtama
menghimpun ajaran-ajaran, pesan-pesan, doa dan biografi keduanya, sehingga
kasanah tareqat Syadziliyah tetap terpelihara.
Ibn Atha’illah juga
orang yang pertama kali menyusun karya paripurna tentang aturan-aturan tareqat
tersebut, pokok-pokoknya, prinsip-prinsipnya, bagi angkatan-angkatan
setelahnya. Melalui sirkulasi karya-karya Ibn Atha’illah, tareqat
Syadziliyah mulai tersebar sampai ke Maghrib, sebuah negara yang pernah menolak
sang guru.
Syadzili sendiri tidak
mengenal atau menganjurkan murid-muridnya untuk melakukan aturan atau ritual
yang khas dan tidak satupun yang berbentuk kesalehan populer yang digalakkan.
Namun, bagi murid-muridnya tetap mempertahankan ajarannya. Para murid
melaksanakan Tareqat Syadziliyah di zawiyah-zawiyah yang tersebar tanpa
mempunyai hubungan satu dengan yang lain.
Sebagai ajaran, Tareqat
ini dipengaruhi oleh al-Ghazali dan al-Makki. Salah satu perkataan as-Syadzili
kepada murid-muridnya : “Seandainya kalian mengajukan suatu permohonanan kepada
Allah, maka sampaikanlah lewat Abu Hamid al-Ghazali”. Perkataan yang
lainnya : “Kitab Ihya’ Ulum ad-Din, karya al-Ghozali, mewarisi anda ilmu.
Sementara Qut al-Qulub, karya al-Makki, mewarisi anda cahaya.”
Tarekat Syadziliyah ini
menarik di kalangan kelas menengah, pengusaha, pejabat, dan pengawai negeri.
Hal ini disebabkan karena ke-khas-an yang tidak begitu membebani pengikutnya
dengan ritual-ritual yang memberatkan seperti yang terdapat dalam
tarekat-tarekat lain. Tarekat ini mempunyai pengaruh yang besar di dunia
Islam, sampai saat ini tarekatSyadziliyah terdapat di Afrika Utara, Mesir,
Kenya, dan Tanzania Tengah, Sri langka, Indonesia dan beberapa tempat yang
lainnya termasuk di Amerika Barat dan Amerika Utara. Di Mesir tempat awal mula
penyebaran tarekat ini, mempunyai beberapa cabang, yakitu : al-Qasimiyyah, al-
madaniyyah, al-Idrisiyyah, as-Salamiyyah, al-handusiyyah, al-Qauqajiyyah,
al-Faidiyyah, al-Jauhariyyah, al-Wafaiyyah, al-Azmiyyah, al-Hamidiyyah, al-Faisiyyah
dan al- Hasyimiyyah.
Di Indonesia,
pengamalan tareqat ini tidak berbeda dengan tradisi di Timur Tengah, dalam
banyak kasus lebih bersifat individual dan pengikutnya relatif jarang. Dalam
praktiknya, kebanyakan para anggotanya hanya membaca secara individual
rangaian-rangkaian doa yang panjang (hizb) dan diyakini mempunyai
kegunaan-kegunaan megis. Para pengamal tarekat ini mempelajari berbagai hizib,
paling tidak melalui pengajaran (talkin) yang diberikan oleh seorang guru yang
berwewenang dan dapat memelihara hubungan tertentu dengan guru.
Ciri Khas Tarekat Syadziliyah
Setiap anggota tarekat ini wajib mewujudkan semangat
tarekat dalam kehidupan dan lingkungan dan mereka tidak diperbolehkan mengemis
atau mendukung kemiskinan. Oleh karen itu, ciri khas yang menonjol dari anggota
tarekat ini adalah :
1.
Mursyid tidak memberatkan murid-murid dan
amalan yang diberikan pun pasti pas, sesuai dengan volume ruhani masing-masing
murid.
2.
Murid bebas untuk menjadi apa dan bebas
memiliki apa saja dalam masing-masing kondisi yang Allah takdirkan untuk
mereka, tetapi dalam kondisi tersebut mereka pun pasti juga bisa menemukan
jalan menuju Allah.
3. Kerapian dalam
berpakaian.
4. Ketenangan yang
terpancar dari tulisan-tulisan para tokohnya, seperti asy-Syadzili, Ibn
Atha'illah, Abbad.
5.
Keyakinan bahwa seorang Syadzilliyah pasti
ditakdirkan menjadi anggota tarekat ini dari sejak alam Azali dan mereka
percaya bahwa Wali Qutb akan senantiasa muncul menjadi pengikut tarekat ini.
Syekh Abdul Djalil
Mustaqim pernah dawuh bahwa mengamalkan tarekat sebagai seorang sufi bukan
hanya memegang tasbih, berdzikir di masjid atau melakukan zawiyah/uzlah tanpa
mempedulikan kehidupan duniawi dan kepentingan masyarakat. Menurut Beliau,
salat 5 waktu dengan disiplin, mencari nafkah dengan jujur, menuntut ilmu
dengan bersungguh-sungguh, merupakan kehidupan bertarekat. Tetapi itu semua
jangan sampai menyebabkan kita melupakan Allah SWT. Tidak ada larangan
berbisnis bagi pengikut tarekat. Bisnis tidak menghalangi seseorang untuk masuk
surga, sebab ada berjuta jalan menuju Allah.
Kemudian Syaikh Abu
al-Abbas al-Mursi juga pernah dawuh kepada Syaikh Ibnu
Athaillah : "Jika engkau berteman dengan seorang pedagang, jangan
berkata kepadanya : "Tinggalkan daganganmu dan kemarilah!" Juga jangan
berkata kepada seorang pckerja : "Tinggalkan pekerjaanmu dan
kemarilah!" Dan jangan berkata kepada pelajar : "Tinggalkan
pelajaranmu dan kemarilah!". Posisikan setiap orang sesuai dengan posisi
yang diberikan oleh Allah kepadanya. Para sahabat selalu setia bersama
Rasulullah saw., namun Rasulullah tidak pernah berkata kepada (sahabat yang)
pedagang : "Tinggalkan daganganmu!" begitu juga kepada pekerja,
beliau tidak pernah mengatakan : "Tinggalkan pekcrjaanmu!". Tetapi
Rasulullah membiarkan mereka dengan usahanya masing-masing seraya memerintahkan
mereka untuk bertakwa kepada Allah." Selanjutnya beliau juga dawuh :
“Tetaplah dalam posisi yang diberikan Allah kepadamu. Bagianmu yang diberikan
Allah melalui diriku pasti akan sampai kepadamu. Itulah ahwal kaum shiddiqin,
mereka keluar dari sesuatu ketika Allah SWT. sendiri yang mengeluarkan
mereka.”
Ibn Abbad ar-Rundi (w. 790 H), salah seorang tokoh
Tarekat Syadziliyah yang terkenal pada abad ke delapan Hijriyah dan salah
seorang pensyarah kitab al-Hikam memberikan kesimpulan tentang ajaran Tarekat
Syadziliyah, bahwa : “Seluruh kegiatan dan tindakan kita haruslah berupa
pikiran tentang kemurahan hati Allah kepada kita dan berpendirian bahwa
kekuasaan dan kekuatan kita adalah nihil, dan mengikatkan diri kita kepada
Allah dengan suatu kebutuhan yang mendalam, dan memohon kepada-Nya agar
memberikan rasa syukur kepada kita".
Secara umum pada pola dzikir (yang merupakan suatu hal
yang mutlak) tarekat ini biasanya diawali dengan Fatihah adz-dzikir, yaitu
dengan cara para peserta duduk dalam satu lingkaran atau dalam dua baris yang
saling berhadapan, sementara syekh duduk di pusat lingkaran atau di ujung
barisan, kemudian tentang materi dzikir al-asma al-husna yang dipakai dalam
tareqat ini, diperlukan kebijakjsanaan dari pembimbing untuk menentukan al-asma
al-husna mana yang akan diajarkan kepada murid, sebab penerapan asma Allah yang
keliru dianggap akan memberi akibat yang berbahaya secara rohani dan mental,
baik bagi sipemakai maupun terhadap orang-orang sekelilingnya.
Ibn Atha'ilah memberikan beberapa contoh penggunaan
Asma Allah sebagai berikut :
·
"Asma al-Latif" (Yang Halus)
harus digunakan oleh seorang sufi dalam penyendirian bila seseorang berusaha
mempertahankan keadaan spiritualnya;
·
“Al-Wadud” (Kekasih yang Dicintai) membuat
sang sufi dicintai oleh semua makhluk, dan bila dilafalkan terus menerus dalam
kesendirian, maka keakraban dan cinta Ilahi akan semakin berkobar;
·
“Asma al-Faiq” (Yang Mengalahkan) sebaiknya
jangan dipakai oleh para pemula, tetapi hanya oleh orang arif yang telah
mencapai tingkat tinggi.
Kemudian Ibn Atha'illah
menetapkan doktrin ajaran utama Tarekat Syadziliyah ini sebagai berikut :
1.
Tauhid dengan sebenar-benarnya tauhid
dengan tidak musyrik kepada Allah serta ketaqwaan terhadap Allah Swt. lahir dan
batin yang diwujudkan dengan
bersikap wara' dan Istiqamah dalam menjalankan perintah
Allah Swt.
2.
Konsisten mengikuti Sunnah Rasul, baik
dalam ucapan maupun perbuatan, dan direalisasikan dengan selalu bersikap
waspada dan bertingkah laku yang luhur.
3.
Berpaling (hati) dari makhluk, baik dalam
penerimaan maupun penolakan, dengan berlaku sadar dan berserah diri kepada
Allah swt (Tawakkal).
4.
Ridha kepada Allah, baik dalam kecukupan
maupun kekurangan, yang diwujudkan dengan menerima apa adanya (qana'ah/ tidak
rakus) dan menyerah.
5.
Kembali kepada Allah, baik dalam keadaan
senang maupun dalam keadaan susah, yang diwujudkan dengan jalan bersyukur dalam
keadaan senang dan berlindung kepada-Nya dalam keadaan susah.
Kelima doktrin ini juga tegakkan di atas
lima sendi sebagai berikut :
1.
Semangat yang tinggi, yang mengangkat
seorang hamba kepada derajat yang tinggi.
2.
Berhati-hati dengan yang haram, dengan iini
dapat meraih penjagaan Allah atas kehormatan.
3.
Berlaku benar/baik dalam berkhidmat sebagai
hamba, yang memastikan kepada pencapaian tujuan kebesaran-Nya/kemuliaan-Nya.
4.
Melaksanakan tugas dan kewajiban, yang akan
mengantarkan kepada kebahagiaan hidup.
5.
Menghargai (menjunjung tinggi) nikmat, yang
membuatnya selalu meraih tambahan nikmat yang lebih besar.
Selain itu tidak peduli
sesuatu yang bakal terjadi (merenungkan segala kemungkinan dan akibat yang
mungkin terjadi pada masa yang akan datang) juga merupakan salah satu pandangan
tarekat ini, karena menurut Ibn Atha'illah, hal ini jelas merupakan hak
prerogratif Allah. Apa yang harus dilakukan manusia adalah menunaikan tugas dan
kewajibannya yang bisa dilakukan pada masa sekarang dan hendaknya manusia tidak
tersibukkan oleh masa depan yang akan menghalanginya untuk berbuat positif.
Maulawiyah
berasal dari kata “Maulana” artinya “guru kami” gelar
yang diberikan murid-murid kepada seorang
“sufi penyair Persia terbesar sepanjang masa” yang memiliki nama
asli Jalal Al-Din Muhammad, yang kemudian lebih
dikenal dengan Maulana Jalal al-Din Rumi atau Rumi (w.
1273 M). Dengan demikian Tarekat
Maulawiyah adalah tarekat yang didirikan oleh Maulawi Jalaluddin Ar-Rumi, 15 tahun sebelum
beliau meninggal di Anatolia,
Turki.
Maulana Jalal al-Din Rumi lahir
di kota Balkh (Afganistan) pada tanggal 6 Robi'al Awwal atau 30 September 1207, dari
pihak ayah dia keturunan khalifah
Abu Bakar Shiddiq. Sedangkan dari pihak ibu keturunan Ali bin Abi
Thalib. Dalam usia 12 tahun ia bersama keluarganya diam-diam
meninggalkan kampung halaman untuk melaksanakan ibadah haji dan
tidak kembali karena ayah Rumi, Baha'al-Din Walad telah mendengar tentang
invasi Mongol ke kota Balkh.
Kota
pertama yang dikunjungi adalah Nisyapur dan di sini Rumi bertemu dengan
Farid al-Din Aththar seorang sufi penyair terkenal yang menyerahkan salinan
bukunya yang berjudul Asrar Nameh (Buku tentang
rahasia) kepada Rumi. Dari Nisyapur keluarga Rumi terus ke
Baghdad di mana mereka mendengar berita penyergapan kota Balkh oleh Jengis
Khan. Pada tahun 1220 Baha'al-Din Walad berangkat menuju kota Makkah untuk
menunaikan ibadah haji. Kemudian diteruskan ke Damaskus, Siria,
dan Malatia (Melitene). Dari Meletine mereka menuju
ke Armenia, kemudian ke Zaranda sebelah tenggara Konya. Di sini Rumi menikah
dengan Jawhar Khatun putri Lala Syarif al-Din pada usia 18 tahun. Pada tahun
1228 ia dan keluarganya pindah ke Konya setelah dapat undangan dari sultan 'Ala
al-Din Kayqabad. Di sini Baha'al-Din Walad sangat dihormati oleh sultan dan
menjadi pembimbing spiritualnya. Bahkan sang penguasa memberinya gelar
kehormatan "Sultan al-ulama (rajanya para ulama)". Baha'al-Din Walad,
sang guru dan da'i kondang ini memperoleh ketenaran dan posisi terhormat hingga
wafat pada tahun 1230.
Setelah
ayahnya meninggal, Rumi mengambil posisi ayahnya sebagai penasehat para ulama
konya dan murid-murid ayahnya. Dan kurang lebih satu tahun dari kematian ayahnya,
atas anjuran gurunya Burhan al-Din Rumi meneruskan pendidikannya di Aleppo dan
mengunjungi beberapa madrasah yang dibangun oleh al- Malik al-Zhahir. Dari sini
ia pindah ke Damaskus dan mempunyai kesempatan emas untuk bercakap dengan
tokoh-tokoh besar, seperti Muhy al-Din bin 'Arabi, Sa'ad al-Din Al-Hamawi,
Utsman Al-Rumi, Awhad al-Din bin Arabi, dan Shadr al-Din al-Qunyawi. Pada tahun
1236 M Rumi kembali ke Konya dan menyibukkan diri dengan menuntut ilmu dan
memberikan bimbingan spiritual sampai gurunya meninggal dunia pada tahun 1241
M.
Selama
bertahun-tahun Rumi menikmati popularitasnya yang tinggi dan menempati posisi
yang sangat dihormati sebagai seorang pemimpin. Tetapi pada tahun 1244 seorang
Darwisy misterius, Syams al-Din Tabrizi datang ke Konya dan menjumpai Rumi.
Perjumpaan ini telah mengubah Rumi dari seorang Teolog terkemuka menjadi
seorang penyair mistik yang sangat terkenal. Karena kuatnya pesona kepribadian
Syams, Rumi lebih memilih meninggalkan kegiatannya sebagai guru dan da'i
profesional untuk mengabdikan diri kepada Syams yang kini menjadi guru
spiritualnya, dan untuk memperkuat ikatannya untuk beberapa waktu mereka tidak
pernah terpisah. Tetapi keadaan ini membuat murid-murid Rumi marah dan cemburu
karena tidak mendapat bimbingan spiritual akibatnya mereka menyerang Syams
dengan kekerasan dan ancaman, sehingga ia meninggalkan Rumi menuju Damaskus.
Perpisahan
ini dirasa menyakitkan oleh Rumi dan menghunjam perasaan begitu mendalam..
karena itu ia mengutus anaknya sultan Walad untuk memohon Syams agar kembali ke
Konya. Rumi bahagia bisa jumpa lagi dengan sang guru, sehingga apa
yang dulu terjadi terulang
kembali. Hal ini membuat murid-murid Rumi
menjadi semakin marah
karena cemburu dan benci, akibatnya sekali
lagi Syams diserang dengan
lebih hebat lagi dari sebelumnya. Situasi ini mendorong syams untuk mencari
perlindungan ke Damaskus. Kemudian Rumi menyusul dan mencarinya sendiri
ke Damaskus tetapi itu tidak berhasildan kembali ke Konya dengan tangan hampa.
Sebagai
tanda cintanya kepada Tabrizi, Rumi menulis kumpulan puisi yang kemudian
dikenal dengan Divan-e Shams-e Tabrizi. Puisi itu adalah :
Kenapa aku harus mencari?
Aku sama dengannya
Jiwanya berbicara kepadaku
Yang kucari adalah diriku
sendiri!
Sepuluh
tahun setelah kematian Tabrizi, Rumi kem udian
mengubah ghazal (puisi cinta) dan dikumpulkannya dalam Divan-e
Kabir atau Diwan Agung. Konsep cinta
dan keindahan membuat ajaran Rumi berbeda dengan aliran tarekat
lain. Sementara sejumlah tarekat saat itu lebih banyak berkonsentrasi
untuk menyempurnakan diri menuju insan kamil lewat ibadah, wirid, atau
menyodorkan faham ketauhidan baru. Penyatuan diri dengan Tuhan (wihdatul
wujud) yang
berkembang berabad-abad sebelum Rumi di Bagdad adalah salah satu cara
pencapaian menuju Tuhan yang tidak dipilih Rumi.
Sebagai
seorang hakim yang paham syariat, Rumi tidak memasukkan dirinya dalam ritual
yang kontroversial. Dan sebagai seorang seniman, ia memiliki cara sendiri dalam
mencapai kesempurnaan dalam beragama tanpa harus menjadi ekstrem. Ia memanfaatkan
puisi, musik dari seruling dan gitar [rebab] untuk mengiringi dzikir. Cara ini
kemudian dikenal dengan sema’ yang berarti mendengar. Dengan arti yang sedikit
berbeda, pesantren-pesantren di Jawa memiliki ritual bernama semaan.
Setelah
kembali ke Konya, Rumi mendirikan Tarekatnya sendiri, kira-kira 15 tahun
setelah itu kesehatan Rumi menurun dan tak lama kemudian ia sakit. Akhirnya
pada hari minggu tanggal 16 Desember 1273 mawlana Rumi menghembuskan
nafasnya yang terakhir di kota Konya. Rumi meninggal dan dikubur dalam Kubah
Hijau (Qubat-ul-Azra’) yang bertuliskan “Saat kami meninggal, jangan cari
kuburan kami di tanah, tapi carilah di hati manusia.” Namun ritual sema’ itu
tak ikut mati. Para pengikutnya, terutama anaknya, Sultan Veled Celebi,
melembagakan ajaran itu dalam tarekat bernama Maulawiyah atau Mevleviye.
Dalam perkembangannya,
aliran sufi ini mampu menarik perhatian para petinggi di Kesultanan Ottoman.
Bahkan di masa inilah Maulawiyah mampu menghasilan sejumlah penyair dan musisi
legendaris seperti Sheikh Ghalib, Ismail Ankaravi yang berasal dari Ankara, dan
Abdullah Sari. Bahkan ada yang mengatakan masuknya nay atau seruling ke dalam
peradaban Eropa adalah berkat merambahnya aliran Maulawiyah ke daerah “jajahan”
Ottoman di Eropa.
Dengan
aliran inilah ajaran cinta Rumi tersebar ke seluruh dunia. Manusia diciptakan
dengan cinta untuk cinta. “Semua cinta adalah jembatan menuju Sang Maha Kasih.
Karenanya, yang tak pernah merasakan cinta, tak akan pernah mengetahuinya,”
kata Rumi.
Wajah
Islam yang sejuk dan indah telah lama menyentuh Amerika. Pengenalan itu dibawa
para sufi antara lain ulama dan ahli musik India, Hazrat Inayat Khan pada 1910.
Sejak itu benih tasawuf bersemi di bumi Amerika. Salah satu ordo yang
berkembang pesat adalah Tarekat Maulawiyah. Bermarkas di Amerika Utara, tarekat
ini dipimpin Shaikh Kabir Helminski. Bersama Camille Helminski, isterinya,
keduanya membentuk organisasi dalam pengajaran spiritual The Treshold Society
yang menyedot perhatian ratusan ribu orang. Kabir ditunjuk menjadi shaikh (mursyid)
oleh almarhum Dr. Celaleddin Celebi dari Turki, pemimpin Tarekat Maulawiyah dan
penerus generasi ke-21 dari Jalaluddin Rumi, pendiri tarekat itu.
Kabir
menulis sejumlah buku tasawuf dan menerjemahkan beberapa karya Rumi. Dia orang
muslim pertama yang diminta memberikan kuliah tentang spiritualitas di Harvard
Divinity School. November lalu, mestinya Kabir berkunjung ke Jakarta untuk
berceramah, namun acara itu batal. Akhir Ramadan lalu, wartawan TEMPO Kelik M.
Nugroho mewawancarai Kabir melalui surat elektronik. Kutipannya: Apakah
Threshold Society itu? The Threshold Society (Masyarakat Ambang Pintu) adalah
sebuah yayasan nirlaba yang bergerak dalam bidang pendidikan untuk pengembangan
spiritual dengan tradisi tarekat Maulawiyah. Tujuannya, dalam pengertian luas
untuk mengajarkan prinsip-prinsip pencapaian pengalaman spiritual. Pelatihan
ini terbuka untuk semua orang tanpa membedakan agama dan kepercayaan yang
dianut.
Ajarannya
bersumber dari prinsip kerohanian yang termaktub dalam Alquran, khususnya
seperti yang dianut para sufi besar semacam Bahauddin Naqshaband, Muhyiddin Ibn
Arabi, dan yang terpenting bagi kami, Jalaluddin Rumi. Ketika kemanusiaan
digerus oleh benturan berbagai kebudayaan, krisis ekologi, dan perubahan sosial
yang sangat cepat, kami ingin mempromosikan kebenaran cinta dan pengetahuan
Yang Mahakuasa melalui pengalaman langsung dan personal.
Untuk
mencapai tujuan ini, kami mengungkapkan dan berbagi prinsip-prinsip inti dalam
pengembangan spiritual, mengakui dan mengembangkan kemitraan yang sejati antara
laki-laki dan perempuan, mengakui kemenyatuan dan kesalingtergantungan semua
manusia dan semua makhluk hidup, dan membantu merealisasikanya dalam hidup yang
harmonis sesama makhluk dan lingkungan alam. Cara lain yang juga kami tempuh,
kami mengembangkan eskpresi yang kontemporer dari tradisi tasawuf yang klasik.
Menciptakan format yang memungkinkan individu-individu dan kelompok-kelompok
untuk menjadi matang dalam tradisi ini dan mencecap kenikmatan tasawuf, dan
akhirnya, memberikan sumbangan nyata bagi kebudayaan melalui seni, musik, dan
sastra.
The
Threshold Society memiliki ratusan anggota aktif dan ratusan ribu orang di
dunia yang pernah tersentuh oleh program dan publikasinya. Hingga tiga tahun
yang lalu, penerbit Threshold adalah salah satu penerbit terkemuka di Barat
untuk tema tasawuf. Namun belakangan kami memutuskan—agar lebih efektif—untuk
memberikan lisensi buku-buku kami ke penerbit-penerbit besar dan memusatkan
usaha kami pada pengajaran dan penulisan.
Manusia,
termasuk orang Amerika, memiliki kebutuhan untuk bermasyarakat, khususnya
masyarakat yang berbagi nilai-nilai spiritual. Nilai-nilai sufistik sangat
penting untuk memperbaiki perilaku masyarakat. Adab (akhlak,
Red.) ditekankan secara khusus dalam tradisi Mawlawiyah. Bagian penting dari
pendidikan spiritual adalah mengembangkan kapasitas masyarakat untuk kemitraan.
Dan komunitas pecinta Tuhan (Threshold, Red.) adalah wahana untuk mengembangkan
kapasitas ini.
Threshold
telah mensponsori empat tur Darwis Berpusar dari Turki ke Amerika Utara (darwis
adalah sebutan lain untuk sufi, Red.). Itu karena banyak orang yang
membutuhkannya, dan kami menanggapinya. Tarekat Mawlawiyah mempunyai upacara
yang indah, yang disebut Sama', yang terdiri dari ekspresi ibadah dan dalam
waktu yang sama mencakup sebuah tradisi upacara dan musik spiritual. Ketika
kami berkeliling ke kota-kota besar Amerika Utara, upacara ini menjadi salah
satu peristiwa kebudayaan yang paling populer di musim itu. Banyak pengamat
yang memuji getaran spiritualitas yang dirasakan setelah menyaksikan upacara
itu. Tentu kami juga mempunyai orang-orang Amerika yang terampil dalam
menyajikan upacara Sema. Suatu kali kami diundang ke acara
pertemuan antar-iman di Katedral Nasional Washington, tempat ibadat Presiden
Amerika Serikat. Ada sekitar 2.000 orang non-muslim yang ikut menyenandungkan
zikir dan menyimak la ilaaha illallah begitu sejumlah darwis
Mawlawiyah Amerika berpusar di panggung. Salah satu uskup Washington mengatakan
bahwa pandangannya tentang spiritualitas semakin kaya malam itu!
Rumi
adalah figur manusia universal. Ia ibarat sebuah gerbang raksasa bagi
kemanusiaan. Ratusan ribu orang membaca puisinya yang menyentuh. Dia memiliki
obat untuk menyembuhkan luka-luka budaya Barat, dan untuk kemanusiaan itu
sendiri. Inti kebenaran yang disampaikan Rumi, baik melalui tulisan atau
percakapan, adalah kemaha kasih, Maha pemurah, dan kemaha indahan Tuhan.
Pendekatan
spiritual dari tarekat Mawlawiyah itu lebih artistik dan kreatif daripada
formalistik. Dalam kata lain, kami menyentuh masyarakat melalui Keindahan dan
Kehalusan Tuhan. Ketika orang-orang jatuh cinta pada Tuhan, mereka pasti akan
berkembang dari sisi intelektual dan moral. Namun kami memusatkan perhatian
pada transformasi jiwa dan kondisi batin yang penuh syukur dan zikir pada
Tuhan.
Ciri Utama Tarekat Maulawiyah
Yang
membuat tarekat ini beda adalah dakwah dengan cara menggunakan tarian-tarian
yang disebut sama’ dalam bentuk tarian berputar, dan telah
menjadi ciri khas dasar bagi tarekatnya. Akibatnya, tarekat Rumi di Barat
dikenal sebagai The Whirling Darvish (Para Darwisy
yang Berputar). Tarian suci ini dimainkan oleh para Darwish (fuqara’)
dalam pertemuan-pertemuan (majlis) sebagai dukungan eksternal terhadap
upacara-upacara (ritual mereka).
Sama’ dilembagakan
Rumi pertama kali setelah hilangnya gurunya yang sangat dicintai, Syams al-Din
Tabrizi. Sejak saat itu Rumi menjadi sangat sensitif terhadap musik, sehingga
tempaan palu dari seorang pandai besi saja cukup untuk membuatnya menari dan
berpuisi.
Bagian-bagian/tahap-tahap
dalam sama’ terdiri dari dua bagian. Bagian pertama terdiri
dari Naat (sebuah puisi yang memuji Nabi Muhammad), improvisasi ney (seruling)
atau taksim dan “Lingkaran Sultan Walad”. Bagian kedua terdiri
dari empat salam, musik instrumental akhir, pembacaan ayat-ayat suci al-Quran,
dan doa. Inilah rinciannya:
a. Bagian pertama
1.
Naat,
Semacam musik religius. Naat dalam dalam musik maulawi disusun oleh Buhuriz
Musthafa' Itri (1640-1712), tetapi puisinya adalah puisi Rumi.
2.
Taksim.
Taksim adalah sebuah improvisasi
terhadap setiap makam atau mode, yaitu konsep penciptaan musik yang menentukan
hubungan-hubungan nada, nada awal yang memiliki kontor dan pola-pola musik.
Bagian ini merupakan bagian yang sangat kreatif dari upacara Maulawi.
3.
Lingkaran/putaran sultan Walad, ini
disumbangkan kepada upacara oleh putra sulung mawlana, sultan Walad. Selama
putaran ini para darwisy yang ikut bagian dalam putaran tari berjalan
mengelilingi sang samahane (ruang upacara) tiga kali dan
menyapa satu sama laindi depan pos (lokasi tempat pemimpin tekke atau pemimpin
upacara berdiri). Dengan cara ini mereka menyampaikan "rahasia" dari
yang satu kepada yang lain.
b. Bagian kedua (empat
salam), yaitu :
1.
Salam
pertama,melodi biasanya panjang, irama
yang digunakan biasanya disebut "putaran berjalan" (Devr-i Revan).
Bitnya adalah 14/8.
2.
Salam
kedua, pola irama dari salam ini
disebut "Evfer" dan terdiri dari 9/8 bit.
3.
Salam
ketiga, dibagi kedalam dua bagian yang
meliputi melodi dan irama. Bagian pertama disebut
"putaran"(The cyicle) bitnya 28/4. bagian kedua disebut "Yoruk
semai" bitnya 6/8.
4.
Salam
keempat, pola irama ini juga
"Efver"(9/8), yakni irama lambat dan panjang untuk menurunkan
elastasi sehingga sang darwisy bisa konsentrasi kembali. Tiap-tiap salam
dihubungkan melalui nyanyian. Padsa bagian pertama dan kedua seleksi diambil
dari Divan-i Syams atau mastnawi, pada bagian ketiga puisi mawlawi lain
dinyanyikan.
c. Musik Instrumental
Dengan
berakhirnya salam keempat berarti bagian oral selesai "yuruk semai"
kedua dalam pola-pola 6/8 adalah akhir dari upacara. Setelah seleksi
instrumental ini ada taksim seruling. Kadang-kadang musik ini dapat dimainkan
melalui alat musik petik (senar).
d. Membaca Al-Qur'an atau Doa
Setelah musik selesai,
seorang hafizh di antara para penyanyi membaca ayat-ayat al-qur'an. Sama' terus
berlangsung sampai bacaan al-Qur'an dimulai. Ketika hafizh mulai bacaan
Qur'annya para penari tiba-tiba berhenti dan mundur ke pinggir ruangan dan
duduk. Setelah ia selesai pimpinan sama' berdiri dan mulai berdoa di depan sang
syaikh, doa ini biasanya ditujukan untuk kesehatan dan hidup sang sultan atau
para penguasa negara.
Adapun ajaran-ajaran
Rumi, pada dasarnya dapat dirangkum dalam trilogi metafisik, yaitu Tuhan,
Alam dan Manusia.
1.
Ajaran
Maulana Rumi tentang Tuhan
Pada
gilirannya telah dikembangkan dari pernyataan Al-Quran sendiri yang menyatakan
bahwa Tuhan adalah “Yang Awal, Yang Akhir, Yang Lahir, Yang Batin”. Tuhan “Yang
Awal” bagi Rumi, berarti bahwa Ia adalah sumber yang dari-Nya segala sesuatu
berasal. Semua manusia yang tinggal di bumi ini berasal dari Tuhan, walaupun
kini ia telah melakukan perjalanan atau pengembaraannya yang jauh. Begitu
jauhnya mereka mengembara, sehingga banyak diantara manusia yang melupakan
Tuhannya.
Beralih
kepada Tuhan sebagai “Yang Akhir”. Ini diartikan sebagai tempat kembali segala
yang ada di dunia ini. Rumi juga termasuk sufi yang memandang Tuhan sebagai
keindahan. Sebuah hadist mengatakan bahwa Tuhan itu Maha Indah, dan mencintai
keindahan. Tentu saja sebagai yang Maha Indah, Tuhan adalah tujuan dari semua
jiwa yang mencinta.
Tuhan
sebagai “Yang Lahir”, bagi Rumi dunia yang lahir adalah fenomena, yang
menyimpan didalamnya realitas yang sejati. Dengan demikian dunia lahir adalah
petunjuk bagi adanya yang batin. Bagi Rumi tak mungkin ada yang lahir tanpa ada
yang batin. Jadi sekalipun yang lahir, sepintas lalu berbeda dengan yang batin,
tetapi yang lahir merupakan jalan menuju realitas yang tersembunyi di dalamnya.
Dengan
demikian, Tuhan sebagai “Yang Batin”, adalah realitas yang lebih mendasar,
sekalipun untuk dapat memahaminya kita memerlukan mata lain yang lebih peka.
Jadi tidak semua orang dapat melihat kecantikan Tuhan yang tersembunyi di balik
fenomena alam. Kebanyakan kita adalah pemerhati fenomena dank arena itu tidak
bisa melihat keindahan batin yang tersembunyi di balik fenomena lahiriah alam.
2.
Konsep Rumi tentang alam semesta
Bahwa motif penciptaan
alam oleh Tuhan adalah cinta. Cintalah yang telah mendorong Tuhan mencipta
alam, sehingga cinta Tuhan merembas,sebagai napas Rahmani, kepada seluruh
partikel alam, dan menghidupkannya, sehingga berbalik mencintai sang
penciptanya. Bagi Rumi alam bukanlah benda mati, tetapi hidup, berkembang
bahkan memiliki kecerdasan, sehingga mampu mencintai dan dicintai, berkat
sentuhan cinta Tuhan, maka ia menjadi makhluk yang hidup, bergerak penuh energy
kearah Tuhan sebagai yang Maha baik dan Sempurna dan cintailah alam, niscaya
alampun akan memberikan yang terbaik. Bagi Mawlana, alam bukanlah makhluk mati
tetapi hidup, berkembang bahkan memiliki kecerdasan sehingga mampu mencintai
dan dicintai. Dalam salah sati syairnya, Rumi
pernah menggambarkan hubungan langit dan bumi seperti sepasang suami-istri.
3.
Konsep Rumi tentang manusia
Manusia memiliki posisi
yang sangat istimewa baik dengan kaitannya dengan alam maupun dengan Tuhan.
Dengan kaitannya dengan alam, Rumi memandang manusia adalah tujuan penciptaan
alam yakni sebagai tempat beribadah bagi manusia. Dan dalam kaitannya dengan
Tuhan, manusia menempati posisi yang tinggi sebagai wakil-Nya di muka
bumi. Ajaran Jalal al-Din Rumi lainnya yang sangat menarik tentang manusia
adalah kebebasan memilih bagi manusia. Kebebasan memilih ini sangat penting
bagi perkembangan dan aktualitas diri manusia. Manusia terlahir tidak dalam
keadaan yang sempurna, melainkan lahir dengan sejuta potensi. Nah manusia perlu
memiliki kebebasan memilih untuk mengaktualkan segala potensi yang dimilikinya
itu. Dengan kebebasan inilah manusia dapat mencapai titik kesempurnaannya,
sebagaiinsan kamil. Tetapi akan kebebasan yang sama pula, manusia
memiliki resiko yang besar untuk menjadi makhluk yang terendah, kalau ia
menghianati amanatnya, dengan misalnya menyalahgunakan kebebasannya untuk
menuruti hawa nafsunya. Selain itu, Manusia
juga memiliki kemampuan untuk memahami sesuatu atau dengan kata lain mampu
memiliki ilmu pengetahuan. Pengetahuan manusia bertingkat-tingkat sesuai dengan
alat yang digunakan untuk tujuan itu. Ada pengetahuan indrawi, pengetahuan yang
didasarkan penalaran akal, dan pengetahuan melalui persepsi spiritual
(intuisi). Dzikirnya disertai tarian mistik dengan cara keadaan tidak
sadar, agar dapat bersatu dengan tuhan. Penganut-penganutnya bersifat pengasih
dan tidak mengharapkan kepentingan diri sendiri, serta hidup sederhana menjadi
teladan bagi orang lain.
Awalnya tarekat ini lebih dikenal di Iran dan Transoksania (Asia
Tengah) dengan nama Isyqiyah, kemudian berkembang ke di wilayah Turki
Usmani, yang dikenal dengan nama Bistamiyah. Selanjutnya pada abad ke-15
Tarekat Syattariyah adalah aliran tarekat yang pertama kali
muncul di India.
Nama tarekat ini dinisbatkan kepada Abdullah Syathar
(w.1429 M), tokoh yang mempopulerkan dan berjasa mengembangkannya. Berikutnya
Tarekat Syaththariyah berkembang luas ke Tanah Suci (Mekah dan Medinah) dibawa
oleh Syekh Ahmad Al-Qusyasi (w.1661/1082) dan Syekh Ibrahim al-Kurani
(w.1689/1101). Dari dua ulama ini Takrekat Syathariyah diteruskan oleh Syekh
‘Abd al-Rauf al-Sinkili ke nusantara, kemudian dikembangkan oleh muridnya Syekh
Burhan al-Din ke Minangkabau.
Tarekat Syathariyah sesudah Syekh Burhan al-Din
berkembang pada 4 (empat) kelompok, yaitu; Pertama. Silsilah yang diterima dari
Imam Maulana. Kedua, Silsilah yang dibuat oleh Tuan Kuning Syahril Lutan
Tanjung Medan Ulakan. Ketiga, Silsilah yang diterima oleh Tuanku Ali Bakri di
Sikabu Ulakan. Keempat; Silsilah oleh Tuanku Kuning Zubir yang ditulis dalam
Kitabnya yang berjudul Syifa’ aI-Qulub.
Berdasarkan silsilah seperti tersebut di atas, maka
dapat disimpulkan bahwa tarekat Syaththariyah di Minangkabau masih terpelihara
kokoh. Untuk mendukung ke1embagaan tarekat, kaum Syathariyah membuat lembaga
formal berupa organisasi sosial keagamaan Jamaah Syathariyah Sumatera Barat,
dengan cabang dan ranting-ranting di seluruh alam Minangkabau, bahkan di
propinsi – tetangga Riau dan jambi. Bukti kuat dan kokohnya kelembagaan tarekat
Syaththariyah dapat ditemukan wujudnya pada kegiatan bersafar ke makam Syekh
Burhan al-Din Ulakan.
Adapun ajaran tarekat Syaththariyah yang berkembang di
Minangkabau sama seperti yang dikembangkan oleh ‘Abd al-Rauf al-Sinkili.
Masalah pokoknya dapat dikelompokkan pada tiga bagian, yaitu :
1. Ketuhanan dan hubungannya dengan alam
Paham ketuhanan dalam
hubungannya dengan alam ini seolah-olah hampir sama dengan paham Wahdat a1-
Wujud, dengan pengertian bahwa Tuhan dan alam adalah satu kesatuan atau Tuhan
itu immanen dengan alam, bedanya oleh al-Sinkili ini dijelaskannya dengan
menekankan pada trancendennya Tuhan dengan alam. la mengungkapkan wujud yang
hakiki hanya Allah, sedangkan alam ciptaan-Nya bukan wujud yang hakiki.
Bagaimana hubungan Tuhan dengan alam dalam transendennya, al-Sinkili
menjelaskan bahwa sebelum Tuhan menciptakan alam raya (al- ‘a/am), Dia selalu
memikirkan (berta’akul) tentang diri-Nya, yang kemudian mengakibatkan terciptanya
Nur Muhammad (cahaya Muhammad). Dari Nur Muhammad itu Tuhan menciptakan
pola-pola dasar (a/ ‘ayan tsabitah), yaitu potensi dari semua alam raya, yang
menjadi sumber dari pola dasar luar (a/-‘ayan alkharijiyah) yaitu ciptaan dalam
bentuk konkritnya. Ajaran tentang ketuhanan al-Sinkili di atas, disadur
dan dikembangkan oleh Syekh Burhan al-Din Ulakan seperti yang terdapat dalam
kitab Tahqiq. Kajian mengenai ketuhanan yang dimuat dalam kitab Tahqiq dapat
disimpulkan pada Iman dan Tauhid. Tauhid dalam pengertian Tauhid syari’at,
Tauhid tarekat, dan Tauhid hakekat, yaitu tingkatan penghayatan tauhid yang
tinggi.
2.
Insan Kamil atau
manusia ideal
Insan kamil lebih
mengacu kepada hakikat manusia dan hubungannya dengan penciptanya (Tuhannya).
Manusia adalah penampakan cinta Tuhan yang azali kepada esensi-Nya, yang
sebenarnya manusia adalah esensi dari esensi-Nya yang tak mungkin disifatkan
itu. Oleh karenanya, Adam diciptakan Tuhan dalam bentuk rupa-Nya, mencerminkan
segala sifat dan nama-nama-Nya, sehingga “Ia adalah Dia.” Manusia adalah kutub
yang diedari oleh seluruh alam wujud ini sampat akhirnya. Pada setiap zaman ini
ia mempunyai nama yang sesuai dengan pakaiannya. Manusia yang merupakan
perwujudannya pada zaman itu, itulah yang lahir dalam rupa-rupa para Nabi–dari
Nabi Adam as sampat Nabi Muhammad SAW– dan para qutub (wali tertinggi pada satu
zaman) yang datang sesudah mereka. Hubungan wujud Tuhan dengan insan kamil
bagaikan cermin dengan bayangannya. Pembahasan tentang Insan KamiI ini meliputi
tiga masalah pokok: Pertama; Masalah Hati. Kedua Kejadian manusia yang dikenal
dengan a’yan kharijiyyah dan a’yan tsabitah. Ketiga; Akhlak, Takhalli, tahalli
dan Tajalli.
3.
Jalan kepada Tuhan
(Tarekat)
Dalam hal ini Tarekat
Syaththariyah menekankan pada rekonsiliasi syari’at dan tasawuf, yaitu
memadukan tauhid dan zikir. Tauhid itu memiliki empat martabat, yaitu tauhid
uluhiyah, tauhid sifat, tauhid zat dan tauhid af’al. Segala martabat itu
terhimpun dalam kalimah 1a ilaha ilIa Allah. Oleh karena itu kita hendaklah memesrakan
diri dengan La ilaha illa Allah. Begitu juga halnya dengan zikir yang tentunya
diperlukan sebagai jalan untuk menemukan pencerahan intuitif (kasyf) guna
bertemu dengan Tuhan. Zikir itu dimaksudkan untuk mendapatkan al-mawat
al-ikhtiyari (kematian sukarela) atau disebut juga al-mawat al-ma’nawi
(kematian ideasional) yang merupakan lawan dari al mawat al-tabi’i (kematian
alamiah). Namun tentunya perlu diberikan catatan bahwa ma’rifat yang diperoleh
seseorang tidaklah boleh menafikan jalan syari’at.
Sebutan Naqsyabandiyah
pertama kali diperkenalkan oleh Muhammad bin Muhammad Baha’ al-Din al-Uwaisi
al-Bukhari Naqsyabandi yang pada akhirnya dikenal sebagai pendiri Tarekat
Naqsyabandiyah. Beliau dilahirkan di desa Qasr-i-Hinduvan (kemudian bernama
Qasr-i-Arifan) dekat Bukhara pada tahun 1318 M dan di desa ini pula beliau
wafat pada tahun 1389 M. Untuk menjaga prinsip “melakukan perjalanan di dalam
negeri”, sebagian besar hidupnya dihabiskan di Bukhara, Uzbekistan dan
sekitarnya, termasuk Transoksania. Sebagaimana ditulis oleh Omar Ali Shah dalam
buku “Ajaran atau Rahasia dari Tariqat Naqsyabandi” mengatakan bahwa perjalanan
jauh yang dilakukan oleh Baha’ al-Din hanya dua kali, yaitu waktu melaksanakan
ibadah haji saja.
Baha’ al-Din dari awal
memiliki kaitan erat dengan Khawajagan (pada guru dalam mata rantai Tarekat
Naqsyabandi), karena sejak masih bayi beliau diadopsi sebagai anak spiritual
oleh salah seorang dari guru tarekat rumpun Khawajagan yang bernama Baba
Muhammad Sammasi dan Sammasi adalah merupakan pemandu pertamanya dalam
mempelajari ilmu tasawuf, waktu beliau berusia 18 tahun. Yang tak kalah
pentingnya adalah hubungannya dengan penerus (khalifah) Sammasi, yang
bernama Amir Sayyid Kulal al-Bukhari (w. 772 H/1371 H). Dari sinilah beliau
pertama kali belajar tarekat yang didirikannya.
Naqsyabandiyah
merupakan satu-satunya tarekat yang memiliki silsilah penyampaian ilmu
spiritualnya kepada Nabi Muhammad Saw. melalui Khalifah Muslim pertama Abu
Bakar ash-Shiddiq, tidak seperti tarekat-tarekat lain yang asalnya dari
salah satu Imam Syi’ah melalui Khalifah Ali bin Abi Thalib sampai kepada Nabi
Muhammad Saw., kemudian tarekat Naqsyabandiyah dibina oleh 5 (lima) bintang
atau tokoh, yaitu Abu Bakar ash-Shiddiq, Salman al-Farisi, Abu Yazid
al-Bustami, Abdul Khaliq al-Gazdawani dan Muhammad Baha’ al-Din Uwaysi
al-Bukhari, yang terakhir dikenal sebagai Syekh Naqsyaband, yaitu Imam utama
tarekat Naqsyabandiyah.
Dalam perkembangannya
Tarekat Naqsyabandiyah telah tersebar luas di berbagai wilayah. Pertama berdiri
di Asia Tengah, kemudian menyebar ke Turki, Suriah, Afganistan dan India. Di
Asia Tengah, tarekat ini tidak saja berada diperkotaan, tetapi juga sampai ke
pedesaan terdapat Zawiyah (padepokan sufi) dan rumah peristirahatan Naqsyabandi
sebagai tempat berlangsungnya aktivitas keagamaan yang cukup semarak. Di
samping wilayah-wilayah tersebut tarekat ini juga berkembang di Bosnia
Herzegovina dan wilayah Volga Ural. Kemudian pengaruhnya yang paling kuat
terdapat di Turki dan wilayah Kurditan dan yang paling kurang adalah di
Pakistan. Pada masa pemerintahan Soviet, pengaruh Naqsyabandiyah sangat terasa,
yaitu dibawah gerakan “Islam Bawah Tanah” di Kaukasus Asia Tengah, namun di
akhir pemerintahan Soviet pengaruh Naqsyabandiyah mulai berkurang.
Sebagai pendiri tarekat
Baha’ al-Din Nasyabandi dalam melakukan kegiatan dan penyebaran tarekat ini
mempunyai khalifah utama, yaitu Ya’qub Carkhi, Ala’ al-Din Aththar dan Muhammad
Parsa, kemudian yang paling menonjol dalam perkembangan selanjutnya adalah
‘Ubaidillah Ahrar. ‘Ubaidillah terkenal dengan Syekh yang banyak memilki lahan,
kekayaan dan harta. Beliau mempunyai watak yang sederhana dan ramah, tidak suka
kesombongan dan keangkuhan. Dia menganggap kesombongan dan keangkuhan dapat
merendahkan tingkat moral dan melemahkan tali pengikat spiritual seseorang.
‘Ubaidillah juga berjasa dalam meletakan ciri khas tarekat ini, yang terkanal
dalam menjalin hubungan akrab dengan penguasa saat itu, sehingga ia mendapat
dukungan yang cukup kuat. Selanjutnya tarekat ini mulai menyebarkan gerakannya
ke luar Islam.
Dalam perkembangan
berikutnya Tarekat Naqsyabandiyah menyebar ke Nusantara, yang dibawa dari
Mekkah oleh para pelajar Indonesia yang belajar di Timur Tengah, kemudian
menyebar ke seluruh pelosok tanah air, sehingga dikenal beberapa tokoh
Tarekat Naqsyabandiyah di Nusantara, antara lain :
1.
Muhammad Yusuf, yaitu Yang Dipertuan Muda
di Kepulauan Riau sebagai Sultan dan mempunyai istana di Pulau Penyengat dan di
Lingga.
2.
Di Pontianak, sebelumnya sudah ada Tarekat
Naqsyabandiyah Mazhariyah. Di sini Tarekat Naqsyabandiyah dikembangkan oleh
Ismail Jabal yang merupakan teman dari Usman al-Puntani (ulama terkenal di
Pontianak yang menganut Tasawuf).
3.
Di Madura, Tarekat Naqsyabandiyah sudah ada
pada abad ke-11 hijriyah. Tarekat Naqsyabandiyah Mazhariyah merupakan tarekat
yang sangat berpengaruh di Madura dan beberapa tempat lainnya yang penduduknya terdiri
dari orang-orang yang berasal dari Madura, seperti Surabaya, Jakarta dan
Kalimantan Barat.
4.
Di Minangkabau, Tarekat Naqsyabandiyah
adalah tarekat yang paling padat pengikutnya. Tokohnya adalah Jalaluddin dari
Cangking, Abdu al-Wahab, Tuanku Syekh Labuan di Padang. Perkembangannya di
Minangkabau sangat pesat hingga sampai ke Silungkang, Cangking, Singkarak dan
Bonjol di Pasaman.
5.
Di Jawa Tengah dikembangkan oleh Muhammad
Ilyas dari Sukaraja dan Muhammad Hadi dari Giri Kusumo. Popongan menjadi salah
satu pusat utama kegiatan Tarekat Naqsyabandiyah di Jawa Tengah.
Ciri-ciri Tarekat
Naqsyabandiyah
Adapun ciri-ciri
tarekat ini Dra.Wiwi Siti Sajaroh,M.Ag dalam buku “Tarekat-tarekat
Muktabarah di Indonesia” memberikan ciri-ciri yang menonjol dalam Tarekat Naqsyabandiyah,
yaitu :
1.
Mengikuti syari’at secara ketat, keseriusan
dalam beribadah dan menolak musik dan tari dalam ibadah dan lebih menyukai
berzikir dalam hati.
2.
Upaya yang serius dalam mempengaruhi
kehidupan dan pemikiran golongan penguasa serta mendekatkan negara kepada
agama. Berbeda dengan tarekat lainnya, tarekat Baqsyabandiyah tidak menganut
kebijaksanaan isolasi diri dalam menghadapi pemerintahan yang sedang berkuasa
saat itu, namun sebaliknya berusaha mengubah pandangan mereka melalui gerakan politiknya.
3.
Membebankan tanggung jawab yang sama kepada
para penguasa sebagai usaha untuk memperbaiki masyarakat.
Mengenai ajaran Tarekat
Naqsyabandiyah dibedakan menjadi dua bagian, yaitu :
1. Azas-Azas
Pengikut Naqsyabandiyah
mengenal sebelas azas Thariqah, delapan dari azas itu dirumuskan oleh Abdu
al-Khalid Gazdawani dan tiga ditambahkan oleh Baha’ al-Din Naqsyaband.
Masing-masing azas itu disebutkan dalam beberapa risalah, termasuk dalam dua
kitab pegangan utama para pengikut Khalidiyah. Kitab Jami al-Ushul fi al-Auliya
karya Ahmad Dhinya’ al-Din Gumusykhanawi, kitab ini dibawa ke tanah air oleh
sebagian besar jamaah haji Indonesia pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20.
Kitab yang satu lagi adalah Tanwir al-Qulub karya Muhammad Amin al-Kurdi
dicetak ulang di Singapura dan di Surabaya, kitab ini masih dipakai secara
luas. Pembahasan kitab-kitab ini sebagian besar mirip dengan pembahasan Taj
al-Din Zakarya (‘kakek” spiritual Yusuf Makassar) sebagaimana dikutip oleh
Trimingham. Azas-azas itu ditulis dalam bahasa Persi (bahasa para Khawajagan
dan kebanyakan bahasa penganut Naqsyabandiyah India). Azas-Azas Abdu al-Khaliq
itu adalah :
1.
Hush dar dam “sadar sewaktu bernafas”.
Yaitu suatu latihan konsentrasi, sufi yang bersangkutan harus sadar bahwa
setiap menarik nafas, menghembuskan nafas dan ketika berhenti sebentar di
antara keduanya. Perhatian pada nafas dalam keadaan sadar bahwa Allah yang
memberikan kekuatan spiritual dan membawa orang lebih dekat kepada Allah. Lupa
atau kurang perhatian berarti kematian spiritual dan membawa orang jauh dari
Allah (al-Kurdi).
2.
Nazar bar qadam “menjaga langkah”. Yaitu
sewaktu berjalan, sang murid harus menjaga langkah-langkahnya, sewaktu duduk
memandang lurus ke depan. Hal ini dilakukan supaya tujuan-tujuan (ruhani)-nya
tidak dikacaukan oleh segala hal di sekelilingnya yang tidak relevan.
3.
Safar dar watan “melakukan perjalanan di
tanah kelahiran”. Yaitu melakukan perjalanan batin dengan meninggalkan segala
bentuk ketidaksempurnaannya sebagai manusia menuju kesadaran akan hakikatnya
sebagai makhluk yang mulia, untuk mencari mursyid yang sejati, kepada siapa
seseorang sepenuhnya pasrah dan dia-lah yang akan menjadi perantaranya dengan
Allah (Gusmusykhanawi).
4.
Yad kard “ingat”, “menyebut”. Yaitu
terus-menerus mengulangi nama Allah, zikir tauhid (la ilaha illallah) atau
formula zikir yang diberikan oleh seorang guru, dalam hati atau dengan lisan.
Oleh sebab itu penganut Naqsyabandiyah, zikir tidak saja dilakukan dengan berjamaah
atau sendirian setelah selesai shalat, akan tetapi harus terus-menerus, agar
dalam hati selalu bersemayam kesadaran terhadap Allah secara permanen.
5.
Baz gasyt “kembali”, “memperbaharui”. Yaitu
mengendalikan hati agar tidak cenderung kepada hal-hal yang menyimpang
(ngelantur), seorang murid harus membaca “ilahi anta maqsudi wa ridhaka
mathlubi” (Ya Tuhanku, Engkaulah tempatku memohon dan keridhaan-Mu-lah yang ku
harapkan) yang dilakukan setelah membaca zikir tauhid atau ketika berhenti
sebentar di antara dua nafas. Sewaktu mengucapkan zikir, arti dari kalimat ini
harus selalu berada di hati seseorang, supaya perasaannya yang halus mengarah
kepada Allah semata.
6.
Nigah dasyt “waspada”. Yaitu menjaga
pikiran dan perasaan terus-menerus ketika melakukan zikir tauhid, agar pikiran
dan perasaan tidak menyimpang dari kesadaran tetap terhadap Tuhan serta untuk
memelihara pikiran dan perilaku seseorang agar sesuai dengan makna kalimat
tersebut. Al-Kurdi mengutip seorang guru “Ku jaga hatiku selama sepuluh hari, kemudian
hatiku menjagaku selama dua puluh tahun”
2. Zikir dan Wirid
Sebagaimana kebanyakan
tarekat, teknik dasar Naqsyabandiyah dalam melakukan zikir adalah dengan
menyebut nama Tuhan secara berulang-ulang ataupun menyatakan kalimat la
ilaha illallah. Tujuan zikir ini adalah untuk mencapai kesadaran terhadap
Allah yang lebih langsung dan permanen. Teknik pertama, Tarekat Naqsyabandiyah
membedakan dirinya dengan aliran lain dalam hal zikir yang lazimnya zikir diam
(khafi “tersembunyi” atau qalbi “dalam hati”), sebagai lawan dari zikir keras
(dhahri) yang lebih disukai tarekat-tarekat lain. Kedua, jumlah hitungan zikir
yang harus diamalkan lebih banyak dari kebanyakan tarekat.
Dalam hal zikir ini,
Tarekat Naqsyabandiyah memiliki dua macam zikir, yaitu:
1.
Zikir ism al-zat ”mengingat yang hakiki”
dan zikir tauhid “mengingat keesaan”. Yang terdiri dari pengucapan asma Allah
secara berulang-ulang dalam hati, dengan jumlahnya ribuan kali (dihitung dengan
tasbih) sambil memusatkan perhatian kepada Tuhan semata.
2.
Zikir Tauhid (juga zikir tahlil
atau zikir nafty wa itsbat), terdiri atas bacaan la ilaha illallah
dengan perlahan disertai dengan pengaturan nafas sambil membayangkan seperti
menggambar jalan (garis) melewati tubuh. Kalimat la digambar dari daerah
pusar terus ke ubun-ubun, kalimat ilaha turun ke kanan dan berhenti di
ujung bahu kanan, di situ kalimat berikutnya illa dimulai dengan turun
melewati bidang dada sampai ke jantung dan ke arah jantung inilah kata Allah
dihunjamkan dengan sekuat tenaga dengan membayangkan jantung itu mendenyutkan
nama Allah dan membara, memusnahkan segala kotoran.
Selanjutnya Zikir ini memiliki tujuh
tingkatan, yaitu :
1.
Mukasyah. Yaitu mula-mula zikir dengan nama Allah
dalam hati sebanyak 5000 kali sehari-semalam, kemudian dilaporkan kepada Syekh
untuk dinaikan jumlah zikirnya menjadi 6000 kali sehari-semalam. Zikir 5000 dan
6000 ini dinamakan maqam pertama.
2.
Lathifah, zikir ini antara 7000 sampai 11.000 kali
sehari-semalam. Zikir ini terbagi tujuh macam, yaitu : qalb (hati, ruh (jiwa),
sirr (nurani terdalam), khafi (kedalaman tersembunyi), akhfa (kedalaman paling
tersembunyi) dan nafs nathiqah (akal budi). Lathifah ketujuh kull jasad
sebenarnya tidak merupakan titik, tetapi luasnya meliputi seluruh tubuh. Bila
seseorang telah mencapai tingkat zikir yang sesuai dengan lathifah terakhir
ini, seluruh tubuh akan bergetar dalam nama Tuhan.
3.
Nafi’ Itsbat, pada tahap ini atas
pertimbangan syekh, zikirnya diteruskan dengan kalimat la ilaha illa Allah.
Ini merupakan maqam ketiga.
4.
Waqaf Qalbi.
5.
Ahadiyah.
6.
Ma’iyah.
7.
Tahlil, setelah sampai pada maqam terakhir ini,
maka seorang murid akan memperoleh gelar khalifah, dengan ijazah dan
berkewajiban menyebarluaskan ajaran tarekat ini dan diperbolehkan mendirikan
suluk yang dipimpin oleh mursyid.
Tarekat Suharawardiyah
dinisbahkan kepada Dhiya’ al-Din Abu Najib al-Suhrawardi (w. 564 H/1168 M),
didirikan oleh keponakan dan sekaligus muridnya Shihab al-Din Abu Hafs Umar
al-Suhrawardi yang lahir di Suhraward pada tahun 539 H/1144 M dan wafat di
Baghdad pada tahun 632 H/1234 M. Di mana pada awalnya Abu Hafs Umar memperoleh
bimbingan agama tarekat dari pamannya Dhiya’ al-Din Abu Najib al-Suhrawardi di
sebuah Ribath yang terletak di tepi sungai Tigris, setelah itu dia merantau ke
Bashrah dan Baghdad untuk menimba berbagai ilmu pengetahuan dari sejimlah
syekh, seperti Syekh Abd al-Qadir al-Jailani, Syekh Muhammad ibn Abd Allah dan
Syekh Abd al-Qasim ibn Fadhlan. Sepulang dari rantau dengan membawa ilmu,
beliau ditugaskan oleh pamannya sebagai pengajar di Ribath, hingga akhirnya
Suhrawardi termasyhur di segala penjuru.
Kemasyhuran Suhrawardi
di dukung oleh pemerintah di zamannya, Khalifah Nasir (1180-1225 M)
menginginkan bangkitnya kehidupan rohani yang lebih baik di seluruh dunia
Islam, sehingga terciptanya persatuan atau hubungan baik antara pengasa muslim
untuk menghadapi ancaman tentara Mongol. Khalifah kemudian menunjuk Abu Hafs
Umar al-Suhrawardi sebagai duta ke sejumlah penguasa muslim dan membangkitkan
semangat futuwah (semangat kepemudaan) di kalangan umat. Syekh
al-Suhrawardi menyanggupi tugas itu dan kemudian menemui beberapa khalifah,
seperti Sultan Ala’ al-Din Kaiqubad I (Sultan Bani Saljuk), Sultan al-Malik
al-Adil (Sultan Bani Ayyub) dan Syah Khwarizmi.
Bagaikan “sambil
menyelam minum air” Suhrawardi menunaikan tugas yang diamanatkan oleh khalifah
juga menggunakan kesempatan itu untuk memperkenalkan Ajaran Tarekat Suhrawardiyah
dengan mengajarkannya kepada jama’ah yang menyambutnya di berbagai kota yang
dilewatinya. Di samping itu beliau juga berkoresponden dengan para sufi tentang
berbagai masalah yang dihadapi tasawuf, hal ini bisa dilakukan karena hubungan
baik yang dijalin oleh Suhrawardi dengan para pendukungnya, baik di Baghdad,
maupun ketika mengadakan perjalanan ke berbagai Ribath di Negeri Allepo,
Damaskus dan sebagainya.
Selanjutnya kemasyhuran
Tarekat Suhrawardiyah juga didukung oleh karya tulis Shihab al-Din Abu Hafs
Umar al-Suhrawardi dalam Kitab Awarif al-Ma’arif dan Kitab Kasyf
al-Nasha’ih al-Imaniyah wa Kasyf al-Fadha’if al-Yunaniyah, dimana karya
tulisnya ini menjadi bahan rujukan bagi para sufi, berisi tentang seperangkat
ahwal dan maqamat, berbagai etika dan adab yang harus dilakukan oleh kaum
sufi. Dengan demikian di samping para pengikut Tarekat Suhrawardiyah, Karya
tulisnya ini (Awarif al-Ma’arif) juga ikut berperan dalam penyebaran
ajarannya secara luas, sehingga dikenal di kawasan Irak, Syam, Persia dan
India.
Dalam perkembangan
berikutnya, tarekat ini tersebar ke seluruh dunia, sehingga akhirnya melahirkan
Thaifah yang terorganisir secara reguler. Abd al-Rahman al-Wasithi mengatakan
bahwa, tarekat ini mempunyai banyak cabang yang sulit ditegaskan keberadaannya,
karena sebagian besar Thaifah sufi mengklaim sebagai bagian dari silsilah
Suhrawardi.
Di samping itu Tarekat
Suhrawardiyah pada dasarnya merupakan induk dari sejumlah tarekat, diantaranya
Tarekat Khalwatiyah, Tarekat Shiddiqiyah dan lain sebagainya. Selain itu
tarekat ini juga sampai ke Indonesia, sebab menurut Azyumardi Azra dalam buku
“Jaringan Ulama” mengatakan bahwa, Ahmad al-Qusyasyi selain afiliasi dengan
Tarekat Syathariyah, Chisytiyah, Firdausiyah dan Kubrawiyah dari Ahmad al-Syinawi,
dimana tarekat-tarekat tersebut ada juga di Indonesia.
Sebagaimana ditegaskan
oleh Abu al-Wafa al-Ghanimi al-Taftazani bahwa, ajaran dan ritual Tarekat
Suhrawardiyah terdapat pada kitab Awarif al-Ma’arif yang banyak
membicarakan tentang latihan rohani praktis. Maka dapat dirangkum bahwa ajaran
dan ritual Tarekat Suhrawardiyah itu terdiri dari :
1.
Ma’rifah, yaitu mengenal Allah
melalui sifat-sifat Allah dalam bentuk terinci dengan memahami bahwa Allah
saja-lah Wujud Hakiki dan Pelaku Mutlak, seperti memahami wujud Allah melalui
kejadian dan musibah. Karena itu ma’rifah adalah menaruh kebenaran kepada
perbuatan Allah yang diawali dengan amalan-amalan, kemudian meningkat kepada
Ahwal, selanjutnya menjadi mahabbah kepada Allah dalam pengabdian dan sujud
dihadapan Allah. Ma’rifah ini terdiri dari berbagai tingkatan, yaitu : a).
Setiap akibat yang timbul adalah berasal dari Pelaku Mutlak (Allah); b). Setiap
akibat yang berasal dari Pelaku Mutlak adalah hasil dari sifat tertentu yang
dimiliki Allah; c). Dalam keangungan setiap sifat Allah, diketahui maksud dan
tujuan Allah; d). Sifat Ilmu Allah, diketahui dalam ma’rifah-Nya sendiri.
2.
Faqr, yaitu tidak memiliki
harta, seorang penempuh jalan hakikat tidak akan sampai ke tujuan, kecuali jila
ia sudah melewati tahap ke-zuhud-an. Seseorang yang menginginkan dunia, meski
tak memiliki harta, makna Faqr hanyalah sekedar angan-angan belaka.
Sebab Faqr bermakna tidak mengumpulkan harta, meski sangat
menginginkannya; kebiasaannya tidak memiliki harta, meski bersikap zuhud;
kebenarannya adalah kemustahilan memiliki harta. Seorang pemilik hakikat
melihat segala sesuatu dengan sarananya dalam kekuasaan Allah, oleh sebab itu
ia memandang menyerahkan harta kepada orang lain dibolehkan. Faqr dalam
diri manusia pemilik hakikat adalah sebuah sifat alami, baik memiliki atau
tidak memiliki harta, sifat alami itu tidak akan berubah. Dalam hal ini ada
beberapa golongan Faqr, yaitu : a). Mereka yang memandang dunia dan
harta bukan sebagai kekayaan, jika mereka memiliki harta, mereka akan
memberikannya kepada orang lain, sebab mereka tidak menginginkannya dalam
kehidupan dunia ini, tetapi di akhirat nanti; b). Mereka yang tidak
memperhitungkan amal-amal dan ibadahnya, meski semua itu bersumber dari dirinya
dan tidak mengharapkan ganjaran apa pun; c). Mereka yang dengan kedua sifat ini
tidak memandang hal dan maqamnya, semua itu mereka pandang sebagai anugeral
Allah; d). Mereka yang tidak menganggap zat dan eksistensi mereka sendiri
sebagai milik mereka. Zat, kualitas, Hal, maqam dan amal mereka tidaklah ada
dan bukan apa-apa serta tidak meninggalkan apa-apa di dunia dan di akhirat.
3.
Tawakkul, yaitu mempercayakan
segala urusan kepada Pelaku Mutlak (Allah), mempercayakan jaminan rezki
kepada-Nya. Tahan ini terletak sesudah raja’ (harapan), sebab yang
pertama akan memahami rahmat-Nya. Tawakkul adalah hasil dari kebenaran keimanan
melalui pertimbangan yang baik dan takdir. Tawakkul ini terbagi kepada dua,
pertama Tawakkul al-inayah, artinya tawakal dalam anugerah Allah, kedua tawakkul
al-kifayah, artinya tawakal dalam keindahan dan kehendak Allah, bukan
tawakal dalam kecukupan.
4.
Mahabbah, artinya Cinta kepada
Allah, ini merupakan pijakan bagi segenap kemuliaan hal, seperti taubat adalah
dasar bagi kemuliaan maqam. Mahabbah adalah kecenderungan hati untuk
memperhatikan keindahan atau kecantikan. Ada dua jenis mahabbah : 1). Mahabbah
‘am, yaitu mahabbah yang memiliki sifat : a). kecenderungan hati untuk
memperhatikan keindahan sifat-sifat; b). Sebuah bulan muncul karena memandang
sifat-sifat keindahan; c). Seberkas cahaya yang mengisi wujud; d). Sebuah tanda
yang berkata “aku meniru apa yang murni dan mengucapkan selamat tinggal pada
apa yang sangat gamblang”; e). Anggur terbaik, tersegel dan terperam oleh
waktu; f). Sejenis anggur yang murni dan tidak murni, jernih dan kotor, ringan
dan berat. 2). Mahabbah Khas, memiliki sifat : a). Kecenderungan jiwa untuk
menyaksikan keindahan zat; b). Bagaikan matahari, yang terbit dari horizon zat;
c). Api yang memurnikan wujud; d). Sebuah tanda yang berkata “jangan hidup dan
jangan terbakar”; e). Benar-benar sumber murni; f). Sejenis anggur kemurnian
dalam kemurnian, kejernihan dalam kejernihan dan kekeringan dalam kekeringan.
5.
Fana’ dan Baqa’, Fana’ artinya akhir
daei perjalanan menuju Allah, sementara Baqa’ artinya awal dari perjalanan
dalam Allah. Perjalan menuju Allah berakhir ketika dengan ketulusan. Perjalanan
di dalam Allah bisa diuji ketika, sesudah fana’ mutlak. Ada yang mengatakan fana’
berarti : a). Fana’ dalam berbagai perbedaan; b). Menurunnya keinginan akan
segala kesenangan duniawi; c). Menurunnya keinginan akan segala kesenangan akan
dunia dan akhirat nanti; d). Menurunnya kadar sifat-sifat tercela; e).
Tersembunyinya segala sesuatu. Sementara Baqa’ berarti : a). Baqa’ dalam
keselarasan; b). Baqa’ dalam kesenanagan kehidupan di akhirat kelak; c). Baqa’
dalam kesenangan di dalam Allah; d). Baqa’ dalam sifat-sifat terpuji; e).
Kehadiran Allah. Fana terbagi pula kepada dua, yaitu Fana’ lahiriyah (fana
dalam bebrbagai perbuatan dan keangungan berbagai perbuatan Ilahi) dan Fana
bathiniyah (Fana dalam sifat dan zat).
Kemunculan Tarekat
Sammaniyah bermula dari kegiatan sang tokoh pendirinya, yaitu Syekh Muhammad bm
Abdul Karim as-Samani al-Hasani ai-Madani al-Qadiri al-Quraisyi. Ia adalah
seorang fakih, ahli hadis, dan sejarawan pada masanya. Dilahirkan di Kota
Madinah pada tahun 1132 Hijriyah atau bertepatan dengan tahun 1718 Masehi.
Keluarganya berasal dari suku Quraisy.
Semula, ia belajar
Tarekat Khalwatiyyah di Damaskus. Lama-kelamaan, ia mulai membuka pengajian
yang berisi teknik zikir, wirid, dan ajaran tasawuf lainnya. Ia menyusun cara
pendekatan diri dengan Allah SWT yang akhirnya disebut sebagai Tarekat
Sammaniyah. Sehingga, ada yang mengatakan bahwa Tarekat Sammaniyah adalah
cabang dari Khalwatiyyah.
Demi memperoleh ilmu pengetahuan,
ia rela menghabiskan usianya dengan melakukan berbagai perjalanan. Beberapa
negeri yang pernah ia singgahi untuk menimba ilmu di antaranya adalah Iran,
Syam, Hijaz, dan Transoxiana (wilayah Asia Tengah saat ini). Karyanya yang
paling terkenal adalah kitab Allnsab. Ia juga mengarang buku-buku lain, seperti
Mujamu al-Masyayikh, Tazyilul Tarikh Baghdad, dan Tarikh Marv.
Syekh Muhammad Samman
dikenal sebagai tokoh tarekat yang memiliki banyak karamah. Baik kitab Manaqib
Syaikh al-Waliy al-Syahir Muhammad Saman maupun Hikayat Syekh Muhammad Saman,
keduanya mengungkapkan sosok Syekh Samman.
Sebagaimana guru-guru
besar tasawuf, Syekh Muhammad Samman terkenal akan kesalehan, kezuhudan, dan
kekeramatannya. Konon, ia memiliki karamah yang sangat luar biasa. “Ketika kaki
diikat sewaktu di penjara, aku melihat Syekh Muhammad Samman berdiri di depanku
dan marah. Ketika kupandang wajahnya, tersungkurlah aku dan pingsan. Setelah
siuman, kulihat rantai yang melilitku telah terputus,” kata Abdullah al-Basri.
Padahal, kata seorang muridnya, ketika itu Syekh Samman berada di kediamannya
sendiri.
Adapun perihal awal
kegiatan Syekh Muhammad Samman dalam tarekat dan hakikat, menurut Kitab
Manaqib. diperolehnya sejak bertemu dengan Syekh Abdul Qadir Jailani.
Suatu ketika, Syekh
Muhammad Samman berkhalwat (menyendiri) di suatu tempat dengan memakai pakaian
yang indah-indah. Pada waktu itu. datang Syekh Abdul Qadir Jailani yang
membawakan pakaian jubah putih. “Ini pakaian yang cocok untukmu.” Ia kemudian
memerintahkan Syekh Muhammad Samman agar melepas pakaiannya dan mengenakan
jubah putih yang dibawanya. Konon, Syekh Muhammad Samman menutup-nutupi ilmunya
sampai datanglah perintah dari Rasulullah SAW untuk menyebarkannya kepada
penduduk Kota Madinah.
Tarekat ini berkembang pesat
di wilayah Afrika bagian utara,terutama Sudan.Di samping Naqsyabandiah,
Syattariyah, Qadiriyah, dan Syadziliyah, umat Islam juga mengenal adanya
Tarekat Sammaniyah. Tarekat Sammaniyah merupakan salah satu cabang dari Tarekat
Syadziliyah yang didirikan oleh Abu Hasan Ali asy-Syazili (wafat 1258) di
Mesir. Pendiri Tarekat Sammaniyah adalah Muhammad bin Abdul Karim as-Samani al-Hasani
al-Madani (1718-1775 M).
Tarekat ini berhasil
membentuk jaringan yang sangat luas dan mempunyai pengaruh besar di kawasan
utara Afrika, yaitu dari Maroko sampai ke Mesir. Bahkan, memperoleh pengikut di
Suriah dan Arabia. Aliran tarekat ini lebih banyak menjauhkan diri dari
pemerintahan dan penguasa serta lebih banyak memihak kepada penduduk setempat,
di mana tarekat ini berkembang luas.
Salah satu negara
Afrika yang banyak memiliki pengikut Tarekat Sammaniyah adalah Sudan. Tarekat
ini masuk ke Sudan atas jasa dari Syekh Ahmad at-Tayyib bin Basir yang
sebelumnya belajar di Makkah sekitar tahun 1800. Pemimpin Tarekat Sammaniyah di
Sudan yang terkenal ialah Syekh Muhammad Ahmad bin Abdullah (1843-1885) yang
pernah memproklamasikan dirinya sebagai mahdi (pemimpin yang ditunggu-tunggu
kedatangannya oleh masyarakat). Ia adalah seorang pemimpin dan anggota Tarekat
Sammaniyah yang sangat saleh dan kehadirannya dinanti-nantikan oleh masyarakat
Sudan.
Syekh Muhammad Ahmad
menghendaki adanya perbaikan-perbaikan terhadap praktik-praktik keagamaan
sesuai dengan agama Islam yang benar. Ia memberikan berbagai perintah tentang
bermacam-macam aspek keagamaan, seperti pengasingan (pingitan) terhadap kaum
wanita dan pembagian tanah kepada rakyat, dan berusaha memodifikasi berbagai
praktik keagamaan masyarakat Sudan yang pada waktu itu dilakukan sebagai
tradisi. Ini semua bertujuan untuk menyesuaikan tradisi mereka dengan
ajaran-ajaran syariat.
Syekh Muhammad Ahmad
juga menentang pemakaian jimat, penggunaan tembakau dan alkohol, ratapan wanita
pada upacara pemakaman jenazah, penggunaan musik dalam prosesi keagamaan, dan
ziarah ke kuburan orang-orang suci (wali). Dalam rangka meniru hijrah Nabi
Muhammad SAW, ia dan para pengikutnya mengasingkan diri di Pegunungan Kardofan,
lalu menyebut diri mereka sebagai Ansar (penolong) Nabi SAW. Lebih jauh,
kelompok ini berhasil membentuk pemerintahan revolusioner dengan organisasi
militer yang sangat rapi dan mempunyai sumber keuangan yang teratur serta
administrasi yang baik.
Amalan Sammaniyah
Ciri-ciri Tarekat
Sammaniyah adalah berzikir La llaha Illa Allah dengan suara yang keras oleh
para pengikutnya. Dalam mewiridkan bacaan zikir, para murid Tarekat Sammaniyah
biasa melakukannya secara bersama-sama pada malam Jumat di masjid-masjid atau
mushala sampai tengah malam.
Selain itu, ibadah yang
diamalkan oleh Syekh Muhammad bin Abdul Karim as-Samani adalah shalat sunah
Asyraq (setelah Subuh) dua rakaat, shalat sunah Dhuha sebanyak 12 rakaat,
memperbanyak riyadhah (melatih diri lahir batin untuk mendekatkan diri kepada
Allah SWT), dan menjauhkan diri dari kesenangan duniawi.
Berikut adalah beberapa
ajarannya yang terkenal. Pertama, memperbanyak shalat dan zikir. Kedua,
bersikap lemah lembut kepada fakir miskin. Ketiga, tidak mencintai dunia.
Keempat, menukarkan akal basyariyah (kemanusiaan) dengan akal rabbaniyah
(ketuhanan). Kelima, menauhidkan Allah SWT, baik dalam zat, sifat, maupun
a/aZ-Nya.
1.
Sebelum seseorang murid diterima menjadi
ahli, wajib mandi dengan air limau/bidara untuk membersihkan dosa.
2.
Bersedekah dan menghormati guru menjadi kewajiban
bagi murid-muridnya. Di samping itu murid-murid digalakkan membuat kebajikan
dan memberi bantuan kepada guru.
3.
Kitab Thabitul Qulub yang dijadikan kitab
suci tarikat tersebut, didapati banyak yang bertentangan dengan pegangan umat
Islam. Setiap orang yang belajar tarikat itu diberikan buku tersebut dengan
harga 25 Ringgit Malaysia.
4.
Wirid-wirid dalam tarikat ini dikumpul di
dalam buku Baitul lbadah yang mengandungi zikir-zikir yang disusun berdasarkan
kepada ayat-ayat Al-Quran, selawat, istighfar dan doa.
5.
Terdapat 26 adat kesopanan murid kepada
guru. Antaranya murid tidak diperbolehkan menikah dengan istri guru yang
diceraikan atau ditinggalkan mati.
6.
Jika seseorang mati ketika berulang-alik ke
tempat belajarnya untuk mempelajari tarikat itu maka Tuhan sendiri yang akan
mencabutkan nyawanya itu.
7.
Shalat boleh dilakukan
dengan niat saja (sembahyang
batin) atau boleh ditinggalkan
semasa dalam kesibukan kemudian diqada’.
8.
Nikah boleh dilakukan tanpa
wali dan saksi (nikah
batin).
9.
Shalat fardhu diabaikan atau ditinggalkan
kerana cukup dengan niat di hati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar